Beberapa jam yang lalu.
Zevano memasuki ruangan Andrian, ia diperintahkan oleh bosnya untuk membunuh guru di kelas kriminologi. Ia tak berani menolak, karena bosnya bisa marah besar dan mencambuknya habis-habisan. Zevano merogoh kantung celananya, mengeluarkan pisau lipat. Kemudian, lelaki itu segera menikam Andrian dengan menancapkan pisau ke perutnya.
“Ini hukuman untuk anak yang tidak menurut. Di suruh ngemis aja susah bener!”
Lelaki itu teringat akan perkataan si penculik beberapa tahun lalu. Zevano juga sering disiksa saat masih menjadi gelandangan di kolong jembatan. Lehernya akan disayat bila tak menuruti perintah si penculik.
Zevano mencabut pisau itu, lalu menyayat leher Andrian hingga darah muncrat di wajahnya. Setelah Andrian tak bernapas lagi, ia segera menyelesaikan pekerjaannya, menyembunyikan mayat gurunya di kolong meja. Ia membersihkan bercak-bercak merah di lantai dan di wajahnya untuk menghilangkan kecurigaan. Zevano tak sengaja melihat catatan siswa kelas kriminologi di atas meja, ia penasaran kemudian membuka lembaran buku tersebut.
“Zevanya Pradipta? Kembaran gue sekolah di sini?”
Zevano memeriksa nama orang tua serta tanggal lahir Zevanya. Benar, Zevanya Pradipta, saudari kembarnya yang ia cari-cari selama ini. Ia menyobek selembar kertas kosong dan menuliskan beberapa kalimat, lalu dibiarkan begitu saja di atas meja. Lelaki itu bergegas menuju kelas untuk memastikan keberadaan Zevanya. Namun, ia hanya melihat rombongan siswa kelas kriminologi, berhamburan keluar. Kembarannya tidak ada diantara mereka. Rifky pun juga tak ada di sana.
“Kurang ajar! Rifky lo bajingan!” umpat Zevano. Ia berlari ke arah jalan raya sembari menengok ke sekitar.
Perlahan Zevano menghela napas melihat Zevanya baik-baik saja. Gadis itu terlihat sedang menyeberangi jalan besar, ketika tak ada pengendara motor atau pun mobil. Detik kemudian, sebuah mobil truk menghantam tubuh Zevanya ke tepian jalan. Darah mulai mengalir deras dari kepala Zevanya. Ia tak berani ke sana, berharap si pemilik mobil menolong kembarannya.
Namun, tidak. Kedua tangan Zevano mengepal saat menyaksikan si pemilik mobil menendang wajah Zevanya. Setelah si pemilik mobil pergi, ia menghampiri Zevanya yang terbaring tak berdaya. Lelaki itu membawa kembarannya ke rumah sakit terdekat, tanpa membawa ponsel Zevanya, agar tak ada yang melacak keberadaannya.
Sampai di rumah sakit, Zevanya langsung ditangani oleh dokter. Salah satu perawat tak mengizinkan Zevano masuk ke ruang UGD dan menyuruhnya menunggu di kursi. Beberapa menit menunggu, dokter yang menangani gadis itu akhirnya keluar dari ruang UGD.
“Gimana Dok, kondisinya?” tanya Zevano.
Dokter itu menghela napas panjang. “Anda siapanya, ya, kalau boleh tahu?”
“Saya kembarannya!”
“Begini ... Saudari Zevanya mengalami gegar otak yang cukup berat, kemungkinan besar sebagian ingatannya hilang akibat benturan keras.”
“Apa dia bakalan lupa sama orang terdekatnya?”
“Tidak, pasien hanya melupakan kebiasaannya dan hari-hari yang dialaminya.”
Zevano menarik napas lega. “Oh, begitu. Terima kasih, Dok.”
Zevano meraba-raba setiap kantung baju dan celana, ada beberapa lembaran uang kertas seratus ribu di kantung celananya. Ia tak mau menggunakan uang tersebut untuk membiayai pengobatan Zevanya selama di rumah sakit. Karena ia mendapatkan uang tersebut dari hasil pembunuhan yang ia lakukan. Zevano memeriksa isi tas Zevanya, ada dompet berisi uang tunai dan beberapa kartu kredit.
Kini, Zevanya telah dipindahkan ke ruang VIP. Sementara Zevano duduk di kursi, seraya menatapi wajah kembarannya yang dipasangkan selang infus. Ponselnya berbunyi, ternyata Rifky mencarinya sejak tadi.
Zevano berdecak, tetapi ia tak membalas pesan Rifky. Ia mengembangkan senyum menatap wajah damai Zevanya. Ia berdiri, lalu mencium dahi gadis itu dengan penuh kasih sayang. “Gue bakalan bikin pelakunya pelan-pelan menderita, dan menghukum siapapun yang nyakitin lo.”
Lelaki itu melangkah ke arah pintu. Di ambang pintu ia melirik Zevanya, kemudian pergi meninggalkan ruangan VIP. Zevano sudah meminta resepsionis rumah sakit untuk tidak mengizinkan siapapun menjenguk Zevanya, kecuali keluarganya.
.
.
.
.
“Dari mana aja lo baru keliatan? Tangan lo berdarah kenapa?” tanya Rifky.
Zevano telah sampai di basecamp, rumah berlantai dua yang terbengkalai di dekat hutan. Di sinilah tempat persembunyian para stalker, lantai kotor itu dipenuhi botol-botol minuman keras dan juga beberapa puntung rokok berserakan. Lelaki itu tak menjawab Rifky. Zevano langsung pada intinya, memukul wajah Rifky dengan pukulan bertubi-tubi.
“Stop, stop! Kalian ada masalah apa, sih?” salah satu temannya melerai mereka, lalu beralih menatap Zevano. “Lo juga, Zevan. Kalo ada masalah cerita, jangan pake kekerasan.”
Rifky dipegangi oleh beberapa temannya, menahannya agar tidak membalas pukulan Zevano. Lelaki bertato itu menunjuk Rifky, seraya melototinya.
”Lo yang nabrak kembaran gue, kan?”
“Maksud lo ... Zevanya?” Rifky terdiam, seolah berpikir. “Ya, gue yang nabrak dia. Gue cuma nyelametin diri gue dari polisi, Zev! Gue nggak mau berakhir di dalem penjara.”
Zevano terkekeh. “Nggak usah lo jadi penjahat, kalo ujung-ujungnya masih takut sama polisi.”
Rifky hendak memukul Zevano. Mereka semua terdiam kala melihat seseorang berhoodie hitam menuruni tangga. Mereka langsung berbaris rapi, lalu menundukkan kepala di hadapan orang itu. Orang itu membuka tudung yang menutupi kepalanya.
“Zevano Pradipta! Berapa kali gue harus tegasin sama lo. Pembunuh itu nggak kenal empati, rasa kepedulian terhadap manusia. Mau itu keluarga, sahabat, pacar. Jangan terlalu lemah jadi manusia.”
Zevano mengepalkan kedua tangannya. “Maaf, Bos. Tapi, gue nggak bisa. Gimana pun juga dia tetep saudari kandung gue.”
Rifky berdiri di hadapan bosnya itu. ”Maaf, Bos Gavin. Ini semua salah gue.”
Gavin Sanjaya yang sebenarnya adalah bos dari sekelompok stalker. Ia juga si nomor misterius yang sering mengirimkan pesan kepada Zevanya. Ia yang menyuruh Zevano untuk meletakkan boneka Teddy Bear di depan gerbang rumah Arga dan Zevanya. Beberapa hari lalu, lelaki itu sempat mengorek informasi tentang Zevanya melalui Indah. Sampai akhirnya Gavin mengetahui kelemahan utama Zevanya, yaitu badut dengan perut buncit.
Yang menculik jenazah Cindy adalah Gavin. Ia melakukan itu untuk menghilangkan jejak Rifky di tubuh gadis itu. Kemudian, membuangnya ke jurang curam agar tidak bisa ditemukan. Alasannya memiliki banyak anak buah, karena tidak ingin mengotori tangannya. Zevano orang pertama yang bergabung di kelompok stalker, setelah Gavin menyelamatkannya dari siksaan si penculik beberapa tahun lalu.
Gavin tertawa getir. “Lo gimana bisa tau kalo Zevanya itu kembaran lo? Lo udah tes DNA?”
“Tanda lahir. Dia punya tahi lalat di ujung bibir, itu yang bikin gue yakin kalo dia kembaran gue.”
“Zevanya bakalan benci sama lo, setelah dia tau saudara kembarnya itu adalah pembunuh berantai.”
Zevano dengan berani melempar tatapan tajam pada Gavin. “Nggak peduli. Gue cukup lindungi dia dari jauh, biar lo nggak bisa macem-macem sama dia.”
“Sekarang lo berani, ya, nentang gue. Sejak kapan Zevano yang gue kenal jadi lemah begini?”
“Inget kata-kata gue dulu? Nyokap, bokap lo itu nggak peduli sama lo. Lo ilang aja mereka nggak lapor polisi, kan? Itu artinya lo udah dibuang sama mereka.” ujar Gavin lagi.
Zevano adalah lelaki baik dan lemah lembut. Namun, Gavin memanipulasi lelaki itu untuk melakukan apa yang ia mau termasuk membunuh banyak orang, terutama para gadis remaja.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
aas
kasian Zevano haduuuh jadi masuk ke geng yg ga bener gitu
2025-01-15
0
aas
paraaaah si Gavin bukan cupu ternyata suhu 😱
2025-01-15
0