“Ini perawakan tubuh si pelaku, pakaiannya sama seperti seseorang yang menyelinap masuk ke rumah kita. Tapi, perawakannya ini lebih tinggi dari sebelumnya.” ucap Arga. Ia menyipitkan mata, memperhatikan layar komputer yang memperlihatkan keadaan halaman sekolah semalam.
Sekarang, sepasang suami istri itu sedang memeriksa CCTV halaman depan sekolah. Namun, mereka tidak bisa mengakses CCTV di dalam sekolah. Penjaga di ruangan itu mengatakan semua komputer rusak terkena siraman air mineral. Zevanya berteori bahwa si pelaku sengaja merusaknya, agar aksi jahat lelaki itu tidak terekam CCTV. Untungnya, mereka menemukan kamera yang merekam perbuatan si pelaku.
“Apa alasan mereka membunuh Cindy dan gadis yang gue liat waktu itu?” tanya Zevanya yang mulai penasaran.
“Nafsu. Biasanya stalker ini hanya mengincar gadis perawan untuk melakukan pelecehan seksual, setelah itu membunuhnya untuk menghilangkan bukti. Mereka yang melakukan itu terdorong dari nafsunya. Bagi mereka membunuh seperti asupan makanan mereka sehari-hari.” jelas Arga.
“Kenapa lo tau banyak soal stalker?”
“Mereka ini adalah buronan sejak tahun 2019, sudah ada sebagian pelaku yang tertangkap. Tapi, mereka tidak mau mengaku.”
Zevanya membuka kamera yang ditemukannya di tempat kejadian, memutar kembali rekaman video itu. Ia memperbesar gambar, melihat wajah Cindy sudah berlumuran darah sambil menangis di bawah kungkungan lelaki itu. Tak terasa air mata mengalir jatuh membasahi pipinya.
Arga mengulurkan tangan, menutupi mata Zevanya yang masih fokus pada layar kamera. Telapak tangannya terasa hangat, seperti ada air yang membasahinya. Ia mengambil kamera tersebut dari tangan istrinya.
“Menangis tidak merubah apa pun.” ujar Arga. Zevanya tersentak mendengar perkataan lelaki itu. Perkataan Arga ada benarnya. Percuma menangis tidak bisa menghidupkan Cindy kembali, yang ada hanya sia-sia membuang air mata.
Zevanya menghempaskan pergelangan tangan Arga. “Kenapa dia harus membunuh Cindy? Kenapa bukan gue?!”
“Mungkin si pelaku sudah merencanakan semua ini.”
“Tapi, ya, ngomongin soal penggemar rahasia. Gue punya gebetan rahasia.”
Sepintas, Zevanya teringat akan obrolannya dan Cindy saat makan siang di kantin sekolah kemarin. Cindy berkata mempunyai calon pacar, lelaki itu sering mengirimkan apa saja tanpa diminta. Zevanya merebut kamera tersebut, memeriksa kembali rekaman video itu. Lalu, mempercepat durasi ke menit 39.45 detik. Lelaki itu melepaskan masker mulut, wajahnya terekspos begitu tak sengaja menghadap ke kamera.
“Ini pelakunya persis kayak yang gue liat di hpnya Cindy!” Zevanya menunjukkan layar kamera ke depan wajah Arga.
“Kamu yakin?” tanya Arga. Gadis itu mengangguk sambil menyeka air matanya yang sudah mengering.
Setelahnya, ponsel Arga yang di taruh di saku celananya berdering. Ada panggilan masuk dari pihak rumah sakit, salah satu perawat di sana memberitahu bahwa jenazah Cindy hilang saat ingin di makamkan. Hasil autopsi yang telah siap pun ikut menghilang secara bersamaan.
“Ada apa?”
“Jenazah Cindy hilang.”
Kali ini giliran ponsel Zevanya yang berbunyi. Nomor tidak diketahui itu menghubungi Zevanya lagi, entah siapa orang dibalik nomor tersebut. “Tenang aja, temen lo nggak bakalan sendirian di alam baka. Gue juga bakalan kirim lo dan temen lo ke sana.” Zevanya tidak membalas, melainkan menghapus pesan itu.
“Jangan pernah kamu meladeni stalker. Bahaya, nyawa kamu bisa terancam.” kata Arga. Gadis itu hanya mengangguk mengiyakan perkataan suaminya. “Saya harus pergi ke rumah sakit untuk memeriksa CCTV di sana.”
“Kalo ada perkembangan kasih tau gue.” Arga menatap Zevanya sejenak, sebelum pergi meninggalkan ruangan satpam.
****
“Apa ciri-ciri pelaku yang menculik jenazah pasien seperti ini?”
Arga bertanya kepada seorang perawat yang bertugas memindahkan jenazah, sembari menunjukkan foto wajah si pelaku. Perawat laki-laki itu bahkan tak tahu menahu soal penculikan jenazah. Namun, setahunya sempat ada perawat lain selain dirinya mengambil salah satu jenazah dari dalam ruangan.
Perawat tersebut masuk ke ruangan jenazah bersama Arga, memeriksa name tag di kaki setiap jenazah. Tidak ada yang bernama Cindy. Bisa jadi si pelaku menyamar sebagai perawat agar bisa mendapatkan akses masuk ke ruangan itu tanpa dicurigai. Memang hal itu biasa dilakukan penjahat, biasanya mereka menculik jenazah untuk menghilangkan sidik jari.
“Bagaimana dengan CCTV-nya?” Arga bertanya lagi.
“Masih berfungsi, mari saya antar.”
Mereka berjalan menuju ruangan pengawas. Ada beberapa penjaga yang sedang duduk di kursi, menatap layar komputer yang terhubung dengan setiap CCTV. Arga meminta izin kepada penjaga untuk memeriksa keamanan CCTV yang merekam situasi malam tadi. Layar komputer menampilkan seorang perawat masuk ke ruangan jenazah, lalu keluar lagi sambil menyeret brankar.
“Pause.” pinta Arga. Ia memajukan kepalanya menatap layar komputer. “Zoom.”
Penjaga itu memperbesar layar, memperlihatkan name tag di kaki jenazah bernama Cindy Pratiwi. Walaupun agak buram, tetapi masih bisa dilihat. Tidak salah lagi perawat itu menculik jenazah Cindy, tidak mungkin memulangkannya karena orang tua gadis itu sedang berada di luar negeri.
Arga beralih menatap perawat itu. “Apa benar tidak ada perawat yang memulangkan jenazah bernama Cindy?”
“Nggak ada, saya sudah tanya kepada perawat lain.”
“Oke, saya minta rekaman CCTV ini.”
*****
Jam sekolah telah usai, siswa dan siswi berbondong-bondong keluar dari gedung SMA Dirgantara. Sementara Zevanya masih di TKP bersama Gavin. Ia diberikan tugas piket kelas oleh guru kriminologi untuk membersihkan kekacauan yang terjadi semalam. Gadis itu mengepel lantai menggunakan super pel untuk menghilangkan bau anyir.
Gavin memecahkan balon yang mengapung di udara dekat papan tulis. Di papan tulis juga terdapat cipratan darah yang sudah mengering, kemudian ia mengelap papan tulis berwarna hijau itu dengan kain basah.
Gavin berpikir sejenak. Kemudian, tersenyum menyeringai melirik Zevanya yang membariskan meja dan kursi ke tempat semula. “Lo pulang sama siapa nanti?”
“Sama ... Sepupu gue! Iya, sepupu.” Zevanya cengengesan menjawab pertanyaan tersebut.
“Oh, sepupu.”
Meja dan kursi sudah berbaris dengan rapi, papan tulis juga sudah bersih begitu juga dengan kaca jendela. Zevanya menggendong tas ranselnya ke bahu, seraya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Satu pesan tidak terbaca dari detektif Arga. Ia tak mengubah nama kontak suaminya karena malas menggantinya.
“Saya sudah ada di depan gedung.”
Melihat pesan tersebut, Zevanya berjalan keluar kelas tanpa berpamitan dengan Gavin yang menduduki meja paling depan. Di ambang pintu gadis itu menghentikan langkah kakinya dan berbalik. “Sorry, gue lupa kalo ada lo. Gue duluan, ya.”
Setelah berpamitan, Zevanya kembali meneruskan langkah menuju koridor sekolah. Gavin diam-diam mengikuti dari belakang, memastikan gadis itu pergi. Zevanya terlihat sudah memasuki mobilnya. Gavin kembali lagi ke dalam, menaiki tangga menuju lantai empat.
Gavin memasuki ruangan yang paling pojok. Lelaki itu melepas kacamatanya, membuangnya ke sembarang arah. Lalu, ia berjalan ke arah Mading yang tertempel di dinding dekat papan tulis. Ia mengeluarkan foto polaroid wajah seorang gadis berambut panjang kecoklatan dan menempelkannya di Mading tersebut menggunakan jarum pentul.
“Permainan yang sesungguhnya baru dimulai.” Gavin tersenyum dengan ujung bibirnya yang terangkat.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
aas
waduh permainan apa nih? 🤔
2025-01-15
0