3 jam yang lalu.
Cindy hanya berpura-pura kesal pada Zevanya. Ia dan Indah sedang merencanakan kejutan untuk sahabatnya yang akan berulang tahun di jam 12 malam nanti. Kelas kriminologi sudah di dekor dengan balon berbentuk huruf dan angka 20, Indah yang mengusulkan Cindy agar membuat Zevanya kesal. Cerita soal dirinya berdekatan dengan seseorang itu memang benar adanya.
Kini, mereka berdua tengah merapikan kursi dan meja kemudian menyembunyikan kamera untuk mengabadikan momen tersebut. Indah juga sudah menyiapkan darah buatannya sendiri untuk merekayasa kejadian pembunuhan Cindy, tujuannya adalah membuat Zevanya panik sejadi-jadinya.
Indah menumpahkan darah buatannya ke lantai, lalu mengoleskan darah itu ke dahi Cindy, seolah-olah kepalanya terluka. “Akting lo tadi siang sih lumayan, tapi gue nggak yakin kali ini.”
“Percaya aja sama gue. Gue bisa, kok. Lo pokoknya tinggal nunggu di rooftop, abis itu telepon si Zeva dan dia bakalan nyamperin kita ke sekolah.”
“Oke, tapi hati-hati, ya? Perasaan gue agak aneh soalnya.”
“Sip, udah lo sana ke rooftop.”
Indah berjalan keluar kelas, sementara Cindy mengotori pakaiannya menggunakan darah yang ada di lantai. Ia berbaring di bawah cairan merah, menutup matanya sambil menahan napas. Bunyi decitan pintu terdengar, Cindy menghela napas kemudian bangkit.
“Indah, kan udah gue bilang, lo tunggu di rooftop ... .” Cindy menoleh, menyeret tubuhnya ke belakang. Bukan Indah yang memasuki kelas. Namun, seseorang berpakaian hitam dengan mulut tertutupi oleh masker dan membawa pemukul baseball.
Lelaki itu terkekeh melihat sandiwara yang dirancang Cindy. Ia berjalan mendekati gadis itu. “Lagi main bunuh-bunuhan ceritanya? Mau gue bantu, nggak?”
Cindy menggeleng, berlutut di hadapan lelaki itu sembari menggesekkan kedua telapak tangannya. “Jangan! Gue mohon ... Biarin pergi dari sini ... .”
“Bacot!” lelaki itu langsung memukul kepala Cindy dengan tongkat baseball. Dahi gadis itu mengeluarkan darah, mengalir melewati pelipisnya.
Lelaki itu melemparkan tongkat baseball yang di genggamannya ke sembarang arah. Tanpa basa-basi, lelaki itu melepas pakaian Cindy hingga tubuh polosnya terpampang. Lelaki tersebut segera membuka resleting celana jeans hitamnya dan memasukkan miliknya ke dalam gua sempit itu. Gadis itu berteriak kesakitan karena lelaki itu menghentakkan pinggulnya dengan kasar.
“Damn it! Diem!” Lelaki itu membekap mulut Cindy menggunakan telapak tangannya. Mempercepat gerakan pinggulnya sebelum ada satpam yang memergokinya.
Indah sedari tadi menelepon Zevanya. Namun, tidak diangkat. Cindy pun belum memberi instruksi padanya, padahal, sudah dua puluh menitan dirinya berada di rooftop. Perasaannya bercampur aduk, gadis itu dilema antara menyusul Cindy ke kelas atau tetap berada di rooftop.
“Zev, ayo dong angkat! Ni anak ke mana, sih? Apa jangan-jangan udah tidur?” gerutu Indah.
Sementara sahabatnya yang berada di dalam kelas, sudah terbaring lemas dengan keadaan darah perawan keluar dari lubang mahkotanya. Pangkal pahanya juga terasa sakit akibat gesekan rudal milik lelaki itu. Merasa belum puas, lelaki itu mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku celananya, kemudian menyayat sudut bibir Cindy. Gadis itu lebih baik dibunuh langsung daripada harus menerima siksaan.
Melihat Cindy masih bernapas, lelaki itu tidak terima, lalu mencekik leher Cindy sampai meninggalkan bekas lebam di sana.
“Mati lo!” Cindy memukuli dada bidang lelaki itu. Perlahan tangan gadis itu melemas, kesadarannya hilang akibat cengkraman lelaki berpakaian hitam itu.
Untuk mempercepat waktu, lelaki itu melepaskan cengkraman tangannya dan mengambil kursi. Ia memukul Cindy hingga dirinya puas. Aksi bejatnya terekam kamera yang diletakkan Indah di sudut meja. CCTV sudah dimatikan sebelum lelaki itu masuk ke kelas kriminologi. Jam menunjukkan pukul 23.49 WIB, lelaki itu bergegas membungkus mayat Cindy dengan plastik transparan berukuran besar.
Lengket? Jelas, memasukkan tubuh Cindy memerlukan kesabaran. Kondisi mayat Cindy sudah dipenuhi luka memar dengan darah mengucur deras di kepala. Lelaki itu membawa mayat gadis itu ke rumah Zevanya dan Arga. Lelaki itu meletakkan mayat Cindy di teras rumah pasutri itu. Kebetulan saat itu gerbang tidak di kunci.
“Selamat ulang tahun! Gue punya kejutan buat lo, kejutannya ada di depan pintu.”
Lelaki berpakaian hitam itu mengirim pesan kepada Zevanya, lalu pergi meninggalkan rumah Arga.
****
Beberapa polisi berdatangan bersama ambulans ke rumah Arga dan Zevanya, untuk menginvestigasi jenazah Cindy. Istri Arga itu hanya memandangi jenazah Cindy dengan tatapan kosong, tak menyangka sahabatnya akan pergi secepat itu. Padahal tadi siang mereka berkumpul bertiga di kantin sekolah, sangat disayangkan diakhir obrolan Zevanya dan Cindy bermusuhan hanya karena satu lelaki.
Arga yang berprofesi sebagai detektif kepolisian pun ikut membantu ketiga perawat mengeluarkan jenazah Cindy dari dalam plastik. Setelah dikeluarkan, mereka memindahkannya ke brankar kemudian dimasukkan ke dalam ambulans untuk di autopsi lebih lanjut di rumah sakit.
“Kamu orang pertama yang melihat korban?” tanya Rega, menunjuk ke arah Zevanya. Ia adalah rekan kerja Arga di kantor polisi.
Raut wajah datar Zevanya menatap Rega. “Iya, saya juga mendapatkan pesan aneh dari beliau. Saya yakin yang mengirim pesan itu bukan dia, tapi si pelaku.”
“Dikarenakan ini sudah malam, besok kamu boleh datang ke kantor polisi untuk memberi keterangan.” ucap Rega pada Zevanya. Lelaki itu pamit mengundurkan diri dari rumah Arga dan Zevanya.
“Ah, iya! Indah! Dia belum tau soal ini.” Zevanya mengambil ponselnya yang diletakkan di meja, seraya menelepon Indah. Tak lama, telepon mulai terhubung. “Indah, lo di mana sekarang?”
“Zev! Gue nungguin lo dari tadi di sekolah, nomor lo juga nggak bisa di telepon.” kata Indah.
“Lo ngapain di sekolah malem-malem begini? Sahabat lo meninggal lo kenapa malah keluyuran?!” suara Zevanya terdengar membentak Indah.
“Oh, iya si Cindy.” gumam Indah. “Jadi lo udah tau? Terus kenapa lo baru nelepon gue?”
“Jenazah Cindy baru aja di bawa ke rumah sakit. Tunggu! Kenapa lo nggak kaget pas denger Cindy meninggal?”
“Hah?!” Indah segera berlari ke lantai tiga menuju kelas kriminologi, memastikan Cindy masih ada di sana. Tetapi apa yang dilihatnya? Indah hanya melihat darah buatannya yang sudah menyatu dengan darah sungguhan, tidak ada tanda-tanda keberadaan Cindy di kelas.
“Haha ... Nggak, nggak mungkin ... Lo jangan-jangan bales dendam kan, sama gue. Gara-gara gue sekongkol sama Cindy buat ngerjain lo?” ucap Indah lagi sembari menggeleng menatapi seisi ruangan.
“Gue nggak lagi bercanda, ya, gue serius! Cindy itu beneran udah meninggal! Gue liat mayatnya!”
Bukan hanya Zevanya yang tidak menyangka jika kejadiannya akan berakhir tragis seperti ini. Indah lebih tak menyangka, dia pikir Cindy melarikan diri ke rumah Zevanya. Namun tidak begitu. Lelucon yang mereka rencanakan malah berujung pada kematian. Indah hanya bisa menangis terisak memukuli kepalanya sendiri karena ide gilanya.
“Ini semua salah gue ... .”
“Bukan. Ini musibah, Indah, kita nggak ada yang tau musibah bisa dateng kapan aja.”
Indah memberitahu tempat kejadian perkara yang sebenarnya terjadi di kelas kriminologi, setelah itu Zevanya menyudahi pembicaraan mereka di telepon. Sudah larut malam, besok ia harus bangun pagi-pagi dan memeriksa TKP bersama Arga.
****
Siswa dan siswi di SMA Dirgantara heboh oleh kondisi kelas yang sudah acak-acakan. Meja dan kursi terdapat bercak darah, begitu pula lantai. Para polisi memberikan garis pembatas di pintu, agar siswa siswi tidak sembarang memasuki area tersebut. Terpaksa kelas kriminologi harus dipindahkan ke lantai dua berhubung ada kasus pembunuhan.
Zevanya pun sudah mendapatkan izin dari kepala sekolah maupun polisi untuk ikut menginvestigasi TKP bersama Arga. Agar sidik jari mereka tidak tergabung dengan sidik jari pelaku, mereka menggunakan sarung tangan karet.
Zevanya mengendus darah di lantai, bau amis itu memang agak samar karena tercampur darah buatan Indah. Ia melihat sesuatu berwarna hitam di pojok kanan meja dekat jendela, yang tertutup buku. Zevanya menyingkirkan buku tersebut dan mengambil benda itu.
“Arga, gue nemuin kamera.” Arga antusias mendekat pada Zevanya. Tidak terduga kamera itu masih menyala, merekam situasi kelas. Zevanya menyimpan video tersebut kemudian memutarnya kembali.
Di menit kemudian, terekam seseorang memakai jaket kulit hitam dengan masker mulut sedang memerkosa Cindy menggunakan cara kasar. Bukan sekadar memerkosa, bahkan memukuli gadis itu berulang kali.
“Ini bisa jadi bukti pertama, hanya tinggal menunggu hasil autopsi keluar. Kita akan cari pelakunya.” ucap Arga. Zevanya mengangguk sembari menatap lelaki itu.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments