“Kenapa tidak memberi kabar pada kami dulu sebelum datang? Kenapa hanya datang sendiri? Apa kau akan meninggalkan kami lagi?” ujar Maya menjejali putrinya dengan berbagai pertanyaan yang membuat wanita cantik itu bingung harus menjawabnya mulai dari mana.
Binar mata Maya yang berkaca-kaca serta tangan yang tak henti-hentinya mengusap lengan dan wajahnya, membuat Yonna terharu. Ruang tamu yang cukup luas dengan hiasan aneka bunga artificial yang tersusun rapi dalam guci di beberapa tempat menjadi tempat mereka melepas rindu.
Maya sangat merindukan putrinya, begitupun sebaliknya yang dirasakan wanita cantik bermata lentik itu. Bisa berkumpul lagi bersama keluarga adalah kebahagiaan yang paling ia nantikan.
Tuan Robert yang begitu bahagia tak mampu berkata apa-apa, ia terdiam. Matanya masih memindai tubuh Yonna dari atas hingga ke bawah kaki, masih tak percaya wanita yang ia lihat di hadapannya kini adalah putrinya yang sudah pergi darinya selama lima tahun yang lalu.
“Kau belum menjawab pertanyaan Mama, Alice!” desak Maya yang tak kunjung mendapat jawaban dari putrinya.
“Ma, jangan langsung todong Ia dengan banyaknya pertanyaan. Biarkan dia istirahat dulu, Kak Yonna pasti masih capek!” Vano menyela ucapan Maya, menyelamatkan sang Kakak dari pertanyaan yang mungkin bingung untuk ia jawab.
Maya langsung menoleh pada pemuda yang duduk di sofa single di sebelahnya. Lelaki muda berambut keriting itu tampak begitu santai, tak ada raut terkejut di wajahnya melihat perubahan Kakak perempuannya yang begitu drastis.
“Yonna?”
Alice mengangguk, ia mengerti kebingungan sang Mama. Alice mengusap punggung lengan Mamanya dengan lembut.
“Mulai hari ini, Mama dan Papa panggil aku Yonna, karena tak ada lagi Alice di rumah ini. Hanya ada Kiyonna, aku tak mau mengingat nama itu lagi,” ujar Yonna dengan wajah sendu. Binar kepedihan tergambar jelas di matanya.
Dalam keterdiaman, Robert memperhatikan putrinya secara intens, ia tahu banyak hal yang disembunyikan wanita itu darinya dan istrinya. Robert juga sangat paham betul bagaimana sifat putrinya, wanita itu tak akan buka mulut walau dipaksa seperti apa pun. Ia akan bercerita jika ia yang menginginkan sendiri untuk bercerita.
"Tapi kenapa?" tanya Maya kembali.
Dahinya berlipat menambah kerutan di wajah tuanya itu.
“Ma, biarkan putrimu istirahat terlebih dahulu. Nanti baru kamu tanyakan lagi.” Robert membuka suaranya. Ia menarik tangan Yonna agar duduk di sebelahnya, lalu memeluk putrinya itu dengan penuh sayang.
“Apa pun yang terjadi padamu, Papa yakin kamu akan mengambil keputusan yang terbaik untukmu. Tetapi bolehkah pria tua ini meminta, tolong jangan pergi lagi dari sini. Jangan tinggalkan kami, sudah cukup kamu menyiksa kami dengan kerinduan selama lima tahun ini, Sayang!”
Seakan yakin bahwa putrinya hanya datang untuk sesaat membuat Robert mengeluarkan kalimat itu. Ia sudah cukup tua untuk menunggu, seperti para orang tua lainnya. Robert hanya ingin menghabiskan masa tuanya bersama anak-anak dan cucunya.
Yonna mengurai pelukannya dari Robert. Ia menatap wajah keriput itu lekat-lekat. Setiap kata yang keluar dari bibir tua itu syarat akan makna. Seakan mengerti isi hatinya yang tak pernah ia beritahukan pada siapa pun.
“Papa tahu kamu ingin menyembunyikannya, tapi jangan pisahkan dia dari kami. Bawa dia pulang ke sini, kami juga ingin mengenalnya, Papa mohon!” lanjut Robet kembali.
Bulir-bulir Kristal itu akhirnya mengalir di pipi putih Yonna, hatinya tercubit mendengarkan ucapan lelaki yang selalu ada untuknya itu. Ia merasa sangat bersalah melihat cinta pertama yang selalu menjadi kebanggaannya itu sedih.
“Bukan begitu maksudku, ia masih terlalu kecil untuk dibawa dalam perjalanan jauh. Makanya aku menitipkan sementara waktu di sana lebih dulu sampai aku kembali.”
“Meninggalkan sementara waktu sampai kamu kembali? Itu artinya kamu hanya sebentar pulang ke sini? Apa kamu mau meninggalkan kami lagi!” cecar Maya yang membuat Yonna terdiam.
Ia menatap wajah Mama dan Papanya secara bergantian. Tatapan mata mereka yang menyelidik membuat dirinya bagai seorang terdakwa yang disidang atas tindakan kejahatan yang dilakukan.
Menunduk dalam diam sembari mengusap air mata. Bahkan kini ia seakan tak mempunyai keberanian menatap dua pasang mata tua itu.
Vano menghela napas panjang, suasana tegang dan haru di hadapannya saat ini membuatnya tak nyaman.
“Ma, Pa. Biarkan Yonna istirahat dulu. Baru setelah itu kalian lanjutkan lagi pertanyaan ini!” tegur pemuda berkulit sawo matang itu.
Yonna mengangkat kepalanya, melayangkan tatapan mata pada adiknya seakan mengucapkan terima kasih, dari balik binar matanya yang masih berkaca-kaca.
“Iya, apa yang dikatakan Vano benar. Istirahatlah lebih dulu, kita akan bicarakan semuanya nanti!” Robert menghembus napas panjangnya. Ia menatap pada istrinya yang tak bersuara.
“Ma, ayo kita ke supermarket sebentar. Papa ingin mengetes apakah kemampuan memasak Papa masih sebaik dulu!” kata Robert mencoba memecah kecanggungan itu.
“Ayo!” Robert berdiri. Ia menarik tangan istrinya untuk ikut dengannya tanpa menunggu jawaban dari mulut wanitanya.
Yonna tersenyum tipis melihat kedua punggung sepasang suami-istri itu yang mulai pergi hingga menjauh di balik pintu depan.
“Kenapa kamu tidak membawa Noah? Jangan bilang apa yang dipikirkan Papa benar. Kamu hanya akan sebentar di sini dan kembali pulang ke Jerman!”
Yonna mengangguk pelan. “Vano, kamu mengerti apa yang terjadi padaku. Bagaimana aku bisa terus tinggal di sini. Bagaimana jika …,”
“Sampai kapan kamu akan bersembunyi? Sampai kapan kamu akan meninggalkan keluargamu! Jangan lari lagi, tetaplah di sini!” tekan Vano memotong ucapan Kakaknya.
Selama ini ia diam dan membiarkan wanita itu tetap di negara jauh itu hanya karena keponakannya masih terlalu kecil untuk di bawa pulang. Namun kini, tak ada lagi alasan untuk wanita yang ada di hadapannya untuk kembali pergi.
“Aku akan membantumu untuk menjemput Noah. Apa yang dikatakan Papa benar, kamu tidak bisa terus-terusan menyembunyikannya dengan memisahkan dia dari keluarganya. Noah juga berhak mengenal Kakek dan Neneknya!” lanjut pemuda tampan dan manis itu memberi pendapatnya.
Ia juga cukup terkejut melihat kedatangan Kakak perempuannya seorang diri tanpa kehadiran putranya.
Yonna terpaku, tak ada jalan lagi untuknya mundur.
“Jika memang aku harus kembali tinggal di Negara ini, aku mohon ya Tuhan … jangan buat aku bertemu dengannya ataupun siapa pun dari keluarga itu!” batin Yonna meminta. Walau terkadang ia tahu, apa yang ia dapat tak pernah sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Yonna kembali ke kamarnya setelah perbincangan yang cukup panjang itu, dadanya berdesir menatap kamar miliknya yang sedikit pun tak berubah dari sejak pertama ia tinggalkan. Memindai setiap sudut ruangan, hingga matanya kini terpaku pada bingkai figura kecil yang ada di atas nakas, foto yang belum sempat ia singkirkan.
Yonna duduk di pinggir ranjang, meraih bingkai foto itu dan memandanginya dengan sedih. Foto dirinya yang masih bertubuh gemuk, sedang berdiri dengan senyum yang merekah dalam balutan gaun pengantin. Wajahnya yang begitu bahagia sangat kontras dengan wajah pria yang ada di sampingnya itu yang terlihat sangat masam dan tertekan.
“Aku baru sadar beauty in the beast tak hanya ada dalam dunia dongeng, tapi juga ada di dunia nyata. Namun yang menyedihkannya, akulah sosok beruang buruk rupa itu. Yang bahagia tanpa sadar jika tak akan ada cinta yang tulus untuk seseorang yang tidak istimewa!” Yonna meringis mengingat masa lalu akan kebodohan dirinya sendiri yang begitu naïf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Intan IbunyaAzam
jgn egois Yona ksian ank n oragtuamu,, dewasala pola pkirmu hrus naikan level baiknya jgn hanya skit htimu GK mkir kluargamu trsiksa Krn keegoisanmu
2023-10-23
0
yani suko
iyaa...benerrr
2023-09-16
1
Devi A. Mahadirga
thorrr apa mereka tak punya hp android smpe ibunya tak mengenali anak nyaa... padahal kan mereka bisa video call🤣🤣🤣🤣🤣
2023-08-08
2