Jelita dan semua yang berada di meja makan itu terkejut. Berbeda dengan Gavin yang tersenyum senang. Ia tidak menyangka semuanya terasa begitu mudah.
Bahkan ucapan yang keluar dari mulut Alice bagai hadiah besar yang membuat pria itu ingin loncat kegirangan.
Sudut bibir Alice berkedut melihat senyum yang terukir di bibir pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu.
Tidak ada gunanya mempertahankan hubungan tanpa cinta. Mengikat lelaki yang sama sekali tidak memberi kesempatan untuknya masuk ke dalam hati. Urusan hati adalah sesuatu yang rumit dan tidak dapat dikendalikan dengan mudah.
Lalu untuk apa ia harus bertahan? Perkataan itu terus muncul di kepalanya hingga ia pun mantap mengakhiri hubungan mereka yang telah terjalin selama dua tahu. Dua tahun yang ia sia-siakan untuk mengejar bayangannya sendiri. Tidak ada yang ia dapat selain rasa capek dan sakit hati.
"Apa yang kamu katakan, Alice? Bagaimana mungkin kamu meminta Gavin menceraikanmu, itu tidak boleh ...,"
"Ma, jangan ikut campur dengan rumah tangga mereka. Itu keputusan Alice. Kita hargai saja," sela Bara. Lelaki yang sedari tadi hanya duduk diam, kini mulai angkat bicara memotong ucapan Jelita.
"Mama tahu ini rumah tangga mereka Bara, tapi sebagai orang tua Mama hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Masalah apa pun itu seharusnya dibicarakan baik-baik! Bukan main cerai seperti ini!"
"Justru ini yang terbaik untuk kami, Ma. Rumah tangga ini memang sudah tak dapat dipertahankan lagi. Aku tidak mencintai Alice, dua tahun kami mencoba. Tapi hasilnya tetap sama. Aku ingin hidup bersama dengan wanita yang aku cintai!" debat Gavin. Ia tak mau mundur, apa pun yang terjadi ia ingin lepas dari ikatan yang mengikat dirinya dan Alice.
Gavin menginginkan istri yang dapat ia pamerkan kecantikannya. Istri yang bisa memanjakan matanya dengan kemolekan tubuhnya yang indah. Sedangkan Alice, sejak kecil hingga sekarang, wanita yang tidak lagi gadis itu tak pernah bisa bertubuh ramping.
Alice sudah berusaha untuk mengurangi makanannya agar ia bisa ramping seperti wanita lain. Akan tetapi apa pun yang ia makan walaupun cuma dikit tetap membuat berat tubuhnya bertambah. Tidak ada yang bisa wanita itu lakukan. Bahkan ia pernah masuk rumah sakit hanya karena memaksakan diri untuk diet.
"Siapa wanita yang ingin kamu nikahi itu? Sampai-sampai kamu tega ingin meninggalkan istrimu sendiri!" tanya Imanuel mulai naik pitam. Walaupun ia berdarah luar yang mana kehidupan mereka lebih demokratis dan tak mengekang. Namun tetap saja, ia tak membenarkan apa yang dilakukan putranya ini.
"Gisella."
"Gisella?" ucap Jelita dan Imanuel serempak. Jelita memegang dadanya yang langsung terasa sesak.
"Benar, Gisella!" jawabnya singkat.
Jelita bangkit dari duduknya, melemparkan tatapan di kedua bola mata putra bungsunya. Ia tahu betul siapa wanita yang disebutkan putranya itu. Di mata Jelita wanita bernama Gisella tidak lebih dari wanita murahan yang dengan mudah menjajakan tubuhnya hanya demi sebuah status dan kedudukan.
"Tidak! Mama tidak setuju kamu bersama wanita itu. Wanita itu hanya akan menjadi petaka di hidupmu. Mama tidak setuju!"
"Aku sudah dewasa dan tahu mana yang baik untuk hidupku!"
Alice hanya diam mendengarkan perdebatan antara ibu dan anak tersebut. Lidahnya sudah kelu, ia sudah tak sanggup mengeluarkan satu patah kata pun. Ia larut dalam rasa sakitnya sendiri.
Gavin berdiri dari duduknya, ia tidak perduli dengan protes yang diajukan Jelita. Ia hanya ingin hidup dengan wanita yang ia inginkan. Gavin tidak ingin mengulur waktu. Semakin cepat ia berpisah itu justru semakin baik.
"Aku talak kamu, Dionne Alice Kiyonna! Mulai hari ini kau bukan istriku lagi!" teriak Gavin lantang. Cukup membuat semua yang ada dalam ruangan makan itu terkejut untuk kedua kalinya.
Talak yang keluar dari mulut Gavin membuat tubuh Alice melemas. Seakan nyawanya dicabut secara paksa dari raga. Menghancurkan kembali kepingan hatinya yang tersisa. Hingga hancur lebur tidak berbentuk lagi.
Tubuh Alice menegang di tempat. Ia menunduk dengan kedua tangan yang terkepal erat dan tubuh yang bergetar menahan amarah yang siap meledak. Air mata yang bermuara di pelupuk mata tak dapat ia bendung lagi, jatuh tanpa mampu ia cegah. Membasahi rok yang ia kenakan.
Perceraian ini mungkin yang terbaik, setelah menghabiskan waktu untuk berpikir keras hingga ia nekat mabuk dan berakhir pada kehilangannya mahkotanya yang beharga.
Alice merasa bagai daun kering yang gugur dan terinjak di tanah. Tidak beharga dan tidak berguna.
Pengkhianatan adalah kejahatan tertinggi yang dilakukan oleh manusia. Bisa membunuh seseorang tanpa harus mengucurkan darah dan meninggalkan bekas luka. Sedangkan cinta adalah nyawa, ia bisa membuat orang mati hidup kembali. Namun juga bisa membuat orang hidup seperti mati.
"Kamu benar-benar kelewat batas Gavin!"
"Cukup, Ma. Aku sudah melakukan apa yang Mama-papa inginkan. Amanah almarhum Kakek juga sudah aku tuntaskan. Sekarang biarkan aku mencari kebahagiaanku. Begitupun dengan Alice, silakan dia mencari lelaki yang bisa mencintainya. Yang pasti bukan aku!" ujar Gavin.
Lelaki itu melemparkan tatapan merendahkan. Tepat saat Alice menegakkan kepalanya. Tatapan mata mereka beradu untuk beberapa saat, hingga Gavin mengalihkan pandangan matanya dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Ia tak nyaman menatap binar mata berkabut milik Alice.
"No Alice! Berhentilah menangis! Air mata ini tidak akan mengubah apa pun hanya membuat hatimu bertambah sesak. Kau beharga hanya saat berada di tangan orang yang mengetahui kualitas dirimu. Berhentilah menangis!" batin Alice. Ia mengusap air matanya dengan kasar, semakin ia hapus air mata itu pun semakin jatuh.
Cengengkah ia? Tidak, ia tidak cengeng. Tetapi luka yang diberikan lelaki itu terlalu dalam. Sekuat apa pun manusia pasti akan menjerit saat merasakan sakit yang teramat sangat. Begitupun dirinya.
Jelita beranjak dari duduknya. Ia mendekati menantunya dan mendekap tubuh wanita berisi itu dengan penuh kasih. Ia pun ikut menitikkan air mata merasakan rasa sakit yang diderita menantunya ini. Rasa sayang Jelita pada Alice tak berbeda dibandingkan dengan kedua putranya.
"Maafkan putraku Alice. Maaf karena telah menghancurkan hatimu, kau tetap menantuku sampai kapan pun!" ujar Jelita yang membuat air mata Alice jatuh kembali.
Imanuel dan Bara diam memperhatikan kedua wanita yang sedang berpelukan sedih itu. Mereka berdua bingung harus berbuat apa untuk menghapus air mata itu.
Bara menatap Alice lekat-lekat. Ia sudah mengambil keputusan, menentukan apa yang akan ia lakukan selanjutnya terhadap wanita itu. Jika seseorang telah membuang permatanya begitu saja. Tak ada salahnya jika orang lain memungutnya. Orang itu tidak akan dituduh sebagai pencuri, kan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Intan IbunyaAzam
wah.... bara ambel keputusan kerennn
2023-10-23
1
Nikala
kelilipan gajah nih orang/Angry/
2023-10-12
0
Nikala
udah ngga bisa dibicarakan baik baik mommy😓
2023-10-12
0