Alice merasakan aneh pada dirinya sendiri selama seminggu belakangan ini. Namun pagi ini, ia merasakan pusing dan lemas yang lebih parah dari sebelumnya. Sejak tadi ia tak henti-hentinya keluar-masuk kamar mandi memuntahkan cairan bening dari lambungnya.
Tenggorokannya terasa sedikit pahit dengan keringat dingin yang membasahi pelipisnya. Ia memang kerap abai dengan jam makannya, wajar saja jika saat ini lambungnya bermasalah. Mungkin ia terkena maag. Pikir Alice. Akan tetapi hati kecilnya berkata lain.
"Alice apa kamu sudah agak mendingan?" Maya yang mendengar putrinya tak baik-baik saja langsung membuatkan secangkir teh pekat hangat untuk menghangatkan lambung Alice.
Alice yang terbaring asal di pinggir ranjang pun hanya mengangguk lemah. Maya mendekat, mengusap peluh keringat yang membasahi pelipis putrinya dengan tissue. Wajah Alice yang pucat seperti tak ada darah yang mengaliri wajahnya.
"Minum ini dulu, siapa tahu bisa menghangatkan lambungmu."
Alice bangkit, menghadap Maya. Tangannya meraih gelas berisi teh itu dan menyeruputnya sedikit demi sedikit. Memang terasa hangat, akan tetapi detik kemudian perutnya langsung bergejolak kembali. Alice pun kembali berlari ke kamar mandi dengan cepat. Memaksa memuntahkan isi perutnya lagi, namun tetap saja tak ada yang dapat ia keluarkan.
Alice membasuh wajah dan bibirnya. Setelah itu kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Maya yang merasa iba melihat putrinya yang belum makan apa pun sejak kemarin sore.
"Sepertinya maag kamu sudah begitu parah, Nak. Sebaiknya kamu periksa ke rumah sakit saja, ya! Biar Mama yang menemani," ajak Maya. Alice hanya mampu mengangguk pasrah dengan gerakan yang nyaris tak terlihat.
Maya membiarkan Alice untuk beristirahat sebentar. Siang hari mereka berangkat menuju rumah sakit dengan menaiki taksi. Tak butuh waktu lama Maya dan Alice sampai di rumah sakit.
Maya langsung mendaftarkan Alice ke poli umum awalnya. Akan tetapi betapa terkejutnya wanita itu saat pemeriksaan, Alice justru di rujuk pada dokter Obgyn. Setelah menjalani serangkaian tes dan mendapatkan hasil.
Kini Alice tertegun mendengarkan ucapan dokter yang seakan menghempaskan tubuhnya ke dasar jurang yang paling dalam.
"Selamat Bu Alice anda akan memiliki anak," ucap Dokter perempuan cantik yang menggenakan pembungkus kepala berwarna pink dengan motif bunga yang kecil-kecil.
Maya menutup mulutnya karena kaget. Matanya berkaca-kaca, ada perasaan senang yang hadir di hatinya. Ia tak mengira jika harapannya menjadi seorang nenek akan terkabul. Jika Maya berbahagia, maka jauh berbeda dengan Alice.
Kilasan malam di mana ia berhubungan layaknya suami-istri bersama Bara tergambar jelas di ingatannya. Dan bodohnya kenapa ia tak menyadari jika dirinya sudah tidak mendapatkan tamu bulanan. Masalah yang ia hadapi membuatnya abai pada dirinya sendiri.
"Bu Alice? Ibu Alice!"
Alice tidak merespons. Ia sedang berkelana dengan pikirannya sendiri. Andai anak itu adalah anak Gavin, mungkin Alice akan sedikit berbahagia di tengah perceraiannya yang terjadi. Tapi nyatanya anak itu adalah anak dari mantan kakak iparnya sendiri. Apa yang harus Alice katakan pada mamanya? Wanita itu bingung dan kalut.
"Alice apa yang sedang kamu pikirkan?" Maya menggoyangkan bahu putrinya. Alice pun tersentak. Ia tersadar dari keterdiamannya dan menoleh.
"Ah ... ada apa, Ma?"
Maya menghela napas. "Dengarkan apa yang dikatakan dokter."
Alice beralih menatap dokter cantik itu yang tersenyum ramah. "Pada kehamilan tiga bulan pertama mohon dijaga baik-baik kandungannya. Jangan terlalu banyak berpikir dan stres. Dan pastikan Ibu memakan makanan yang sehat untuk bayi serta jangan lupa susu untuk kehamilannya," kata dokter itu.
Alice menganggukan kepala paham. Hatinya masih dipenuhi kebimbangan dan Maya sangat menyadari itu. Ia paham akan kondisi sulit putrinya saat ini.
"Suami Ibu Alice ke mana? Kenapa tidak ikut menemani? Harusnya di sini untuk ikut mendengar kabar bahagia ini."
Alice menoleh sekilas pada Maya. "Suami saya kerja dok, itu sebabnya saya ditemani oleh Mama saya," jawab Alice sedikit berbohong.
Dokter cantik itu mengangguk maklum. Lalu menuliskan resep obat pada secarik kertas.
"Ini nanti vitamin ini tebus di apotek ya, Bu. Jangan lupa di minum hingga habis. Makan apa saja yang ingin dimakan. Jangan ditahan-tahan, nggak apa-apa berat badan bertambah. Itu justru bagus untuk perkembangan janin."
"Baik dok, terima kasih," ucap Maya dan Alice berbarengan.
Mereka berdua berpamitan dan mulai beranjak keluar dari ruangan. Berjalan menuju apotek yang berada di lantai satu.
"Apa kamu akan memberitahu Gavin akan kehamilanmu ini? Walau bagaimanapun ia adalah Ayah dari bayi ini," Maya mulai membuka obrolan kembali pada putrinya disela-sela mereka menunggu obat.
Alice menggigit bibir bawahnya. Bagaimana mungkin ia mengatakan pada Gavin tentang kehamilannya jika kenyataannya Gavin bukanlah Ayah dari bayi yang ia kandung. Dan mengakui siapa Ayah dari janin yang ia kandung ini, justru lebih tidak mungkin lagi. Apa yang akan orang tuanya pikirkan. Alice tak mau menambah pikiran dan beban orang tuanya lagi.
"Tidak perlu, Ma. Lagi pula mereka sedang berbahagia dengan calon anak yang ada di dalam kandungan istri barunya."
"Tapi tetap saja, ia harus tahu jika bukan hanya wanita itu yang sedang mengandung anaknya. Tapi kamu juga!" ujar Maya kekeuh. Ia ingin putrinya dan bayi yang ada dalam kandungannya itu mendapatkan pengakuan dari keluarga Apsara.
Alice menggelengkan kepala. Ia menolak saran yang diberikan oleh mamanya. Bagaimana mungkin ia menjelaskan apa yang terjadi padanya? Alice malu. Daripada harus kembali pada keluarga itu yang pada akhirnya hanya akan mendapatkan penolakan.
"Tidak, Ma. Aku tidak ingin kembali lagi pada keluarga itu. Aku tak yakin mereka akan menerima aku dan anakku ini. Mereka tak pernah menginginkan kehadiranku."
Alice lebih memilih untuk pergi. Ya ... ia akan pergi membawa anaknya untuk memulai lembaran baru. Hanya ada dia dan calon bayi dalam kandungannya.
"Tapi Alice bagaimana mungkin kamu bisa membesarkannya seorang diri. Anakmu itu juga membutuhkan kehadiran seorang Ayah. Kamu tidak bisa egois soal ini," ucap Maya mencoba menyakinkan putrinya. Alice terdiam hingga mereka berdua kembali menaiki taksi pun tidak ada jawaban dari mulutnya akan ucapan Maya tadi.
Alice membuang pandangan matanya pada jendela mobil di sampingnya. Menatap bangunan serta orang-orang lalu lalang yang mobil itu lewati sepanjang perjalanan.
Pikirannya melayang-layang memikirkan tentang calon anaknya. Satu fakta yang membuat hati Alice seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Anaknya akan lahir tanpa seorang Ayah.
Keputusan apa yang harus ia ambil, memberitahukan kebenaran. Dengan menerima segala bentuk penolakan yang akan ia dapatkan? Atau tetap diam dan pergi, menutup mulut rapat-rapat tentang siapa Ayah dari bayi yang sedang ia kandung?
Alice bingung. Ia mengusap perutnya yang gendut dengan lemak yang tertimbun selama ini. Bahkan ia masih seakan mimpi bisa mengandung dengan kondisinya yang seperti ini.
"Kamu tenang saja, Sayang. Aku akan menjagamu, walau tanpa kehadiran seorang Ayah. Aku akan tetap membuat hidupmu bahagia tanpa merasakan sedikit pun kekurangan dibanding anak-anak lain. Kamu milikku dan hanya ada aku bersamamu!" hatinya berkata pada janinnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Intan IbunyaAzam
ah jelita dan Imanuel mertua yg PLIN plan JD GK respek SMA meraka
2023-10-23
3
Dewi Anggya
Semangaaat Alice..... mertuanya plin-plan
2023-09-10
3
Zaky Sinaga
yg sabar ya Alice,kamu pasti kuat dan bisa menjadi ibu yg baik ntk anak mu
2023-09-07
3