Jerman, salah satu negara di eropa yang menjadi tempat persembunyian Alice untuk melahirkan dan membesarkan anaknya seorang diri nanti. Sejak tiba di negara itu, Alice sudah mulai bisa melupakan kesedihan hatinya. Setiap hari ia melihat majalah anak dan merajut untuk mengisi hari-harinya yang membosankan.
Selama ia hamil saudara sepupunya itu mengharamkan ia untuk bekerja, bahkan wanita blasteran itu juga tak mengizinkan Alice untuk mengerjakan pekerjaan rumah sedikit pun.
Daun maple berguguran satu persatu ditiup angin. Warna merahnya berkilauan diterpa sinar matahari yang mulai kemerahan senada dengan daun kering yang berguguran itu.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Yon?" Bianca menghampiri Alice yang kini berganti nama menjadi Yonna, seperti nama belakangnya. Wanita hamil itu sedang bersantai menikmati gugurnya daun maple seorang diri.
"Menikmati kesendirian," jawabnya sambil tersenyum. Tangannya mengusap perut buncitnya dengan lembut. Sejak hamil Yonna memang senang menyentuh perutnya, berinteraksi dengan janin yang baru saja tumbuh itu.
"Apa kau bosan? Aku bisa mengajakmu jalan-jalan," tawar gadis berambut sebahu itu.
Celana jins panjang serta kemeja kotak-kotak, rambut yang diikat dan di tutup oleh topi membuat tampilan Bianca lebih mirip seorang laki-laki daripada seorang gadis. Wanita itu sebenarnya manis dengan wajah campuran indo-jerman.
"Tidak usah, aku lagi ingin santai duduk di sini sambil menikmati angin musim gugur. Oh ya, tumben kamu pulang cepat?"
"Oh, aku memang sengaja pulang cepat. Capek kerja mulu, lagian tanpa kerja juga aku sudah kaya," tawa Bianca berderai.
Terdengar begitu sombong, tetapi memang itulah kenyataannya. Wanita itu adalah anak tunggal dari seorang pemilik perusahaan makanan yang cukup terkenal di jerman.
Ibu Bianca yang asli orang Indonesia adalah adik dari Papa Yonna. Yonna merasa bahagia tinggal di rumah ini, selain suasananya yang tenang. Keluarganya pun menerimanya dengan sangat baik di sini.
"Anginnya terlalu kencang, ayo kita masuk!" ajak Bianca, Yonna ingin menolak dengan alasan masih betah di tempatnya. Namun tatapan tajam yang Bianca layangkan membuatnya tak jadi mengeluarkan perkataan itu.
Kedua wanita itu masuk ke dalam rumah besar bergaya Victoria yang menggunakan material batu dan kayu. Bangunannya cukup tinggi dengan dua lantai beratapkan bentuk yang berbeda-beda untuk mempertahankan konsep asimetris-nya.
"Setelah melahirkan apa yang akan kamu lakukan Yonna? Apa kamu akan kembali ke indonesia?"
"Tidak, mungkin aku akan mencari pekerjaan dan membesarkan anakku di negara ini. Aku sudah merasa nyaman hidup di sini. Semua warganya ramah dan tak usil," ujar Yonna. Mereka berdua berjalan sambil berbincang.
"Kenapa harus bekerja, kami bisa tinggal santai di rumah ini. Cukup mengasuh anakmu saja."
"Lalu siapa yang akan menafkahiku dan anakku? Memangnya kamu pikir hidup kami berdua tak memerlukan biaya?" balas Yonna mengomentari ucapan sepupunya yang terdengar begitu polos di bandingkan usianya yang lebih tua dua tahun darinya.
"Iya juga ya, atau kamu cari suami baru saja. Banyak pria bule yang ganteng dan kaya di sini. Mau aku kenalkan salah satunya!"
Senyum di bibir Yonna seketika meredup. Langkah kakinya terhenti tepat sebelum mereka berdua menaiki tangga.
"Apa kamu lupa apa yang membuatku berakhir seperti ini? Gadis saja aku tak beharga apalagi janda anak satu," lirih Yonna. Kesedihan itu tergambar jelas di wajahnya, pandangan matanya kosong menatap tangga.
Bianca menghembuskan napas. "Kamu cantik Yonna, hanya saja mereka tak menyadari kecantikanmu. Seperti permata yang tertimbun debu membuat kilaunya pudar."
Yonna tersenyum tipis. "Kau seperti Mamaku saja, kata-kata kalian untuk menghiburku sama."
"Karena itu memang benar, jika tubuhmu lebih kurus saja. Aku yakin kamu pasti akan jadi wanita yang begitu cantik," saran Bianca. Ia memindai penampilan Yonna dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
Kulit putih, tubuh tinggi, sepasang mata bulat almond dengan bulu mata lentik. Hidungnya pun dalam komposisi yang pas, tidak terlalu mancung dan tidak pula terlalu pesek.
Bibirnya yang tebal bagian bawah membuat bibir itu terlihat seksi. Ia sempurna sebagai wanita, kecuali tubuh gempalnya yang merusak komposisi keindahan itu.
"Ada apa? Kenapa kamu jadi termenung sendiri?" Yonna menepuk bahu Bianca. Gadis itu pun tersentak dari lamunannya. Bianca terkekeh, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Dasar, ayo!" Yonna melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamarnya. Begitupun Bianca yang mengikutinya dari belakang. Dalam otak Bianca sudah tersusun beberapa rencana yang akan ia lakukan setelah wanita hamil itu melahirkan.
"Setelah anak itu lahir, aku akan tunjukkan pada dunia, bagaimana rupa wanita cantik itu sesungguhnya! Memangnya kenapa kalau gemuk? Seperti balon yang gembung tinggal mencari jarum untuk mengempeskannya saja kan!" pikir Bianca enteng. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah lengkungan indah.
Di tempat yang berbeda, keluarga Apsara sedang menikmati makan malam keluarga dalam diam. Tak ada satu pun yang membuka suara selain bunyi denting sendok yang sesekali beradu dengan piring.
"Sayang tolong ambilkan itu!" Pinta Gisella dengan manja pada suaminya. Gavin tidak menjawab, hanya tangannya saja yang meraih apa yang wanita itu inginkan.
"Terima kasih, Sayang." Baru saja mencicipi makanan yang diberikan Gavin. Gisella kembali berulah. Ia meletakkan udang saos padang itu ke atas piring Gavin.
"Sayang, tolong bukakan! Kuku tanganku sakit jika mengupasnya. Kamu lihatlah kuku tanganku baru saja perawatan!" ucap wanita itu terdengar seperti rengekan.
Gisel mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan kuku jarinya yang cantik bercat dengan gradasi warna ungu muda dan pink di tambah hiasan berupa permata dan gliter.
Semua yang ada di meja makan mulai geram dengan sikap wanita itu yang manja. Tak terkecuali Gavin, ia merasa seperti pelayan Gisella di meja makan ini. Harga dirinya di depan keluarganya sendiri ternodai.
"Kamu kan tahu aku tak suka udang, kenapa meletakkannya di piringku?!"
Gisella memamerkan senyumnya yang manis, ia terlalu percaya diri jika Gavin akan selalu menuruti keinginannya. Hingga Gisella tak sadar telah melangkahi batasan yang seharusnya tidak ia lewati.
Jelita berdecih melihat senyum itu. Sejak awal ia memang tak suka dengan menantu barunya itu. Jika tidak karena cucu yang ada dalam kandungannya, maka Jelita tak akan pernah mengizinkan wanita sok berkuasa itu menempati rumahnya.
"Aku kan tidak memintamu untuk memakannya, Sayang. Tapi memintamu untuk membukakannya untukku. Ini permintaan anak kita," balas Bianca sambil menunjuk pada perutnya yang mulai membuncit.
Wanita itu selalu menjadikan anak yang ada di dalam perutnya sebagai alasan saat Gavin akan menunjukkan wajah marahnya. Bahkan saat Jelita memarahinya pun ia menggunakan perutnya yang pura-pura sakit agar terjadi perdebatan antara mertuanya dan Gavin.
Jelita baru saja ingin membuka mulutnya karena sudah tak tahan melihat sikap Gisella yang keterlaluan. Tapi tertahan oleh tatapan mata Imanuel serta kode dari bibirnya yang menyuruh Jelita menahan emosinya.
"Dasar ular! Bilang saja kamu malas. Kamu pikir anakku budakmu apa!" umpat Jelita di dalam hati. Ia benar-benar geram.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Intan IbunyaAzam
itulah trllu naif mantan mertua Alice gegar ccuk dgn mudah mengabaikan Alice,Bru aj Dy tggal dirmah Klian UD buat seenak jidatnya liat aj Gavin pon dh jenuh dgn perangai gisel
2023-10-23
1
b.tyagust🤩
jgn2 itu bukan anaknya gabin eh gavin
2023-09-26
1
Nurasiah
anak siapa tuh sel
2023-09-16
0