“Kamu sudah menemukan pelakunya? Bagaimana bisa?” tanya Arga, melalui telepon seluler. Ia tak menyangka Zevanya akan menemukan si pelaku dengan cepat. Padahal, baru kemarin ia mengajak gadis itu kerjasama.
“Rifky. Itu nama pelakunya, dia nyamar jadi siswa di SMA Dirgantara. Dia juga kayaknya sama komplotannya deh, walaupun gue nggak yakin.”
“Siapa?”
“Zevano. Kedengeran aneh nggak, sih? Kok bisa, nama gue sama dia cuma beda tipis?”
Arga terdiam seraya berpikir. Ia melirik papan tulis yang tertempel foto Zevano dan Zevanya sewaktu keduanya berusia 10 tahun. Livy sendiri yang memberikannya pada Arga, entah lelaki itu harus cemas atau senang. Senangnya karena Zevanya telah bertemu dengan kembarannya, meskipun tak ingat. Cemasnya karena Zevano adalah bagian dari sekelompok stalker.
Arga melihat setumpuk lembaran kertas pencarian anak hilang sembilan tahun lalu. Sang ibu mertua memberikannya untuk disebarkan, ia tak membutuhkan itu lagi karena orang yang dicari sudah ada di depan mata. Walaupun belum mengetahui rupa wajah Zevano yang sudah tumbuh dewasa.
“Saya mau minta tolong sama kamu.”
“Minta tolong apa?”
Zevanya mengirimkan foto Zevano melalui pesan WhatsApp. Gadis itu diam-diam memotretnya saat jam pelajaran masih berlangsung. Arga memperbesar foto Zevano di layar ponselnya, lalu melihatnya menggunakan kaca pembesar. Bukan cuma nama mereka yang terdengar mirip, bahkan hidung, mata dan bibir mirip sekali dengan Zevanya.
“Ya, mereka emang bener-bener mirip. Gue bahkan sampe nggak percaya kalau dia ini Zevano Pradipta, yang hilang 9 tahun lalu.” Arga memandangi ponselnya yang masih menampilkan foto Zevano.
Cara bicara Arga memang begitu. Ia sejak kecil telah diajarkan oleh orang tuanya menggunakan bahasa baku, agar terlihat sopan saat berbicara dengan seseorang. Saat sendirian, Arga akan menjadi dirinya sendiri dan mengubah gaya bicaranya seperti Zevanya.
Tiba-tiba wajah Zevanya terlintas di benak Arga. “Pas banget, ini waktunya jam makan siang.” gumamnya. Ia beranjak dari kursinya dan berjalan gontai ke arah pintu.
.
.
.
.
Jam istirahat sudah dimulai, siswa siswi tentunya akan pergi ke kantin sekolah untuk makan siang. Kelas kriminologi sepi, tak ada seorang pun di sana. Zevanya mengambil kesempatan untuk mengambil kembali kamera Cindy yang dicuri Rifky. Ia melihat ke kanan kiri, memastikan keadaan sekitar.
Zevanya membuka resleting tas ransel yang diletakkan di bawah kursi. Di dalamnya ada sebuah tongkat baseball dan kamera milik Cindy, kemudian gadis itu mengambilnya dan menutup kembali resletingnya. Tak lupa pula, Zevanya menyalin video tersebut ke ponselnya sebagai cadangan. Ia menyembunyikan kamera Cindy di tas ranselnya.
“Zev? Lo kenapa masih di kelas?” kata Indah seraya melangkah ke arah tempat duduk Zevanya.
Wajah Zevanya tampak pucat. Terbata-bata, ia hendak menjawab Indah. “Gue lagi males aja ke kantin ... Lo nggak deket-deket sama Rifky, kan?”
Indah menggeleng. “Enggak. Emangnya kenapa?”
Zevanya menghela napas kasar. “Pelakunya itu Rifky.”
“Yang ngebunuh Cindy?” tanya Indah memastikan. Zevanya mengangguk.
Indah mengingat-ingat kembali obrolan terakhir mereka bersama Cindy di kantin. Ia sadar, lelaki yang memperkenalkan dirinya di depan siswa adalah pelaku yang membunuh Cindy. Namun, ia tidak bisa melaporkan Rifky kepada pihak yang berwajib karena belum mempunyai bukti kuat.
Jam istirahat berakhir, semua siswa kelas kriminologi berkumpul di tempatnya masing-masing. Zevanya melirik tas ransel milik Rifky di urutan kedua, tepatnya di belakang tempat duduk Gavin. Sepasang mata berhasil menangkap wajah Zevanya, yang tampak memperhatikannya sedari tadi.
“Ada apa?” tanya Rifky. Wajah datarnya mendelik tajam gadis itu.
“Enggak! Bukan apa-apa.” Zevanya kembali menatap lurus ke depan. Napasnya menderu dengan tangan gemetaran. Ia hanya sedikit takut, jika Rifky akan sadar bahwa kamera di dalam tasnya hilang.
Dari arah pintu, seorang siswa terlihat berlari masuk dengan napas tersengal-sengal. Siswa itu mengangkat tangannya ke udara yang memegang selembar kertas. “Guys! Pak Andrian nyuruh kita balik setelah jam istirahat selesai.”
Mendengar itu, Zevanya segera menggendong tas ranselnya di bahu dan berlari keluar kelas tanpa memedulikan Indah yang memanggilnya. Ia harus cepat-cepat menyerahkan barang bukti kepada Arga. Ketika sudah tiba di lantai satu, Zevanya tak sengaja berpapasan dengan Arga yang berjalan menuju tangga.
Arga menghentikan langkah kakinya, merasakan sekelebatan aroma tubuh Zevanya. Ia menggelengkan kepala, tak mungkin gadis itu bolos sekolah di jam pelajaran. Rombongan siswa kelas kriminologi menuruni tangga, dahi Arga mengernyit heran memandangi mereka.
“Bukannya masih ada jam pelajaran, ya?” tanya Arga kepada para siswa.
“Tadi Pak Guru mengabari kita agar pulang setelah jam istirahat.”
Arga menganggukkan kepala, lalu menyingkir membiarkan mereka berjalan lebih dulu. Lelaki itu memperhatikan satu persatu siswa yang keluar dari gedung sekolah itu. Zevanya tidak ada diantara rombongan itu. Kemudian, Arga baru menyadari aroma yang diciumnya itu betulan aroma tubuh istrinya.
“Zevanya.” Arga segera berbalik arah, menyusul Zevanya.
.
.
.
.
Sementara Zevanya masih berdiri di tepian jalan raya hendak menyeberang. Hanya saja pengendara bermotor dan mobil tidak ada hentinya melaju, seolah tak memberi kesempatan gadis itu menyeberang. Kakinya satunya sudah berkali-kali menginjak aspal. Namun, ia urungkan karena masih banyak pengendara yang melewatinya dengan kecepatan tinggi.
Seorang wanita lansia berdiri di samping Zevanya, sembari menengok ke kanan kiri dengan mata menyipit. “Mau menyeberang juga ya, Cu?”
Zevanya tersadar dari lamunannya, lalu mengalihkan pandangan ke arah wanita lansia tersebut. “Iya, Nek.”
Melihat jalan raya semakin ramai oleh pengendara, Zevanya tidak tega membiarkan wanita lansia itu menyeberangi jalan. Dengan lembut, ia menjelaskan seraya tersenyum dan memanggilkan taksi untuk mengantarkan wanita lansia itu pulang dengan selamat. Wanita lansia berdiri mengusap pucuk kepala gadis itu, sebelum masuk ke dalam mobil.
Tak lama, jalanan sudah lumayan sepi dan bisa dilalui. Zevanya melangkah dengan tenang menyeberangi jalan besar itu. Sebuah truk melaju dengan kecepatan penuh menghantam tubuh gadis itu, hingga terguling ke tepian jalan. Si pemilik mobil turun dari dalam, berjalan mendekati Zevanya yang terkapar bersimbah darah di kepala.
Zevanya menggerakkan jari-jemarinya, bermaksud meminta tolong. Tidak, si pemilik mobil bukannya menolong, tetapi menendang wajah Zevanya. Si pemilik mobil mengambil tas ransel dan menumpahkan isinya. Ia hanya mengambil kamera Cindy, kemudian pergi sebelum ada pejalan kaki yang menyadarinya.
Datang satu lelaki mengenakan seragam sekolah, ia merapikan barang-barang Zevanya. Setelah itu, lelaki itu menggendong tubuh Zevanya yang sudah berlumuran darah di wajahnya.
Di waktu yang sama, Arga baru tiba di lokasi Zevanya tertabrak. Melihat ramainya orang-orang di dekat mobil truk, seperti mengerumuni sesuatu, ia berinisiatif menghampirinya. Lelaki itu menerobos masuk ke kerumunan orang, melihat apa yang mereka lihat.
“Saya mau tanya, Bu. Ini ada apa, ya?” tanya Arga.
“Oh, tadi ada cewek ketabrak mobil truk di sini.”
“Ciri-cirinya bagaimana?”
“Kulitnya putih, hidungnya mancung, terus pake seragam putih coklat. Tadi baru aja di bawa sama temennya, kayaknya sih mereka satu sekolah.”
Arga tak bisa berkata-kata lagi. Sudah jelas siapa yang tertabrak, istrinya sendiri. Ia menyesal sekarang. Harusnya tadi ia langsung menarik tangan Zevanya agar tetap berada di dekatnya. Dering ponsel berbunyi, bukan ponselnya, bunyi itu terdengar dari arah lain. Arga menemukan ponsel Zevanya tergeletak di bawah tiang listrik.
”Gue akan siksa lo, perlahan tapi pasti. Nggak bakal gue biarin lo mati gitu aja.” satu pesan sudah dibaca oleh Arga. Ia yakin kecelakaan ini bukan cuma sekadar kebetulan, ada yang sengaja menabrak Zevanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments