18. Pulpen

“Zevanya!”

Zevanya menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya. Zevano berlari sembari memegang sebuah amplop coklat. Yang dipegang oleh lelaki itu adalah hasil laporan investigasi dan beberapa lembar foto. Ia sengaja merekayasanya, agar Zevanya percaya bahwa di tempat kejadian perkara tidak ada bukti apapun, selain bercak-bercak darah yang sudah mengering.

Zevano menyodorkan amplop itu pada Zevanya. “Ini, gue udah selesai.”

“Thank you. Maaf, ya, jadi ngerepotin lo.” ucap Zevanya sembari cengengesan.

“It's oke. Malah gue seneng direpotin sama lo.” Zevanya hanya tertawa geli mendengarnya. Ada sedikit kelegaan di hati Zevano, kala melihat kembarannya tertawa. “Kalo gitu, gue pulang duluan ... Bye!”

Saat Zevano melangkah, pulpen hitam miliknya yang dikantungi terjatuh ke lantai. Zevanya ingin memanggil Zevano untuk memberitahu pulpennya terjatuh. Namun, punggung lelaki itu sudah menjauh. Ia berinisiatif untuk mengambilnya, lalu menyimpannya di dalam tas. Zevanya menyadari sesuatu yang janggal pada pulpen tersebut. Di ujung lancipnya ada bercak darah.

Zevanya mendekatkan pulpen itu ke lubang hidungnya, seraya menciumnya. “Ini ... Darah, bukan pewarna makanan.”

Dari jauh, terlihat Icha berjalan sambil memegangi sebelah matanya, menggunakan handuk putih. Ada bercak darah juga yang merembes keluar dari mata gadis itu. Kebetulan, ada hal yang ingin Zevanya bicarakan dengan Icha, mengenai obrolan mereka di koridor sekolah tadi. Jujur, itu sungguh mengganggu pikiran Zevanya.

“Icha! Kebetulan banget lo ada di sini.”

“Apa? Belum puas lo buat sebelah mata gue buta?!” sahut Icha dengan suara lantang.

“Kok, lo jadi nyalahin gue?”

“Ini semua gara-gara Zevano! Lo kan, yang minta dia buat bales dendam ke gue?”

Zevanya melirik pulpen di tangannya, lalu bergantian melirik wajah Icha. Masuk akal. Pulpen itu ada bercak darah, begitu juga dengan sebelah mata Icha. Meskipun demikian, gadis itu akan berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi pada temannya. Karena itu hukuman yang pantas untuk manusia seperti Icha.

Zevanya terkekeh kecil. “Bales dendam? Denger, ya, lo walaupun sering ngebully gue. Tapi, gue nggak ada niatan buat bales dendam sama lo.”

Seketika Icha berpikir. Bener juga, sih. Kalo dia mau bales dendam, harusnya dia sama Zevano sekongkol, kan?

“By the way, gue mau tanya sama lo. Kenapa lo berasumsi kalo Indah udah meninggal?”

“Kalo dia nggak meninggal, seharusnya dia nongol dong di sekolah.”

“Tapi, beberapa hari lalu, Indah sempet WhatsApp gue. Dia bilang mau ke luar negeri.” bantah Zevanya. Ia berharap apa yang dikatakan Icha tidaklah benar.

“Coba lo tanya aja ke kepala sekolah. Gue males ladenin lo!” Icha mengusulkan. “Kalo ternyata bener Indah nggak minta izin. Lo harus terima kenyataan.”

Zevanya mengikuti usulan dari Icha. Ia langsung bergegas berlari menuju ruangan kepala sekolah yang terletak di lantai satu. Namun, orang yang dicarinya tidak ada di ruangan tersebut. Lalu, ponselnya berdering. Nomor kontak tidak dikenal mengirimnya pesan sebuah alamat dimana Indah berada. Nomor tersebut masih sama seperti tadi pagi. Itu ulah Zevano. Lelaki itu mendapatkan nomor baru Zevanya dari akun Twitter seseorang.

Arjuna sengaja menyebarkan nomor Zevanya melalui akun Twitternya. Ia senang sekali melihat reaksi Zevanya, ketika dirinya mengirimkan gambar buatannya. Untuk memastikannya tidak kabur, Arjuna diam-diam menaruh alat penyadap suara di tas ransel milik Zevanya. Jadi, ia bisa dengar apa yang dikatakan gadis itu.

Ketika sudah berada di parkiran, ponsel Zevanya berbunyi. Terdapat beberapa panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal lagi. Kali ini, bukan Zevano ataupun Gavin. “Halo?”

Yang ditelepon menghela napas lega. “Saya lega bisa mendengar suara kamu. Apa kamu baik-baik saja?”

Zevanya menjauhkan ponselnya dari telinganya. Terdengar seperti suara Arga dengan nada bicara lembut dan sopan. Padahal, sebelum berangkat sekolah, Arga sangat agresif seperti ingin menerkamnya. Apa jangan-jangan ni cowok sebenernya punya kepribadian ganda? Zevanya membatin.

“Zevanya, kamu bisa dengar saya, kan?”

“I—iya! Gue denger, kok.”

“Zevanya, dengarkan saya. Kamu—”

Namun, belum sempat Arga menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba panggilan terputus dengan sendirinya. Gadis itu berpikir mungkin Arga sengaja memutuskan panggilan, biasanya itu akan terjadi pada setiap orang yang memiliki kepribadian ganda. Kadang sikapnya akan berubah menjadi lemah lembut, kadang juga bisa berubah menjadi tempramental.

“No, jangan mikirin cowok yang udah nyakitin lo, Zev! Sekarang fokus menjalankan tugas dari Pak Rega.”

.

.

.

.

Sementara itu, di sebuah rumah besar berlantai dua terlihat banyak pengawal berpakaian jas hitam, berdiri di teras. Ya, rumah itu milik Arjuna Danuarta. Kini, Arga berada di gudang, berkelahi dengan salah satu pengawal. Lelaki itu ketahuan menggunakan ponsel Android yang tak terpakai di laci, lalu menelepon seseorang.

Arga bisa terlepas dari lakban yang mengikatnya, karena ia memecahkan botol kaca bekas alkohol dan menggemaskannya ke lakban. Ia sudah mencoba menelepon nomor Zevanya, tak ada jawaban. Ia tak sengaja melihat Twitter dan menemukan nomor istrinya di sana. Sekarang keadaan jadi berbalik, pengawal itu yang menggantikan Arga di sekap.

“Lain kali, kalau jadi pengawal harus pandai bela diri dulu.” Arga menepuk-nepuk pundak pengawal itu. “Tenang, saya tidak akan membunuh kamu. Saya tidak sekejam bos kamu.”

Pengawal itu hanya memakai celana kolor biru muda dan kaus putih. Karena sebelumnya, pakaiannya telah dilucuti Arga untuk melakukan penyamaran agar bisa keluar dari rumah kembarannya. Arga memakai masker mulut dan topi hitam, ia juga mencuri kunci mobil yang ada di kantung saku celana pengawal itu.

Arga berjalan keluar rumah. Para pengawal itu langsung menanyakan kondisi orang yang berada di dalam gudang. Lelaki itu hanya menjawab "Ya" kemudian pergi dengan dalih Arjuna memintanya datang. Ia menaiki salah satu mobil hitam di garasi. Tak ada yang mencurigainya pergi, bahkan tak bertanya dirinya mau ke mana.

Mobil yang dikendarai Arga telah masuk ke jalan raya. Namun, di tengah jalan ia melihat motor sport berwarna hitam merah terparkir di tepian jalan. Si pemilik motor pun membuka helmnya, Arga menepikan mobilnya untuk melihatnya dengan seksama. Zevanya. Gadis itu terlihat sedang memeriksa mesin motornya.

Arga keluar dari dalam mobil. “Pasti dia kesusahan memeriksanya sendirian.”

Arga berinisiatif untuk menyebrangi jalan raya, menghampiri sang istri. Sebuah mobil Alphard berhenti di belakang punggung Zevanya yang berjongkok. Kemudian, beberapa orang berpakaian hitam keluar dari mobil, salah satu dari mereka membekap mulut Zevanya hingga kehilangan kesadaran.

“Zevanya!” Arga memaksa menyebrang, suara klakson pengendara lain membuat langkah kakinya mundur ke belakang. Ia hanya bisa menyaksikan Zevanya di bawa lari oleh orang-orang itu.

Motor ninja 250R berhenti di hadapan Arga. “Lo telepon polisi lain, biar gue yang nolongin Zevanya.”

Arga mengangguk. “Oke, tolong, ya, Zev. Pastiin Zevanya tidak terluka.”

“Gue nggak bisa janji. Tapi, gue bakal pastiin Zevanya selamat.”

To be continued.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!