Satu minggu waktu berlalu. Selama itu pula Alice sudah berusaha menata hatinya kembali. Wajah itu masih mendung, namun binar matanya tidak seputus asa seperti kemarin.
Taman kecil di samping rumah menjadi tempat untuk wanita itu bersantai di pagi hari yang cerah ini. Matanya memandang hamparan bunga mawar merah yang sedang merekah. Gemericik air yang jatuh dari pancuran berupa patung putri duyung membawa guci berdiri di tengah kolam. Memanjakan telinganya. Hatinya terasa sedikit tentram.
"Kenapa tidak sarapan lagi pagi ini?" Sebuah suara mengagetkan Alice, ia pun menoleh pada lelaki yang sedang melangkah mendekatinya.
Pagi ini pria itu pergi entah ke mana, sedangkan Alice seperti biasa; duduk sarapan bersama kedua mertuanya di meja makan. Namun hanya segelas teh tanpa gula yang wanita itu sentuh. Tidak ada yang lain. Bukan karena diet, tapi memang ia sedang tidak berselera saja.
"Aku sarapan," jawabnya singkat. Kembali mengalihkan pandangan matanya pada hamparan mawar merah itu. Bunga yang paling ia sukai, ia yang menanamnya dan menyiraminya setiap hari.
Mawar merah melambangkan cinta, kesetiaan dan keindahan abadi. Semakin pekat warna merah pada kelopak bunga. Semakin dalam pula perasaan cinta dan kesetiaan itu. Begitulah mitos yang wanita itu percaya di dalam hatinya. Entah dari mana ia mendapatkan filosofi seperti itu.
"Alice! Apa kau tak mendengar ucapanku?" Bara menepuk pelan bahu Alice membuyarkan lamunannya. Ia pun tersentak, menoleh pada lelaki yang kini sudah duduk tepat di sampingnya.
Wajah Bara tampak marah karena Alice yang begitu larut dalam lamunannya, tidak menjawab pertanyaannya sedikit pun.
"Aku tidak tahu jika kita pernah sedekat ini, Kak. Tumben kamu bertanya aku sudah sarapan atau belum?" Bukannya menjawab pertanyaan pria itu. Alice justru memancing api di tengah bara.
"Apa susahnya menjawab. Jika dengan Gavin kamu bisa bersikap manis, ckkk."
Bara beranjak dari duduknya dengan raut wajah tidak sedap dipandang. Alice tidak peduli, ia hanya memandangi punggung Bara yang pergi menjauh. Saat ini yang wanita itu butuhkan hanyalah ketenangan. Alice masih belum tahu harus bagaimana saat ini. Haruskan ia tetap berada di rumah itu? Untuk apa, jika saat ini ia bukan lagi menantu di rumah tersebut.
Pagi berganti siang, siang berganti malam dan seperti itulah seterusnya. Hingga tidak terasa sudah tiga hari waktu berlalu. Bara pun tampak tidak lagi mendekati Alice, pria itu tampak dingin seperti biasanya. Ya ... memang seperti itulah seharusnya.
Alice sedang berkutat di dapur membantu para pelayan untuk menyiapkan makan malam. Hal yang biasa Alice lakukan di rumah ini. Ia tampak begitu lincah bergerak kesana kemari untuk menyiapkan makanan tersebut.
Makan malam pun terhidang di atas meja, semua menu masakan itu tampak menggoda mata. Semuanya adalah hasil masakan Alice, wanita itu memang piawai mengolah bahan makanan menjadi makanan yang enak. Rasa masakannya tidak perlu diragukan lagi.
Terdengar suara ketukan-ketukan sepatu yang mendekat. Kedua mertuanya datang untuk menikmati makan malam bersama setelah Alice meminta salah seorang pelayan untuk memanggil keduanya untuk datang. Sedangkan Bara? Pria itu tampak sibuk dengan kasus yang sedang ia hadapi.
"Waw ... semuanya tampak enak seperti biasa. Kamu memang yang terbaik, Sayang. Menantu kesayangan Mama yang paling pintar masak. Masakan Mama saja kalah sama kamu," puji Jelita dengan wajah yang berbinar ceria.
"Mama terlalu berlebihan memujiku," balas Alice. Mereka bertiga menikmati makan malam bersama sambil bertukar cerita dan bersenda gurau bersama.
Ia dan Alice memang hobi makan, jadi mereka berdua satu frekuensi. Hanya saja bedanya, Jelita tak terlalu pandai masak dan tubuhnya tidak gemuk walau banyak makanan yang ia makan.
"Selamat malam, ma-pa!" sapa Gavin yang baru saja tiba.
Semua mata menoleh. Alice menahan nafas untuk sesaat melihat wanita yang bersembunyi takut-takut di belakang punggung Gavin. Wanita yang ia lihat beberapa minggu yang lalu melemparkan senyum bangga penuh kemenangan padanya.
"Selamat malam Pak, Bu."
"Sudah beberapa hari tidak pulang, sekali pulang kamu membawa wanita ini?" cibir Jelita mengabaikan sapaan Gisella.
"Ma, aku dan Gisella sudah menikah. Jangan seperti itu pada menantu Mama," balas Gavin. Ia menarik sebuah kursi, menyuruh Gisella duduk tepat di sebelah Alice. Lalu ia pun duduk di sebelah Gisella.
Jelita menatap Gisella dan Alice secara bergantian. Dalam hati wanita itu menyadari perbedaan jauh antara dua wanita itu. Secara mata memandang, penampilan Gisella memang jauh lebih menggoda dari pada Alice. Membuat hatinya bimbang untuk seratus persen menyalahkan putranya.
Sialan! Alice mengutuk di dalam hati terhadap wanita yang ada di sampingnya ini. Bukan karena iri, tapi ia merasa jijik kala mengingat wanita di sampingnya ini mendesah dan menjerit penuh kenikmatan tanpa malu, bahwa pria yang ditungganginya ini sudah memiliki pasangan.
Lalu kini, wanita itu bersikap malu-malu seakan masih polos saja untuk menarik perhatian Jelita. Terlihat dari wajah Jelita yang mulai tampak santai tidak sekeras tadi.
"Kenapa kamu tidak pulang dan mengabari kami selama beberapa hari ini?" tanya Imanuel. Lelaki ini berusaha bersikap netral. Sebagai lelaki ia cukup paham hal yang melatar belakangi putranya melakukan perselingkuhan itu. Walau pada awalnya ia tidak setuju.
"Maaf, tapi aku sedang repot mengurus pernikahanku dengan Gisel," jawab Gavin. Ia menggenggam tangan Gisel di bawah meja, menyalurkan rasa tenang untuk wanita itu. Tangan Gavin pun sesekali mengusap perut wanita itu yang tertangkap oleh mata Alice.
"Kalian menikah tapi tidak memberi tahu kami?!" sentak Jelita mulai marah. Sebagai orang tua ia seakan tak dihargai oleh putranya sendiri.
"Jika aku beri tahu, apa Papa dan Mama mau datang? Sedangkan kalian sangat membela Alice dari pada aku; putra kalian sendiri."
"Gavin!" sentak Imanuel yang tak suka dengan sikap putranya itu.
Mata Alice kian memanas dengan air mata yang mulai menggenang. Ia mengacuhkan pembicaraan di antara mereka. Sudut matanya tidak berpindah dari tangan Gavin yang terus mengusap perut Gisella.
"Aku tahu Papa dan Mama tidak suka dengan keputusan yang aku ambil tiba-tiba ini. Tapi saat ini aku hanya ingin memberikan kabar bahagia untuk kalian."
Jelita dan Imanuel saling bertukar pandang lalu menatap putranya dengan tanda tanya besar.
"Gisella hamil, kalian berdua akan menjadi Kakek dan Nenek," ujar Gavin dengan binar bahagia.
Imanuel tersenyum senang, begitupun dengan Jelita. Walau ia tak seantusias suaminya yang menyambut kabar itu dengan senyum dan tawa. Akan tetapi binar bahagia itu tampak jelas di raut wajahnya.
Alice beranjak dari duduknya, ia pergi meninggalkan tempat itu begitu saja tanpa suara.
"Alice?" teriakan Jelita memanggil namanya ia biarkan begitu saja. Hatinya terlalu sakit untuk tetap berada di tempat itu.
Dunianya telah runtuh, ia bagai mahluk asing yang terjebak di ruangan ini. Dengan seketika kabar kehadiran seorang bayi yang ada di dalam perut Gisel membuat sikap Jelita dan Imanuel sedikit berubah begitu dahsyatnya. Alice tersadar dari pemikiran naifnya. Apalagi yang membuatnya tetap bertahan di tempat itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Intan IbunyaAzam
mkanya Alice nikah aj ma bara,psti NNT Gavin nyesel
2023-10-23
1
Nurhasanah
knp alice gk klr dr rmh itu..hrs y klr dong ksn dah d talak..walapun meetia y gk izinin klr..tp hrs ttp klr lah..bt apa lg...kan gtu
2023-10-15
1
Aniek Syifa
lgian knp msh 5ggal dstu alice.. ayo lepaskannnn. tk bantu doa online 🤣🤣
2023-09-20
2