“Risa, buka pintunya! Risa."
"Jangan sembunyi kamu. Karena kamu tak berhasil membawa calon istriku pulang, maka kamu akan aku jebloskan ke dalam penjara.”
Teriakan pria tua itu memekikkan telinga Nindi. Dengan mengatur napas terlebih dahulu, Nindi memberanikan diri menemui rentenir yang hendak menikahinya.
“Hei, wanita cantik calon istriku. Akhirnya kamu kembali juga.”
“Maaf Pak, aku terkena penyakit menular. Sebaiknya batalkan rencana Bapak untuk menikahiku. Ini uang untuk membayar semua hutang ibu. Tolong jangan ganggu saya lagi.”
“Terkena penyakit apa pula kau anak manis? Kenapa memakai masker?”
“TBC.”
“Sebaiknya kamu gunakan uang itu untuk berobat. Sebenarnya hutang ibumu sudah lunas, aku hanya ingin menikah denganmu. Sekarang sepertinya aku sudah tak berselera lagi. Masuklah! Kamu jangan mendekat! Aku takut bisa tertular penyakitmu itu.”
“Baik, terima kasih atas kebaikan Anda Pak, saya permisi.”
Rentenir tua itu terlihat jijik setelah mengetahui wanita yang ingin dinikahinya memiliki penyakit menular TBC. Nindi berbohong, Nindi hanya ingin pria tua itu, tak mengganggunya lagi tanpa harus berurusan dengan pihak berwajib.
Setelah memastikan rentenir itu pergi bersama dua pengawalnya, Nindi lantas tertawa terbahak-bahak.
Ia tak menyangka bisa menipu rentenir itu. Berkat kebohongannya, ia pun tahu kalau rentenir itu juga berbohong. Hutang sudah lunas, masih saja mau menagih, apalagi dengan cara licik.
“Kena kamu tua bangka. Makanya jangan main-main sama Nindi. Kini tinggal urusan dengan ibu tiriku itu dan anak perempuannya.”
******
“Alhamdulillah,” satu kata syukur yang mewakili kebahagiaan Rima saat ini. Toko kue dan rumah idaman telah ia miliki.
Dengan uang hasil menabung selama jualan, ditambah uang pemberian sang bapak saat menjual tanah di Kampung, kini Rima bisa memiliki yang ia inginkan.
“Alhamdulillah berkat buah kesabaran kamu selama ini sayang."
"Iya Mas, Alhamdulillah, semoga usaha kita lancar dan maju.”
"Kita perlu menambah pegawai lagi sepertinya, soalnya semakin banyak permintaan pasar.”
“Iya sayang. Berkat kelihaian dan keahlian kamu dalam dunia pertepungan, sehingga bisa menghasilkan beragam kue lezat yang diminati banyak orang.”
“Ini berkah dari Allah yang patut kita syukuri Mas. Ya sudah Mas, tolong bantu bagian kasir ya, sepertinya ramai sekali."
"Kasihan Yoga, sepertinya dia mulai kewalahan.”
“Siap istriku. Semangat mengadonnya sayang! Mas ke depan dulu.”
Tiba-tiba Nanda datang dan menyaksikan kedua kakaknya tengah mengobrol berdua.
“Cie, Mbak sama mas makin mesra saja," godanya sembari menyenggol lengan kakak iparnya.
“Apa sih dek? Biasa saja kok. Sudah cantik pagi-pagi, mau ke mana Dek?”
“Nanda pamit ya Mbak, mau kerja dulu. Siang ini ada pemotretan busana terbaru.”
“Alhamdulillah. Semoga dilancarkan pemotretannya ya Dek. Hati-hati di jalan. Mau diantar sama masmu, atau dijemput Dek?”
“Dijemput Mbak sama bang sopir tampan.”
“Awas cinta lokasi.”
“Gak papa Mbak, kalau jodoh mah gak ke mana.”
“Ya sudah, cium dulu Mbak sayang.”
“Mbak bau lho Dek. Nanti kamu kena keringat mbak jadi bau.”
“Gak papa Mbak, keringat mbak itu pembawa berkah. Mbak itu sudah seperti ibu buat Nanda. Terima kasih sudah menjadi kakak yang baik Mbak. Teruslah seperti ini, Nanda sayang Mbak.”
Ada sesak yang tak mampu Nanda tahan. Ia gegas pergi sebelum Rima berkata apa pun. Matanya sudah berkaca-kaca. Anak korban keegoisan orang tua yang selama ini mencoba kuat, walaupun sebenarnya sangat rapuh dan terluka.
Sejak ia tahu ibu yang selama ini hidup bersamanya hanya ibu tiri, ia merasa sangat sedih karena terpisah dari ibu kandungnya.
“Tambah cantik saja Neng,” celetuk Hadi, saat Nanda masuk ke mobil yang ia kemudikan.
“Ah Bang Hadi bisa saja. Ayo sudah kita jalan, nanti kesiangan. Masih harus dandan dulu kan Bang nanti?”
Mobil pun mulai berjalan menjauh dari Toko Kue Berkah milik Rima.
“Iyalah Neng, sesuai tema hari ini. Oh iya pemotretan hari ini bakalan lebih seru lho Neng.”
“Seru kenapa Bang?”
“Pemotretan hari ini kita ambil di Puncak. Tapi sejauh ini neng belum bisa bertemu langsung dengan pemilik Mal itu, soalnya Bos Cantik sedang sibuk menyiapkan acara perayaan satu tahun Mal miliknya diresmikan.”
“Gak papa lah Bang. Nanti suatu saat pasti bisa bertemu langsung sama si bos.”
“Ngomong-ngomong, Neng sudah punya calon suami belum nih? Kalau belum saya siap lahir batin.”
“Apaan sih Bang? Kita baru juga kenal sudah langsung sat set saja. Sudah Bang kalau jodoh gak ke mana.”
“Bercanda Neng. Serius amat sih.”
“Oh, oke deh Bang. Saya mau pelajari dulu deh beberapa peragaan yang akan saya peragakan nanti, biar tidak kaku.”
“Oke, silahkan dilanjutkan Neng.”
Tak ada lagi obrolan antara mereka. Hadi fokus pada kemudinya, dan Nanda fokus mempelajari beberapa gerakan yang masih agak kaku ia lakukan.
******
“Bu, kita keluar saja dari rumah ini. Roni sudah tak sanggup melihat Ibu kelelahan. Apa sebaiknya kita meminta maaf pada Bambang dan Rima Bu, siapa tahu mereka memaafkan kita dan menerima kita lagi.”
“Ibu malu Ron. Ibu sudah sangat jahat pada mereka. Ibu yakin mereka akan sangat sulit memaafkan kesalahan kita. Biar bagaimana pun, Bambang bukan anak kandung ibu.”
“Bambang orang baik Bu. Tidak mungkin dia tega sama kita. Apalagi dek Rima, dia juga sangat baik. Sebaiknya kita coba dulu Bu, urusan diterima atau tidaknya urusan nanti.”
“Tidak ada yang boleh keluar dari rumah ini. Kamu jangan seenaknya Mas. Kamu masih suamiku. Kamu itu seharusnya kerja cari uang untuk menafkahiku.”
“Bagaimana bisa aku dan ibu tetap bertahan, sedangkan kamu semakin menjadi-jadi.”
“Bukankah kalian dulu juga sama sepertiku? Semena-mena pada siapa pun yang kalian benci. Kenapa sekarang kalian jadi lemah seperti ini? Ini belum ada apa-apanya, dibanding dengan perlakuan bejat kalian.”
“Cukup! Kamu boleh saja tak menghargai aku sebagai suami kamu, tapi jangan pada ibuku. Dia memang bukan ibu mertua yang baik, tapi dia selalu mengusahakan yang terbaik untukmu.”
“Bukan ibu yang selalu mengusahakan, tapi Bambang adik tirimu. Dia yang menafkahiku, bukan kamu atau ibumu.”
“Apa ini kok pada ribut? Masih pagi jangan memperkeruh suasana.”
“Ini loh Mah, mereka mau pergi dari rumah ini.”
“Yah biarkan saja kalau mau pergi, malah bagus. Kita tidak perlu susah-susah memberi makan mereka.”
“Lah Mama, tapi kita kehilangan babu gratis dong Mah. Keenakan sudah dikasih makan sama tempat tinggal gratis, malahan mau kabur, tidak mau balas jasa.”
“Indah,” pekik Roni sembari mengangkat tangannya bersiap menampar sang istri.
“Apa Mas? Tampar! Cepat tampar sepuasmu, setelah itu aku pastikan kamu mendekam di penjara.”
“Roni. Roni kamu mau ke mana Nak?" ibu Heni terus mengejar anaknya yang keluar rumah.
“Aku mau ke Rumah Bambang Bu. Aku sudah tidak bisa lagi hidup bersama wanita Iblis itu.”
“Sabar Ron! Ini semua mungkin balasan yang harus kita terima, atas apa yang sudah kita perbuat. Bersabarlah! Kalau pun ingin keluar dari rumah mertuamu ini, kita harus keluar secara baik-baik.”
Roni mulai mengontrol emosinya yang mulai meredam. Ia mulai mengingat kejadian demi kejadian saat ia masih tinggal di rumah Bambang berputar seperti kaset.
Ada sesal yang ia rasakan. Ada kecewa yang tak bisa ia hempaskan.
“Ini pakaian kalian, sana pergi! Kalian manusia tidak berguna.”
Indah melemparkan dua tas berisi pakaian pada Roni dan bu Heni.
Belum sempat Roni mengambil tas miliknya yang dilemparkan ke arahnya, pintu ditutup dengan keras oleh Indah.
Gemuruh emosi yang tadi mulai meredam, kini meledak kembali.
“Ron, mau ke mana kita sekarang? Kita diusir.”
“Kita tidak punya uang sama sekali Bu. Bagaimana kita bisa sampai ke Rumah Bambang?" keluh Roni yang mulai pusing memikirkan nasibnya dengan sang ibu yang terusir.
“Ibu masih memiliki anting emas Ron. Bisa kita jual.”
“Alhamdulillah Bu. Kita cari toko emas terdekat untuk menjualnya Bu.”
“Iya, ayo!"
Mereka pun menyusuri jalanan yang mulai ramai. Setelah sampai di depan gang perumahan, mereka melihat Toko Emas Keong, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan penuh semangat, mereka menyusuri jalan menuju toko emas.
“Alhamdulillah uangnya lumayan banyak Ron. Ibu tidak menyangka anting pemberian Bambang harganya mencapai sepuluh juta sepasang.”
“Alhamdulillah Bu. Sebaiknya kita cari kontrakan saja Bu. Kita bisa buka usaha kecil-kecilan untuk kelangsungan hidup kita. Roni merasa tak enak juga, jika harus kembali tinggal bersama Bambang.”
“Iya Ron, ibu setuju. Kita cari ojek saja Ron, ibu sudah tak kuat jika harus berjalan kaki lebih jauh lagi. Pinggang dan kaki ibu rasanya pegal sekali.”
“Iya Bu. Itu kebetulan di bawah pohon mangga, ada mamang ojek pada mangkal. Ayo kita ke sana Bu!"
“Bang ojek dua. Tolong antarkan kami mencari kontrakan dekat sini!"
“Baik Mas, mari naik!"
Mereka pun naik ke ojek masing-masing.
“Ini Mas tempatnya. Kebetulan saya tinggal di sebelah kontrakan ini. Harganya lumayan murah Mas, hanya empat ratus ribu sebulan.”
“Alhamdulillah, terima kasih ya Pak. Saya mau Pak. Di mana pemilik kontrakan ini tinggal?”
“Itu Mas, di rumah beton paling ujung.” Mamang ojek menunjukkan rumah pemilik kontrakan pada Roni.
“Baik, terima kasih Bapak sudah membantu kami.”
“Sama-sama Mas. Ya sudah saya kembali ke tempat mangkal lagi Mas.”
“Monggo Pak, silahkan. Terima kasih.”
Setelah kedua tukang ojek pergi, mereka langsung menemui pemilik kontrakan.
“Semoga betah di sini Mas, Bu. Terima kasih sudah dibayar untuk enam bulan ke depan. Saya permisi dulu. Jika ada yang diperlukan, bisa temui saya di rumah.”
“Baik Mbak, terima kasih banyak.”
“Alhamdulillah ya Bu, walaupun harganya murah, namun lumayan luas dan nyaman.”
“Iya Ron, walaupun tak sebesar dan sebagus rumah Bambang dan rumah mertuamu, setidaknya kita bisa tinggal dengan tenang di sini."
"Kita buka lembaran baru.”
“Secepatnya urus perceraian kamu dengan Indah.”
“Iya Bu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments