“Oh, jadi kamu itu hanya baik di luarnya saja, tetapi kelakuan kamu bejat sekali sebagai seorang istri. Suami lagi ada dinas ke luar kota, istri di rumah berani menggoda kakak ipar sendiri. Saya tidak menyangka kelakuanmu begitu Rima. Murahan sekali!" cibir bu Tina.
Rima mengernyit bingung. ‘Ini pasti ulah mbak Indah dan Ibu,’ batin Rima kesal. Bagaimana bisa para tetangga bisa mengatainya murahan, dan menggoda kakak iparnya? Siapa lagi datangnya, kalau bukan mereka berdua?
“Jangan sembarangan menuduh tanpa bukti, Bu Tina! Nanti kalau sudah tahu kebenarannya, Ibu bakalan malu,” sahutnya tenang.
“Mana ada maling mengaku sih, Rim? Yang ada penjara penuh,” sela Dewi, anak Bu Tina, seorang guru tetapi sangat julid dan suka ikut campur.
“Eh, ibu-ibu nih lihat menantu bu Heni ada bibit pelakor. Dia godai suami mbak Indah. Hati-hati ya, Ibu-ibu? Takutnya nanti suami kita jadi mangsa selanjutnya,” ujar Dewi yang tengah menatap Rima sinis.
“Iya, jaga suami kamu itu mbak Dewi! Dia itu mata keranjang. Mungkin kalau aku menggodanya sedikit saja, suami kamu akan bertekuk lutut padaku. Sayangnya suamiku terlalu baik dan terlalu tampan, jika dibandingkan dengan suamimu Mbak. Tidak level aku menggaet suamimu mbak Tina yang terhormat.”
“Mana ada mas Rudi mata keranjang? Jangan mengarang kamu, Rima!"
“Iya sudah sih. Mbak kok tidak percaya? Eh tapi bukan urusanku. Kalian kalau hanya mendengar cerita dari ibu mertua dan kakak iparku yang licik itu, jangan langsung percaya, dan menelan semuanya mentah-mentah! Kalau mereka hanya menebar fitnah padaku, kalian akan berdosa.”
Setelah membayar, Rima langsung membawa belanjaannya pulang. Rima tinggalkan para ibu julid yang terus membicarakannya di warung bu Siti. “Aku akan membuat ibu mertuaku dan kakak iparku yang licik itu, kapok menjahatiku. Jangan main-main sama orang sabar, murkanya tidak main-main,” gerutunya.
“Aku pura-pura menangis saja lah, biar mereka puas melihatku.”
Hiks....hiks...hiks Rima terus menangis, memasuki rumah ibu mertua sembari menenteng banyak belanjaan titipan ibu mertuanya.
Bu Heni, Indah dan suaminya sedang bersantai di depan televisi. Rima melewati mereka begitu saja menuju ke dapur, untuk menaruh belanjaan yang ia bawa.
“Hei, pulang-pulang kok menangis? Aduh rupanya gosip tentang kamu yang murahan sudah tersebar di desa ini. Yang sabar ya, Rima?" suara Indah membuat Rima ingin sekali menjambak rambutnya, dan menyumpal mulutnya dengan kain lap kotor dapur agar bisa diam sebentar saja.
Oh, rupanya akting Rima bagus juga. jadi Dia mengira Rima akan bersedih dan terpuruk akan gosip yang mereka buat itu.
“Diam kamu, Mbak! Tunggu pembalasanku! Kamu akan menyesal sudah berani membangunkan macan yang lagi tidur," gertaknya.
Indah tergelak. ‘Oke tertawalah sekarang! Sebentar lagi riwayatmu akan usai di rumah ini. Semalas-malasnya mas Romi, seburuk buruknya dia, mana mau dia menerima istri murahan sepertimu, Mbak?’ batin Rima.
“Tidak perlu mencari pembelaan dari adik iparmu itu. Dia sedang tidak di rumah. Cepetan masak! Waktunya makan ini.”
“Masak saja sendiri! Kamu bukan putri raja, Mbak. Nah ini aku sudah belanjakan ke warung semua bahan masakan yang ibu mau. Silahkan bersenang-senang di dapur Mbak Indah!"
Rima pun langsung meninggalkan mbak Indah yang masih saja mencerocos mengomelinya. Rima tidak menghiraukannya.
Rima gegas mengunci pintu dan mengeluarkan nasi campur yang ia beli di warung bu Lasmi, setelah berbelanja tadi. Dia menyimpannya nasi campur itu, di dalam tas uang miliknya.
“Biarkan saja menantu kesayangan ibu yang memasak hari ini dan seterusnya. Toh dia juga sama kedudukannya denganku. Enak saja mau jadi tuan putri di rumah ini,” Rima menggerutu kesal.
“Hei, Rima. Berani kamu menyuruh Indah mengerjakan pekerjaan kamu? Keluar dan kerjakan pekerjaan kamu sekarang!”
“Maaf Bu, Rima sedang tidak enak badan dan sedang tidak enak hati. Biarkan saja menantu kesayangan Ibu yang menggantikan tugasku hari ini dan seterusnya.”
“Biarkan aku menikmati hari-hari terakhirku di rumah Ibu. Sebentar lagi 'kan, aku akan keluar dari rumah Ibu yang megah ini.”
Aku berbicara dengan suara yang aku melas-melaskan.
“Ya sudah terserah kamu saja! Melawan terus bisanya. Menantu kere tidak berguna!" makinya pada Rima.
“Puas-puaskan saja Ibu menghinaku! Sebentar lagi, menantu kesayangan yang ibu banggakan akan menuai akibat dari perbuatannya sendiri. Aku tidak akan memaafkan menantumu itu, Bu.”
Rima melanjutkan makan yang sempat terhenti karena ibu mertuanya. “Enak rasanya makan tinggal makan tanpa masak dulu. Begini rasanya jadi mbak Indah selama ini. Pantas saja dia ketagihan jadi menantu manja.”
Setelah selesai makan, Rima mengecek kembali ponselnya yang menyimpan rekaman kebusukan Indah. “Aman tersimpan dan aku kasih kode ponselku, agar tidak ada satu orang pun yang bisa membukanya.”
“Tidak sabar menunggu mas Bambang pulang dari Yogyakarta. Aku sudah sangat merindukan suami tampanku itu. Hanya dia tempatku berkeluh kesah di rumah mewah milik ibu mertuaku ini.”
Terkadang terbesit rasa sayang d i hati Rima pada ibu mertuanya, namun dengan sikap ibu Heni rasanya Rima jadi dongkol dan menepis rasa itu, untuk mengurangi rasa sakit dan kecewanya.
“Ternyata dibedakan seperti ini tidak enak, ya? Andai aku juga berasal dari keluarga kaya? Mungkin ibu akan memperlakukan aku sama seperti ibu memperlakukan mbak Indah.”
*****
“Tidak usah repot masak, Bu! Mama memberikan aku uang lumayan banyak. Mending kita suruh mas Roni beli makanan saja di luar.” Suara Indah sengaja dikeraskan, agar Rima dapat mendengarnya.
“Mau pamer? Dia pikir aku bakalan iri? Oh tidak kamu salah sangka Mbak.”
“Makan langsung di tempat lebih seru kayaknya Nak,” sahut bu Heni gembira.
“Ayo Bu! Bersiaplah Bu! Kami menunggu Ibu di depan.”
Derap langkah kaki mereka menjauh dari kamar Rima. Rima pun merasa lega. “Ke mana adik iparku? Lebih baik aku telepon saja. Sudah dua hari dia tak pulang. Apa dia marah dan kabur? Tapi dia tidak mengatakan apa pun padaku. Aku khawatir padanya.”
“Apa, nomornya tidak aktif? Di mana kamu Dek?”
“Aku mencoba lagi hingga berulang kali, dan hasilnya sama tidak aktif. Bagaimana aku bisa tahu keberadaan kamu, kalau nomormu saja tidak bisa dihubungi, Dek?”
“Apa sebaiknya aku telepon mas Bambang saja. Eh, tunggu, tapi mas Bambang lagi di luar Kota. Takutnya dia tidak fokus pada pekerjaannya. Aku pun mengurungkan niatku untuk menelepon suamiku. Apa dia kembali ke kota untuk bekerja? Pikiranku jadi berkecamuk. Aku jadi merasa tidak tenang dan khawatir pada adik iparku.” Rima terus berbicara seorang diri sembari menerka-nerka.
*****
“Makanlah! Aku hanya menculikmu bukan untuk membunuhmu,” seorang pria muda berpakaian ala preman, menyekap Nanda di dalam sebuah ruangan khusus.
“Lepaskan aku! Apa salahku! Kenapa kamu menculikku?" tanya Nanda dengan mata berkaca-kaca.
“Sudah makanlah, dan jangan banyak bertanya! Aku akan menjaga kamu 24 jam di sini. Di luar sana banyak penjaga lain yang akan memastikan bahwa kamu tidak akan bisa mencoba untuk kabur dari tempat ini. Jika waktunya tiba, aku akan melepaskan kamu kembali.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments