IBU TIRI YANG KEJAM

“Bambang sejak kapan kamu berada di situ?” Bu Heni bertanya dengan nada membentak.

Ia sedikit panik dan juga kaget, melihat Bambang berdiri dengan wajah tak ramah seperti biasanya.

“Sejak awal Ibu dan mbak Indah mulai membicarakan tentang istriku. Bambang tahu Bu, Bambang hanya anak angkat ibu, namun tidak semestinya ibu melakukan itu pada istriku.”

“Menjadi tulang punggung keluarga besar kita, Bambang sudah lakukan, seperti kemauan ibu, tapi kalau istri Bambang ibu bedakan, ibu hina, aku tidak bisa menerimanya.”

“Kenapa Bu? Kenapa Ibu perlakuan istri Bambang seperti itu? Bambang kira Ibu hanya tidak suka lantas bersikap dingin  tidak peduli padanya, tapi ternyata Ibu juga secara terang-terangan menghinanya. Mulai bulan ini, seluruh uang gaji, akan Bambang berikan padanya.”

“Kamu durhaka Bambang! Kamu durhaka! Dasar anak tidak tahu diuntung, susah payah ibu membesarkan kamu, begini balasanmu?”

“Ibu juga zalim selama ini padaku. Hanya karena aku anak tiri, Ibu memperlakukan aku seenaknya. Aku juga sudah bekerja keras selama ini Bu. Rela jadi TKI di luar negeri, demi bisa membangun rumah ini, bekerja siang malam tak kenal waktu demi nafkah kita cukup.”

“Bahkan tanah yang sekarang berdiri bangunan kokoh ini, ibu menyuruhku membayarnya pada ibu, padahal ibu dan anak ibu tinggal di Rumah yang aku bangun dengan susah payah."

"Aku sudah melunasi tanah ini. Tanah dan rumah ini sah menjadi milikku Bu.  Apa itu masih kurang Bu. Bambang manusia biasa Bu.”

“Ungkit saja terus! Ungkit semua yang sudah kamu lakukan. Kalau bukan karena bapakmu, ibu sudah membuangmu ke Panti asuhan bersama dua adik kembarmu, waktu kalian  masih kecil.”

“Bambang juga, kalau bukan karena wasiat bapak, Bambang tidak akan menampung ibu dan mas Roni di Rumahku ini Bu."

"Sejak aku kecil, aku sudah merasakan hidup susah. Aku selalu diperintah ini itu, sementara mas Roni, dia ibu manjakan walaupun usianya jauh lebih tua dariku.”

“Dulu aku berpikir, ibu tidak menyayangiku, namun setelah aku tahu aku bukan anak ibu, aku baru sadar satu hal, aku hanya anak tiri tak seperti mas Roni yang anak kandungmu. Wajar saja perlakuan  ibu berbeda pada kami.”

“Jadi selama ini, ibu memperlakukan  suamiku seenaknya, karena dia bukan anak kandung ibu?"

Tiba-tiba Rima membuat keduanya terhenyak  kaget.

“Dan rumah ini, rumah suamiku, bukan rumah ibu. Apa-apaan ini,  selama bertahun-tahun aku tinggal di Rumah bak Neraka ini, ternyata ibu bukan ibu kandung suamiku,” Rima mendekat, matanya berkaca-kaca, dan sorotan matanya begitu tajam dan menusuk.

“Kenapa kamu tidak berterus terang padaku mas? Kalau aku tahu dia bukan ibu kandungmu dan hanya memanfaatkan kamu saja, tentu aku tidak akan mencerna semua ucapan dan perlakuan ibu yang begitu menyakitiku.” Rima menatap suaminya dengan rasa kecewa.

“Aku berusaha menghormatinya, walaupun perlakuannya padaku  sudah di luar batas wajar.”

“Diam kamu perempuan kere. Aku tidak butuh pendapatmu.”

“Ibu yang diam, aku hanya ingin mengeluarkan semua unek-unekku sebelum Ibu pergi dari rumah ini.”

“Aku memang tidak banyak harta seperti menantu kesayangan ibu. Tapi posisi Ibu di sini juga hanya menumpang pada suamiku. Kere? Bukankah kedudukan kita sama sekarang? Sama-sama menumpang. Bedanya Ibu tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih"

“Cukup Rima! Mau sampai kapan pun Bambang hanya akan menjadi anak penurut. Kamu jangan meracuni pikirannya.”

“Bukan Rima Bu yang meracuni pikiran mas Bambang, tapi sikap Ibu sendiri yang membuatnya sadar.”

“Ibu bisa angkat kaki dari Rumah ini sekarang juga.”

Tiba-tiba Bambang berteriak mengusir sang Ibu yang sejak dulu tak pernah menyayanginya. Dia hanya dimanfaatkan tenaga dan uangnya saja oleh sang ibu.

Bu Heni beralih menatap pria yang berdiri penuh amarah itu dengan rasa tak percaya.

“Bawa sekalian anakmu yang manja dan pengangguran itu. Jangan lupa menantumu yang sok kaya itu juga bawalah. Biarkan aku istri dan adikku hidup tenang di Rumah ini.”

“Kamu mengusir ibu Bambang? Lancang mulutmu! Tuhan akan balas kamu anak durhaka!”

“Ini semua gara-gara kamu perempuan kere, kurang ajar. Tidak akan aku biarkan kamu merebut ATM berjalanku.”

“Rima juga tidak akan tinggal diam, kalau ibu berani macam-macam padaku. Sudah dengar kan Bu, apa yang suamiku katakan! Pergilah dari Rumah ini. Hanya menumpang tapi sok berkuasa. Menindas menantu miskin yang hina ini. Silahkan nikmati kehidupan baru ibu selanjutnya. Mau aku bantu membereskan barang-barangmu Bu?"

“Sebaiknya kamu pikirkan  lagi Bambang. Tega kamu melihat ibu jadi gelandangan.”

“Ibu sudah jahat, dan sudah terlalu lama menzalimiku. Aku sudah tidak kuat lagi Bu, hidup dengan ibu tiri jahat sepertimu.”

“Tidak akan ibu jadi gelandangan. Ibu bisa tinggal bersama dengan besan Ibu yang kaya raya itu.”

“Ke mana Nanda dan Nindi dek?”

“Di Kamar atas mas. Nindi sedang menenangkan Nanda yang lagi menangis.”

“Ya sudah biarkan saja. Dia tak perlu lagi melihat ibu tirinya yang jahat ini untuk terakhir kalinya.”

“Kenapa masih berdiri di sini? Silahkan kemasi barang-barang kalian,” sentak Bambang.

Pria berumur 30 tahun itu sudah tak dapat lagi menahan sabarnya. Sejak kecil, ia hidup di bawah tekanan sang ibu tiri.

Menampung sang ibu di Rumahnya, berharap sang ibu bisa berubah menjadi lebih baik, justru malah semakin kelewatan, dan terus memanfaatkan dirinya.

“Tak perlu berteriak, ibu sudah mendengarnya. Ibu jamin, kamu akan menyesal sudah mengusir kami, dan lebih mementingkan istrimu yang kere itu.”

Bu Heni pun berjalan cepat ke Kamar Roni dan Indah. Ia mengadukan semuanya.

Sementara Rima dan Bambang menunggu di Ruang tengah. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya ketiga manusia benalu itu keluar dari kamarnya, masing-masing menenteng sebuah koper berukuran besar.

“Kenapa pada di tekuk begitu wajahnya? Agar aku simpati dan tidak jadi mengusir kalian? Jangan halu. Aku masih sangat ingat, saat wajah-wajah kalian terlihat bengis dan berlaku kasar padaku, dan juga istriku. Jadi perlihatkanlah itu sekarang padaku,” ucap Bambang menantang.

Puluhan tahun ia pendam, hari ini baru bisa ia keluarkan semua amarah yang sejak dulu ia coba redam  sendiri.

“Kamu itu mentang-mentang sudah banyak uang jadi sombong dan lupa diri Bambang,” sentak Roni sembari mendorong tubuh Bambang dengan kuat. Beruntung Bambang bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tidak sampai terjatuh. Tubuhnya hanya sedikit terhuyung ke belakang.

“Apa Mas? Banyak uang? Selama ini uangku habis untuk memenuhi kebutuhan hidup kalian. Apalagi istrimu yang manja itu apa-apa serba harus dituruti.”

“Tidak usah bawa-bawa istriku keparat!”

BUGH

Satu tinjuan melayang keras di wajah Roni.

“Belasan tahun aku kasih makan, begini

kelakuanmu mas. Anak sama ibu sama saja.”

“Pergilah sekarang! Aku tak mau lagi melihat wajah kalian di sini.”

Mereka keluar meninggalkan Rumah megah itu dengan tujuan ke Rumah orang tua Indah.

“Kenapa Bambang? Pasti Kamu mau menyuruh kami masuk kembali kan? Kamu tidak tega kan mengusir kami,” ucap Bu Heni dengan percaya dirinya, saat melihat Bambang berdiri di ambang pintu.

“Tidak. Aku hanya ingin menutup pintu dan menguncinya, dan memastikan  kalian benar-benar pergi dari sini.”

Dalam sekejap pintu yang tadinya terbuka lebar, kini tertutup rapat.

Ketiganya sangat emosi dan tak percaya Bambang yang biasanya sabar dan baik, bisa bersikap tegas seperti ini.

“Uang kamu kan masih banyak Nak, pesan taksi dan bawa kami ke Rumah orang tuamu sekarang juga,” titah sang ibu pada menantu kesayangannya.

“Duh, kalian ini ternyata memang menyusahkan. Tapi nanti ganti ya Mas kalau kamu sudah kerja,” ucapnya sengit.

Keduanya hanya diam dikatai demikian oleh Indah. Mereka takut bertingkah  karena akan kehilangan tujuan untuk tinggal. Uang sepeser pun keduanya tidak memegang. Uang pemberian Bambang bulan kemarin sudah ibu Heni berikan pada Indah untuk membeli pakaian, dan sisanya untuk menjamu saat sang besan datang. Kini ia hanya berharap dapat tumpangan di Rumah sang besan.

Tak berselang lama taksi pun datang. Mereka segera masuk dan taksi melaju dengan kencang.

Sebelumnya Indah sudah mengabari sang mama, jika dirinya akan memboyong sang suami dan ibu mertuanya untuk tinggal bersama di Rumah orang tuanya.

“Oh kalian. Silahkan masuk,” ucap sang besan dengan wajah masam, tak ramah seperti sebelum-sebelumnya.

“Ngapain kamu bawa mereka kesini? Mama tidak setuju jika mereka tinggal sama kita. Memangnya kamu pikir rumah kita ini tempat penampungan apa?" bisik sang mama pada Indah.

 

 

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

Chief Aaf

Chief Aaf

semoga ceritanya bambang dan istrinya sellu kuat dalam menghadapi ujian rumah tangganya.

2023-01-14

1

Zul Iyati

Zul Iyati

iya kak Alhamdulillah 🙏🤗

2022-12-24

0

ririn

ririn

bagus bambang tegas n rima jangn mau ditindas lagi

2022-12-24

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!