Alice berdiri di dalam bandara menunggu keberangkatannya dengan koper yang ia bawa. Ia juga mengusap perut gendutnya dengan lembut. Alice akan pergi ke negara di yang cukup jauh untuk memulai hidup baru dan jati diri baru. Keputusan ini sudah ia pikir baik-baik dan dengan matang.
Sebenarnya hati Alice sangat sedih harus meninggalkan Mama dan Papanya hanya berdua di rumah. Suasana bandara yang cukup ramai dengan orang yang lalu lalang tak membuat Alice sadar dengan sepasang mata yang memperhatikannya sedari tadi dari jauh.
"Kamu baik-baik di sana. Kalau ada apa-apa telpon Mama dan Papa cepat," ujar Robert pada putrinya. Wajah tua itu menunjukkan gurat tak rela.
"Tentu, Papa dan Mama jaga diri baik-baik."
Maya mengusap matanya yang sudah basah. "Kenapa kamu dan Vano suka sekali pergi jauh-jauh dan meninggalkan kami," ujarnya membuat perasaan Alice semakin tak menentu.
"Vano kan kuliah, lagi pula sebentar lagi ia wisuda dan itu artinya ia akan pulang dan bergabung bersama Mama dan Papa kembali," bujuk Alice.
Ia merangkul tubuh Maya. Mengusap punggung kurus itu seraya menikmati kehangatan yang mungkin tak ia dapatkan selama beberapa tahun ke depan.
"Itu pun kalau dia tidak pergi lagi untuk kerja dan menikah. Papa berharap ia mendapatkan jodoh orang sini saja, agar ia tak pergi jauh-jauh lagi dari kami," timpal Robert. Robert dan Maya memiliki satu putra dan satu putri. Putra mereka sedang kuliah semester akhir di Jepang.
Dari sekian banyaknya universitas, entah kenapa lelaki muda itu justru lebih memilih untuk kuliah di negeri sakura tersebut.
"Ma, Pa ... aku berangkat dulu, ya! Pesawatnya sudah mau take off, aku harus segera bersiap. Kalian jaga diri baik-baik ya!"
Alice menguraikan pelukannya. Ia berpamitan dengan mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Setelah itu baru beranjak untuk masuk seraya melambaikan tangan.
Maya mengusap bulir bening yang menetes. Menatap punggung putrinya yang sudah semakin menjauh.
Robert mengusap punggung istrinya. "Jangan dibawa sedih! Kita doakan saja agar putri kita di sana mendapatkan kebahagiaan. Itu lebih baik daripada mengeluarkan air mata," tegur Robert.
Maya mengangguk, ia berusaha untuk tersenyum walau sebenarnya hatinya masih tak rela. Maya sadar, saat anak-anak mulai dewasa dan mampu mengambil keputusan sendiri dalam hidup mereka. Maka ia sudah harus bersiap-siap akan hari ini. Hari di mana ia akan ditinggal anak-anak dan hidup hanya berdua bersama suaminya saja.
^ ^ ^
Bara membolak-balik kertas yang berisi rangkuman kasus yang sedang ia tangani. Tak ada satu kalimat pun yang ada di kertas itu masuk ke dalam otaknya.
Hatinya gelisah dengan perasaan yang tidak ia mengerti. Steven yang sedang duduk di hadapan Bara mengerutkan keningnya.
"Apa anda sakit, Pak? Wajah anda tampak pucat," tanya Steve.
Bara menghela napas berat. "Entahlah, aku merasa tubuhku lemas, pusing dan sedikit mual. Padahal aku sudah sarapan dan makan siang, tapi kenapa maagku kumat seperti ini," jelasnya.
"Sebaiknya anda pulang saja, Pak. Sebelum keadaan anda tambah parah, masalah pekerjaan biar saya saja yang selesaikan. Lagi pula sidangnya juga masih satu bulan lagi, jadi kita masih punya banyak waktu untuk menanganinya."
Bara menyetujui ucapan asistennya itu, rasa pusing yang mendera kepalanya tak dapat lagi ia tahan. Rasa itu hilang timbul berjeda bagai air yang pasang surut di terjang ombak.
Bara pulang menggunakan taksi, ia tak sanggup jika harus menyetir mobilnya sendiri. Taksi memasuki pelataran rumah, Bara langsung masuk dan berjalan dengan cepat menuju kamarnya. Tak ia hiraukan tatapan heran ibunya saat ia turun dari taksi.
Jelita yang berada di taman samping langsung menghentikan aktifitasnya saat melihat sebuah taksi memasuki halaman. Ia mengerutkan dahi melihat putranya pulang menggunakan taksi.
"Loh ... bukannya berangkat tadi bawa mobil sendiri? Kok naik taksi, nggak biasanya seperti ini?"
Jelita langsung beranjak, meninggalkan kegiatannya menyusun bunga-bunga indahnya ke atas rak yang sudah di sediakan dan memilih mengikuti Bara memasuki rumah untuk mencari tahu ada apa dengan putra sulungnya itu.
Sedangkan Bara yang sudah masuk kamar langsung berjalan cepat menuju ranjang, mengambil pil pereda nyeri di laci nakas dan langsung meminumnya.
Bara membuka jas dan dua kancing kemeja bagian atas yang terasa mencekiknya. Merebahkan tubuhnya ke atas ranjang dan mencoba untuk beristirahat sejenak.
"Apa yang pulang tadi Bara?" tanya Jelita pada pelayan yang tengah mengelap vas bunga kesayangannya dengan begitu hati-hati. Wanita muda yang mengenakan seragam pelayan itu pun menoleh.
"Benar Nyonya, sepertinya Tuan muda sedang tidak enak badan. Wajahnya tampak pucat," jawab si pelayan bertubuh kecil itu.
Mendengar jawaban pelayannya, ia langsung berbalik dan menaiki anak tangga menuju kamar putra tertuanya itu. Hatinya khawatir terjadi sesuatu pada anaknya.
Sesampainya di depan pintu kamar Bara, Jelita berpapasan dengan Gavin yang baru saja keluar kamarnya.
"Ada apa, Ma? Kenapa wajah Mama tampak khawatir seperti itu?"
"Bara, tidak biasanya dia pulang cepat dan menggunakan taksi," jawab Jelita. Mereka berdua melirik pintu kamar Bara yang berada di ujung sana, dekat balkon samping lantai atas.
"Biarkan saja dulu, Ma. Mungkin ia butuh istirahat, akhir-akhir ini kan kasus yang ia tangani begitu banyak. Mungkin sekarang Kak Bara sedang tidur," balas Gavin. Ia mengajak Jelita untuk turun ke lantai bawah menuju taman samping. Ada hal yang ingin Gavin bicarakan mengenai Gisella, istrinya.
"Kenapa kamu mengajak Mama kesini? Apa ada yang mau kamu sampaikan pada Mama?" jelita memicingkan mata memandang putranya yang kini duduk tepat di hadapannya.
Taman bunga ini tampak begitu indah dengan aneka bunga yang sedang mekar. Beberapa ekor kupu-kupu beterbangan saling bergurau satu sama lain di atas kelopak bunga mawar merah yang merekah. Jika melihat taman bunga ini, Jelita tak sadar memikirkan Alice. Mantan menantunya itu begitu rajin dan dapat diandalkan.
Semenjak tak ada dia di rumah itu, taman bunga yang biasanya tertata rapi kini mulai tampak tak terurus dan ditumbuhi rumput-rumput liar yang tumbuh di setiap potnya.
Jelita sebenarnya menyesal membiarkan Alice pergi dari rumah itu. Tetapi keinginannya yang tak terbendung lagi ingin memiliki seorang cucu membuat ia harus mengalah dan membiarkan Gisella yang tinggal di rumah itu. Walau sebenarnya ia tak terlalu begitu suka hidup berdampingan dengan wanita seperti Gisella.
"Ma, apa Mama melamun?" Gavin menggoyangkan tangan Jelita, hingga membuat wanita tua itu tersentak dari lamunannya.
"Hah, apa? Kamu mau bicara apa tadi?" tanya Jelita menutupi kecanggungan. Gavin menggelengkan kepala dengan wajah yang sedikit masam. Ia yang sedari tadi mengoceh merasa diabaikan oleh mamanya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Intan IbunyaAzam
qok Alice GK bicara yg sebenarnya aj, biar tw Gavin klo Alice bsa bahagia bersama Dy bara,, tuh bara ngidam jga mual" ktanya
2023-10-23
0
Dewi Anggya
sukur2 aj klo itu anaknya Gavin.....
2023-09-10
0
Alivaaaa
hihi Bara yg mengalami kehamilan simpatik 😍🤭😂
2023-09-03
0