"Minuman itu milik Kak Gavin, aku tak sadar saat Kak Bara meminumnya, seharusnya aku mencegahnya. A-aku ...," ucapan Alice terputus.
Ia menggigit bibirnya seraya membuang muka. Ia sangat malu untuk menjelaskan semua itu. Rasanya ia ingin sekali membenamkan tubuhnya ke dalam tanah sekarang juga.
Demi mendapatkan perhatian dan belaian suaminya sendiri, ia harus melakukan hal konyol dan memalukan seperti itu.
Bara bangkit dan bersandar pada sandaran ranjang. Melirik ke arah punggung putih polos Alice lalu melemparkan pandangannya ke selimut yang ia kenakan untuk menutupi aset prianya.
"Apa kau membutuhkan itu hanya untuk menjerat suamimu sendiri. Aku tak habis pikir sebegitu kesepiannya dirimu," ujarnya dengan raut wajah datar.
"Tolong keluar kamar ini segera, Kak. Sebelum semua orang di rumah ini melihat. Anggap saja tak ada yang terjadi di antara kita. Aku cukup tahu diri, sekarang pergilah!"
"Kau mengusirku?!" tanya Bara tak percaya mendengarnya.
Saat seorang wanita kehilangan kehormatannya akan menangis dan meminta tanggung jawab. Wanita yang ada di sampingnya ini justru mengusirnya begitu saja.
"Aku tak berani, tapi kumohon keluarlah! Demi kebaikan kita bersama. Kamu tenang saja, aku akan menutup mulutku dengan rapat," jelas Alice kembali. Masih dengan posisi yang sama, memunggungi Bara.
Mata wanita itu kian berkabut. Ia tahu ini pasti merupakan aib yang paling memalukan bagi pria itu. Semua yang terjadi pada mereka hanya semata karena ketidaksengajaan. Mana ada lelaki yang mau menyentuh wanita sepertinya dengan suka rela. Tidak ada satu bagian pun di tubuhnya yang dapat menggoda pria tampan itu.
Bara yang bingung harus mengatakan apa lebih memilih untuk diam. Ia beranjak dari ranjang, mengumpulkan pakaiannya dan mengenakannya dengan cepat lalu pergi.
Pria itu sempat menoleh sejenak pada Alice, tapi wanita itu tetap mengalihkan pandangan dan tak ingin melihatnya.
Setelah kepergian Bara dari kamarnya, Alice segera beranjak dari ranjang dengan tertatih menahan perih. Ia mengunci pintu kamarnya dengan rapat dan beralih masuk ke dalam kamar mandi.
Ia tak ingin ada orang yang masuk ke dalam kamarnya sebelum semua bekas percintaan mereka semalam ia bersihkan.
Di bawah pancuran air yang dingin Alice menangis. Air matanya berlomba-lomba turun dan bercampur jadi satu dengan tetesan air yang jatuh dari shower.
Ia tahu menangis tak ada gunanya bagi dirinya saat ini, air matanya tak mampu mengubah keadaan yang begitu rumit. Tapi hatinya yang begitu sakit, membutuhkan pelampiasan agar rasa sesaknya sedikit berkurang. Tak ada yang bisa ia salahkan selain dirinya sendiri.
^^^^^^^
Malam ini semuanya berkumpul di meja makan, kecuali Gavin. Jenita dan Imanuel tampak bahagia sehabis berkunjung ke rumah sanak saudaranya yang ada di luar kota. Mereka baru tiba siang tadi.
"Gavin di mana, Sayang. Kenapa dia tidak gabung bersama kita di meja makan ini?" tanya Wanita tua yang tetap fashionable walau sudah tak lagi muda. Baju serta potongan rambutnya membuat ia tampak lebih muda dari umurnya.
"Mungkin masih ada kerjaan yang harus di kerjakan, Ma," jawab Alice berbohong. Bahkan ia sendiri tak tahu suaminya akan pulang ke rumah malam ini atau tidak, Seperti biasanya.
Ujung mata Alice menangkap wajah Bara yang duduk jarak dua kursi kosong di sebelahnya. Pria itu tampak santai menikmati makannya, tak ada canggung dan tak ada rasa bersalah. Alice sedikit kecewa, walau ia sendiri tak tahu apa yang ia harapkan dari pria tersebut.
"Setelah apa yang terjadi di antara kami, dia tetap santai seakan tak ada masalah apa-apa. Kenapa aku bisa terjebak dengan dua kakak-adik yang mengacaukan hidupku!" rutuk Alice di dalam hati. Raut wajahnya berubah sedih. Ia menundukkan kepala, menjatuhkan pandangan pada makanan yang ia aduk tak berselera.
Bara menatap Alice saat wanita itu tak lagi menatapnya. Pria itu menangkap binar kesedihan di wajah manis itu. Entah apa yang bergelayut di dalam pikirannya saat ini. Bahkan Bara pun bingung harus memulai obrolan dari mana.
"Selamat malam semuanya!" seru Gavin dengan ceria. Semua mata menoleh padanya yang baru saja datang. Langkah kaki pria itu begitu santai. Ia memakai kemeja berwarna biru, kemeja berbeda yang ia kenakan kemarin.
Gavin mencium sang Mama dan memilih duduk di sebelah Jelita dan berhadapan dengan Bara. Hati Alice tercubit sakit, ia begitu yakin suaminya enggan untuk duduk di dekatnya.
"Kenapa baru pulang, Nak? Kami menunggumu untuk makan bersama sedari tadi."
"Aku sudah kenyang, Ma. Tadi makan sama teman dulu di luar," balasnya. Alice mengumpat di dalam hati. Teman yang di sebut lelaki itu pasti selingkuhannya yang gatal.
Makanan yang ada di mulut Alice terasa susah untuk lolos dalam tenggorokannya. Wanita itu makan dengan begitu lambat.
"Ma, Pa ... aku mau ngomong serius malam ini," ucap Gavin ragu-ragu. Davan memicingkan matanya, memperhatikan gelagat aneh adiknya itu.
Alice mencoba untuk tenang walau tangannya sudah mencengkram sendok makannya dengan erat.
"Katakanlah! Kamu mau ngomong apa?" tanya Jelita antusias dan melirik ke arah Alice dengan senyum cerah. Entah kabar apa yang diharapkan wanita paruh baya itu.
"Aku ingin menikah lagi. Menikahi kekasihku!" ujar Gavin mantap.
Alice tersentak kaget begitupun Jelita. Dentingan sendok yang jatuh menghantam piring terdengar dari arah Alice. Ucapan pria itu bagai petir yang menyambar hatinya. Wajahnya seketika berubah merah karena menahan amarah dengan yang hati yang merenggas.
"Apa kamu masih waras Gavin?! Kamu mengucapkan ingin menikah lagi pada kami dengan entengnya dan tanpa beban. Apa kamu sadar wanita yang ada di hadapanmu itu adalah istrimu!" marah Imanuel pada putranya. Tentu ia tak suka mendengarnya.
"Aku waras Pa, bahkan sangat-sangat waras!"
"Jika kamu waras dan sadar, kamu seharusnya tidak mengatakan hal sembarang seperti itu. Apa kamu tak memikirkan perasaan istrimu?" tegur lelaki berdarah eropa tersebut.
"Aku tak mencintai Alice, Papa dan Mama sejak awal sudah tahu itu. Ini semua karena permintaan konyol Almarhum Kakek. Kenapa harus aku yang menikahi wanita gemuk dan jelek ini. Kenapa bukan orang lain!"
"Cukup Gavin, jaga ucapanmu! Wanita yang kamu hina ini adalah istrimu!" balas pria paruh baya itu cepat dan geram.
Jelita memandang iba pada menantunya. Menatap binar mata yang mendung itu. Sebagai seorang wanita, ia juga tak tahan mendengar perdebatan antara suami dan anaknya. Ucapan Gavin yang terus mengungkit tentang perjodohan serta fisik Alice yang tak sesuai dengan kriteria wanita idamannya.
"Sudah Gavin, jangan lanjutkan lagi pertengkaran ini. Pokoknya Mama dan Papa tidak merestui kamu untuk menikah lagi dengan wanita manapun. Alice pun juga pasti sama pendapatnya dengan kami."
"Aku tidak peduli Mama dan Papa setuju atau tidak. Apalagi persetujuan wanita gemuk ini. Aku, aku tak membutuhkannya. Aku akan tetap menikahi Gisella dan keputusanku sudah bulat!" tekad Gavin sudah bulat.
Alice menghela napas berat. Hal ini sudah ia prediksi sebelumnya. Berulang kali ia memikirkan jawaban jika seandainya hari ini akan tiba.
"Aku tak mau dimadu. Jika kamu mau menikah lagi silakan. Tapi tolong ceraikan aku terlebih dahulu. Talak aku sekarang dan kamu akan bebas menikah dengan siapa pun yang kamu inginkan!" ujar Alice tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Intan IbunyaAzam
tegas
2023-10-23
0
Intan IbunyaAzam
mantap Alice tega
2023-10-23
0
Muh. Yahya Adiputra
kamu benar-benar bahwa sekali gavin, aku sumpahin nanti kamu akan menyesal karena telah menyia nyiakan alice😬😬
2023-10-13
0