“Lo harus hati-hati tinggal seatap sama tu cowok.”
“Selamat pagi! Udah lama banget, ya, gue nggak hubungin lo? Pasti lo kangen kan, sama gue.”
Pagi-pagi buta, ponsel Zevanya langsung dibanjiri dengan tiga pesan dari nomor tidak dikenal. Yang satunya, mengirimkan foto sebuah kertas putih bergambar wajah seorang gadis tanpa badan, sementara dua nomor itu mengirim pesan teks. Gambar gadis itu terlihat seperti dipajang di kotak transparan. Jika diperhatikan lebih seksama, detail gambar wajah gadis itu mirip seperti Zevanya.
Refleks Zevanya melempar ponselnya ke atas ranjang. Ia meraba-raba tengkuk lehernya, hingga ke bagian belakang. Gadis itu bisa merasakan saat lehernya terpenggal oleh pisau pemotong daging, saat itu juga badannya sudah terlepas dari kepalanya.
“Apa yang lo pikirin?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Zevanya. Wajah tampan Arjuna menyembul dari balik pintu kamar. Zevanya terkejut, lalu segera mengambil ponselnya yang dilemparkan ke ranjang.
“Nggak, gue lagi mau siap-siap berangkat sekolah.” ucap Zevanya seraya menggendong tas ranselnya. Arjuna merebut tas ransel di bahu gadis itu dan melemparkannya ke ranjang.
“Gue nggak izinin lo sekolah! Daripada lo sekolah, mending lakuin kewajiban lo sebagai seorang istri.” Arjuna mendorong tubuh Zevanya hingga terduduk di atas ranjang.
“Nggak sudi gue ngelakuin itu!”
Arjuna menghela napas panjang, kepalanya mendongak melihat ke arah kamera di sudut dinding. Sebuah tamparan keras melayang di wajah Zevanya. Sementara yang dibalik kamera pengawas, hanya membulatkan mata melihat perlakuan Arjuna pada Zevanya. Arga tidak bisa melakukan apapun saat ini selain menonton layar monitor, kaki dan tangannya terikat oleh lakban hitam.
Zevanya tak mau menjadi gadis lemah, ia menendang alat kelamin lelaki itu. Arjuna memegangi yang ada di bawah sana, sembari merapatkan kedua kaki menahan sakit. Di ambang pintu, Zevanya berbalik dan melototi Arjuna dengan mengacungkan jari tengah. Kemudian, ia menuruni tangga menuju keluar rumah.
“Zevanya! Masuk ke dalem atau lo bakalan terima hukuman selanjutnya!” ancam Arjuna dari atas balkon.
Gadis itu tak menggubris. Ia sedang sibuk memundurkan motornya keluar teras rumah. Tak lupa pula untuk memanaskan mesinnya terlebih dahulu, hingga mengeluarkan asap yang lumayan mengebul. Wajah Arjuna sampai tak terlihat karena asap yang keluar dari knalpot motor Zevanya. Setelah itu, ia melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Arjuna mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ia menelepon anak buahnya yang berjaga di rumahnya. “Awasi cewek yang namanya Zevanya. Jangan sampe dia kabur. Satu lagi, perketat pengawasan di rumah gue.”
Bisa-bisanya tuh cewek berani ngelawan gue.
.
.
.
.
Di SMA Dirgantara sudah banyak mobil polisi yang terparkir. Ada ambulans juga. Zevanya berjalan mendekati mobil Rega dan Sandy, rupanya mereka tengah menginvestigasi mayat Andrian. Gadis itu segera berlari mendekati rekan kerja suaminya. Sekujur tubuh Andrian penuh darah kering, kulitnya pun sudah membiru seperti membusuk.
“Eh, Zevanya? Arga mana? Biasanya dia yang lebih dulu daripada kita.” tanya Rega.
“Dia banyak berubah sekarang.” jawab Zevanya datar.
“Haaah ... Bisa-bisa Pak Kepala Polisi marah lagi sama kita karna nggak kompak.” keluh Sandy.
Tiba-tiba sebuah ide muncul dibenak Zevanya. “Apa ada yang bisa saya bantu? Itung-itung saya gantiin Arga.”
“Nah ide bagus. Kamu bantu kita periksa TKP.” titah Rega pada Zevanya.
Begitu mendapatkan perintah, Zevanya langsung bergegas memasuki gedung sekolah. Sebelum itu, ia mengambil sarung tangan karet di lokernya. Namun, Icha and the gang menghalanginya dengan berdiri di depan loker. Tak ada habis-habisnya gadis itu terus berurusan dengan Icha. Padahal, kemarin Zevanya sudah memberi peringatan pada Icha.
“Semenjak lo balik ke sekolah, pembunuhan mulai terjadi. Dari mulai Cindy, Indah terus ... Pak Andrian.” seloroh Icha seraya menyilangkan kedua tangan di dada.
Zevanya menerbitkan senyum diwajahnya. “Gue? Kenapa lo harus nyalahin gue? Kalo lo nggak suka sama keberadaan gue di sekolah, bilang! Nggak usah nuduh sembarangan.”
Icha dan Zevanya menjadi tontonan menarik para siswa, terutama Gavin dan Zevano. Mereka memperhatikan keributan itu dari tangga yang mengarah ke koridor sekolah. Satu lawan tiga? Heh, menarik. Kali ini kita liat, apa yang bakal terjadi selanjutnya, pikir Gavin.
Icha membobol loker Zevanya menggunakan palu. Di dalamnya terdapat dua pistol yang diletakkan di atas tumpukan buku-buku. Gadis itu mengambilnya, lalu diacungkan ke udara untuk memperlihatkannya pada siswa lain.
“Woi liat ni! Masa ketua kelas bawa senjata api ke sekolah? Jangan-jangan bener lagi, lo dalang dibalik pembunuhan Cindy?!” ucap Icha dengan suara keras.
Zevanya berjinjit-jinjit meraih pistol replika pemberian Arga. “Icha, balikin pistolnya!”
“Ambil sendiri kalo bisa!”
Zevano berdecak, seraya melangkah ke arah dua gadis yang masih memperebutkan pistol itu. Lelaki itu merampas dua pistol milik Zevanya, kemudian menatap tajam pada Icha. Ia tak bisa membiarkan kembarannya ditindas oleh siapapun.
Icha seketika langsung menunduk. “Gue nggak apa-apa, kok. Lo boleh hukum dia.”
Zevano merapatkan kepala Icha ke wajahnya dan membisikkan sesuatu. “Bukan dia yang gue hukum. Tapi, lo.” Zevano menjauhkan wajahnya, ia memberikan pistol itu kepada Zevanya.
Icha and the gang pergi meninggalkan koridor sekolah, setelah mendapatkan peringatan dari Zevano. Kini, Zevanya bisa melakukan investigasinya dengan tenang di TKP. Lelaki itu menawarkan diri untuk melakukan investigasi yang akan dilakukan Zevanya. Ia lupa masih ada pisau lipat yang tertinggal di TKP, tepatnya di tempat sampah.
“Oh, yaudah kalo gitu gue minta tolong, ya! Thank, Vano.” Zevanya memberikan sarung tangan karetnya pada Zevano. Gadis itu berlari menapaki tangga menuju kelas kriminologi. Entah mengapa rasanya aneh, saat Zevanya memanggil nama belakangnya.
“Lo bisa bales tu cewek. Dia kan, sering cari masalah sama kembaran lo.” ungkap Gavin. Tiba-tiba, Zevano menoleh ke belakang.
Zevano mengangguk. Urat-urat di punggung tangannya menonjol, ia mengepal sarung tangan karet itu dengan erat. Gavin tak sepenuhnya salah. Sejak dirinya menginjakkan kaki di SMA Dirgantara, Icha juga sudah mengolok-olok Zevanya tanpa sepengetahuan siswa lain.
Gavin berjalan, lalu menepuk bahu Zevano. “Semoga berhasil.”
Zevano berjalan menapaki satu persatu anak tangga, menuju ruangan Andrian untuk mengambil pisau lipat miliknya. Kemudian, ia beralih ke kelas paling ujung yang berada di lantai empat. Ia mencabut foto Zevanya yang tertempel di Mading dan menggantinya dengan foto Icha, sebagai target baru.
“New target.” Zevano menusukkan pisau pada foto Icha di bagian mata.
.
.
.
.
Jam pelajaran selesai, Zevano meninggalkan surat di loker Icha. Kalimat yang dituliskan pada surat tersebut, adalah kalimat permintaan maaf atas sikapnya tadi. Ia meminta Icha untuk mendatanginya di halaman belakang sekolah. Ia berdalih ingin meminta maaf secara langsung.
Icha sudah melihat punggung Zevano berdiri di hadapannya. Jelas ia tak mau membuang kesempatan itu untuk menarik perhatian Zevano. Sebelum melangkah, gadis itu bercermin terlebih dahulu pada layar ponselnya.
“Zevano.” sapa Icha sembari tersenyum manis.
Zevano memutar badan, menghadap Icha. “Lo udah baca surat gue?”
“Iya, gue udah baca surat dari lo.”
Zevano melangkah, mendekati Icha. “Gue minta maaf. Sikap gue terlalu kasar sama lo, gue cuma nggak mau lo terlibat dalam masalah.”
Icha menggeleng, seraya tersenyum. “Nggak apa-apa, kok.”
“Tapi gue nggak terima, lho. Lo bersikap seakan-akan paling berkuasa di sekolah, dan lo nuduh Zevanya tanpa bukti.”
“Apa maksud lo?”
Zevano menghimpit tubuh Icha ke tembok. Ia memasukkan gumpalan kain putih ke dalam mulut gadis itu. Mata kanan Icha ditusuk oleh Zevano menggunakan pulpen. Pelupuk matanya mulai mengeluarkan darah, Icha berteriak meminta tolong dengan mulut yang tersumpal kain.
“Kalo lo masih mau hidup. Jangan usik Zevanya lagi atau kedua mata lo, gue buat buta selamanya!” Zevano meninggalkan Icha di belakang halaman sekolah. Tubuh Icha beringsut lemas ke bawah, ia memegangi matanya yang terluka.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments