TRAUMA

“Mas bagaimana dengan mbak Nindi? Apakah dia sanggup menghadapi ibu tirinya yang jahat sendirian?”

“Buktinya dia tidak ada menghubungi kita, itu artinya dia bisa menangani masalahnya sendiri. Kamu jangan terlalu pusing memikirkan masalah orang Dek. O iya Nanda berhenti dari pekerjaannya ya dek?”

“Iya Mas. Nanda diterima mas mengajukan ke Mal baru yang mbak Nindi bilang. Enak hanya lewat ponsel saja.”

“Wah enak ya. Lebih enak dan fleksibel, jadi tidak harus mondar-mandir.”

“Iya mas. O iya bagaimana mas dengan pencarian ibu dan saudara kembar Nanda yang hilang? Dari mana kita memulai mas?”

“Jangan pusingkan itu dek. Nanti pasti Allah kasih jalan untuk kita. Bagaimana dengan rencanamu membuka Toko kue di Kota dek? Apakah uangnya sudah cukup?”

“Alhamdulillah sudah lebih dari cukup mas. Uang pemberian bapak waktu itu, seluruhnya aku masukkan rekening mas. Kita pindah ke Kota saja mas. Rumah ini bisa kita sewakan atau dijual saja.”

“Mas ikut saja dek bagaimana baiknya. Mas dukung apa pun yang menjadi keputusan kamu.”

“Rima sudah dapat rumah dan rukonya mas. Mas bisa lihat dulu. Siapa tahu saja kurang cocok di mas." Rima memberikan gawainya, menunjukkan sebuah bangunan megah, rumah sekaligus di depannya berdiri ruko besar.

“Wah ini bagus dek. Mas suka sama pilihan kamu. Nanti rumah ini dijual saja. Biar enak. Soalnya jarak dari sini ke Kota kan lumayan jauh.”

“Iya mas. Kebetulan bu Saroh lagi cari rumah untuk anaknya yang baru menikah mas. Nanti bisa kita tawarkan pada bu Saroh ya mas.”

“Iya dek tawarkan saja. Siapa tahu bu Saroh berminat.”

“Ya sudah mas, kita sarapan dulu ya. Semua sudah siap. Nanda lagi mandi, paling sebentar lagi juga sudah selesai. Anak perawan kalau mandi lama ya mas.”

“Mungkin Nanda sudah selesai tapi santai di Kamarnya. Coba sana lihat dulu.”

“Oh iya ya mas. Rima tidak berpikir sampai sana. Namanya kamar mandinya di dalam kamar.”

Rima pun mengetuk pintu kamar Nanda. Namun tak ada sahutan. Rima putuskan saja langsung masuk, dan ternyata Nanda tergeletak di lantai dan mengeluarkan banyak darah dari hidungnya.

“Dek, kamu kenapa dek? Ya Allah kamu mimisan dek? Mas sini mas. Nanda pingsan mas,” teriak Rima panik. Ia pangku kepala Nanda dan  mencoba membangunkan Nanda.

“Ya Allah Nanda kenapa dek?”

“Gak tahu mas. Rima masuk Nanda sudah tergeletak di lantai. Hidungnya juga mengeluarkan darah Mas. Ayo kita bawa ke Rumah sakit mas.”

“Jangan panik dek. Rumah sakit jauh. Ayo kita pindahkan dulu Nanda ke ranjang.”

Bambang pun menggendong tubuh adiknya yang masih berbalut handuk karena habis mandi.

“Tolong lap darahnya dek. Mas gemetaran kalau lihat darah. Ini tisunya.”

“Sekalian pakaikan pakaiannya ya dek, mas keluar dulu.”

“Iya Mas.” Setelah memberikan tisu pada istrinya, Bambang pun keluar dan menutup pintu kamar adiknya.

Dengan tangan sedikit bergetar, Rima membersihkan bekas darah yang masih segar di hidung dan wajah Nanda. Bahkan handuk putih yang dikenakan Nanda juga terkena noda darah.

Setelah selesai dengan  noda darah. Rima tak lupa menggosokkan minyak angin ke beberapa bagian tubuh Nanda sebelum memakaikan pakaian Nanda.

“Mas masuklah. Sudah selesai.”

Bambang kembali masuk untuk melihat kondisi sang adik yang tak sadarkan diri.

“Dek bangun! Jangan buat mbak khawatir,” Rima berbisik lirih di telinga Nanda. Belum juga ada tanda Nanda akan tersadar.

Rima membalikkan tubuh Nanda bermaksud untuk menggosokkan minyak ke punggungnya, namun Rima tiba-tiba melihat ada kejanggalan.

Tanda lahir di punggung Nanda.

‘Aku pernah melihatnya? Tapi di mana? Siapa Nanda sebenarnya? Apakah Nanda anak Bu Riana yang selama ini Bu Riana cari?

Nanda yang dulu waktu kecil suka main ke Rumah ibuku? Tapi aku tak pernah ketemu dengan mas Bambang waktu itu. Ah mungkin tanda lahirnya aja kali yang sama,' batin Rima.

 

*****

[Eh anak tak tahu diuntung. Enak saja kamu usir ibu dan suruh ibu  tinggal sama aku. Aku gak mau menampung ibu. Pokoknya kamu harus jemput ibu dan bawa ibu pulang.]

Ting...ting...ting....

Satu pesan masuk ke benda pipih milik Nindi yang berada di atas kasur.

“Siapa pagi-pagi kirim pesan?”

Nindi menggeser layar dan membaca pesan singkat dari saudara tirinya yang bernama Bianca.

[Eh mbak Bianca kan anak kandungnya, kok suruh aku jemput ibu sih?  Rawat saja ibumu yang kejam itu mbak. Aku sudah tak mau lagi tinggal bersama ibu tiriku yang kejam itu. Semua hartaku telah habis oleh ulah ibu. Eh masih saja mau jual aku buat bayar hutang. Kalian itu manusia kejam tak punya hati dan perasaan.]

“Kurang ajar! Berani sudah melawanku. Kalau dekat saja sudah aku jambak-jambak rambutnya yang panjang itu. Dasar Nindi sialan,” Bianca terus mengumpat.

“Bianca, ibu lapar. Biarkan Ibu makan ya. Lagian makanan kamu sebanyak ini, masa Ibu tak boleh makan?”

“Semua ini Bianca beli pakai uang Bu. Kalau ibu mau makan silahkan, tapi bayar pakai tenaga. Ibu tinggal disini silahkan, tapi jangan malas. Semua harus ibu kerjakan. Kebetulan pembantu ganjen sudah seminggu lalu Bianca pecat, jadi ibu bisa menggantikan tugasnya.”

“Maksudnya Ibu boleh tinggal di sini, tapi sebagai pembantu?”

“Iya Bu. Apalagi?”

“Sudah. Aku mau jalan dulu sama teman-temanku. Itu kamar ibu di belakang, di kamar pembantu,” tunjuk Bianca pada ruangan paling belakang dekat dapur.

‘Keterlaluan kamu Bianca,’ Bu Risa menatap nanar kepergian anaknya yang selama ini ia bangga-banggakan.

“Ah persetan sama urusan pekerjaan Rumah, yang penting perut kenyang dulu. Lagian Bianca jadi anak tidak tahu balas budi. Dulu kumanjakan sekarang sudah kaya raya, malah menelantarkan aku.”

Bu Risa memakan semua hidangan yang tersaji di atas meja. Rasa laparnya membuatnya kalap.

*****

“Ratih di acara ulang tahun pendirian Mal milikmu nanti, Ibu sepertinya tidak bisa hadir di sana.”

“Kenapa Bu? Ibu masih trauma dengan keramaian yang membuat Ibu berpisah dengan Ayah? Ayah bertemu dengan gundiknya itu di sebuah Pasar malam saat ayah berjualan."

"Hilangkan trauma ibu. Kita akan selalu bersama Bu. Suatu saat nanti pasti kita bisa berkumpul lagi seperti dulu, walaupun tanpa ayah.”

“Semua tidak akan sama lagi Ratih. Ayahmu sudah membuat impian keluarga bahagia kita hancur berantakan."

"Ibu berharap bisa bertemu dengan anak-anak Ibu, tapi tidak dengan ayahmu. Ibu tidak mau melihat ayahmu lagi. Ibu tak ingin sakit hati yang sudah sekian tahun ibu kubur, akan tumbuh kembali.”

“Biarkan semua yang sudah berlalu Bu. Ibu berhak bahagia tanpa bayang-bayang masa lalu ayah. Ratih berjanji akan membuat ibu bahagia. Kita bisa bahagia walaupun tanpa ayah lagi Bu.”

 

 

 

Terpopuler

Comments

Zul Iyati

Zul Iyati

terima kasih banyak akak sudah sejauh ini setia mengikuti, sehat selalu kak

2022-12-28

0

ririn

ririn

semangt upnya thor

2022-12-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!