Langit sudah memunculkan warna gelapnya. Zevanya dan Arga tak langsung pulang, mereka mampir ke Zezev's Coffee Shop untuk meminum kopi sebentar. Saat masuk ke dalam, ia terkejut melihat Gavin ada di sana sedang bekerja sebagai barista. Zevanya menatap kertas yang ditempelkan di pintu masuk, rupanya sang ibu membuka lowongan kerja untuk bergantian Sif dengan Deska.
Gavin melamar kerja di Zezev's Coffee Shop untuk membiayai hidup dan sekolahnya yang baru dimulai. Gajinya lumayan besar, ia juga bisa membayar cicilan tempat tinggalnya di sebuah kontrakan petakan. Lelaki berusia 19 tahun itu hidup sebatang kara, ayahnya bunuh diri sedangkan ibunya selingkuh dengan pria lain.
Zevanya dan Arga duduk di meja dekat jendela. Gavin berjalan ke arah kursi yang diduduki sepasang suami istri itu. “Mau pesan apa? Kebetulan kami ada menu baru.”
“Es kopi hitam dua.” kata Zevanya seraya memesan menu andalannya.
“Baik, tunggu sebentar.”
“Saya menemukan ini di rumah sakit. Orang yang menculik jenazah Cindy berbeda dengan yang di kamera.” Arga menunjukkan rekaman CCTV yang ia dapat dari rumah sakit, melalui ponselnya.
“Siapa sebenernya mereka.” Zevanya bergumam pelan. Ia merebut ponsel milik Arga, memperbesar gambar video yang masih diputar itu. Kemudian, mengangkat kepala memperhatikan Gavin dengan seksama.
Arga memperhatikan arah pandangan Zevanya. Ia pun ikut memandangi Gavin yang sedang membuat kopi, bergantian dengan menatap ponselnya. Rekaman CCTV itu menunjukkan sepenuhnya postur tubuh si perawat. Gavin dan perawat itu memiliki postur tubuh yang serupa. Kalau benar dia pelakunya, saya harus mempunyai bukti kuat untuk menangkapnya, pikir Arga.
“Isi pikiran kita sama. Tapi, hanya rekaman CCTV ini saja belum cukup membuktikan dia bersalah. Bisa jadi orang lain pelakunya.” ucap Arga.
“Gue bakal cari tau, bisa jadi pelakunya ada diantara siswa-siswi SMA Dirgantara.”
Di samping itu, Gavin mendatangi meja yang diduduki oleh sepasang suami istri itu, sambil membawakan nampan plastik berisi dua gelas es kopi hitam pesanan Zevanya. Matanya teralihkan pada ponsel di atas meja. Telapak tangannya terasa licin saat Gavin mengangkat gelas berisi es kopi, alhasil minuman tersebut tumpah membanjiri meja dan mengenai layar ponsel milik Arga.
“Maaf, gue nggak sengaja.” Gavin melepaskan celemek berwarna cokelat yang dikenakannya, kemudian menjadikannya sebagai lap meja. Ia merapikan gelas-gelas tadi dan membawanya ke dapur.
“Tidak apa-apa. Untungnya handphone saya waterproof, jadi, saya tidak perlu mengeluarkan biaya servis.” seloroh Arga. Ia mengambil ponselnya yang terkena tumpahan kopi.
“Ada apa ini?”
Livy berjalan gontai menghampiri meja putri dan menantunya. Wanita itu berpapasan dengan Gavin yang berjalan ke arah dapur, seraya mendelik tajam, sebelum melemparkan pandangannya pada Zevanya dan Arga. Ia sudah lama tak bertemu dengan keduanya setelah pernikahan. Namun, hari ini Zevanya dan Arga mendatangi Livy ke kafe.
“Gimana kabar kalian berdua?” Livy bertanya pada Zevanya dan Arga.
Zevanya tersenyum. “Baik, kok, Ma. Mama sendiri gimana?”
“Mama sehat. Cuma ... Beberapa hari ini Papamu nggak pulang-pulang. Mama khawatir, takut terjadi apa-apa.”
“Mama, tidak usah khawatir. Papa itu kan, hakim, wajar saja kalau sibuk sampai tidak pulang.” sahut Arga, meringankan sedikit kegelisahan ibu mertuanya.
Zevanya menggenggam tangan Livy. “Arga bener, Ma. Mungkin Papa masih ada persiapan buat sidang, nanti juga pasti Papa pulang, kok.”
“Kalian bener juga.” Livy melihat langit gelap dilapisi dengan gumpalan awan hitam, melalui kaca jendela di depannya. “Sebentar lagi turun hujan, kalian sebaiknya pulang.”
Zevanya dan Arga beranjak dari bangku panjang itu. “Mama jaga diri baik-baik.”
“Kami pamit, Ma.”
Livy melihat putrinya dengan tatapan lega. Mereka terlihat semakin dekat meskipun belum tahu sejauh mana Arga memperlakukan Zevanya. Ia yakin tak lama lagi trauma Zevanya akan hilang dengan sendirinya, tanpa melakukan terapi medis.
****
“Boneka Teddy Bear!”
Di depan gerbang rumah mereka sudah ada sebuah boneka Teddy Bear berukuran besar berwarna cokelat kehitaman. Zevanya antusias membawa masuk benda itu ke dalam rumah, mendudukkannya di sofa. Arga menatap boneka Teddy Bear itu dengan tatapan selidik, entah siapa yang iseng mengirimkan boneka sebesar itu di jam setengah delapan malam.
“Gue bakalan bawa boneka itu ke kamar.”
“Sebaiknya jangan. Jangan pernah kamu membawanya ke kamar.” Arga angkat bicara. Intonasi suaranya yang berat dan dalam memperingati istrinya, yang langsung dituruti.
Zevanya menerawang sejenak. “Emangnya ada apa sama boneka itu?”
“Ada kamera pengawas.” Arga berbisik tepat di telinga Zevanya.
Zevanya baru sadar ada yang aneh pada mata kanan boneka Teddy Bear itu. Ia melambai-lambaikan tangan untuk memastikannya. Kemudian, gadis itu berinisiatif menutup boneka tersebut menggunakan selimut tipis. Ponsel Zevanya berbunyi, ada satu pesan dari nomor tidak diketahui. Namun, bukan si stalker itu. Gavin Sanjaya.
”Jangan dipikir semua polisi itu baik. Bisa jadi itu cuma kedok buat nutupin perbuatan mereka. Ini gue Gavin.”
Zevanya membuka profil nomor kontak Gavin. Mereka satu grup di sekolah. Tidak tahu apa maksud lelaki itu mengirim pesan seperti tadi, ia mengabaikannya. Melihat Arga keluar rumah mengenakan Hoodie hitam dan memegang masker penutup mulut, Zevanya jadi penasaran. Mobil Arga pun sudah tidak terparkir di garasi.
”Gue harus ikutin dia.”
Buru-buru, ia memakai jaket kulit hitamnya dan mengeluarkan motor sport yang sudah diperbaiki itu. Zevanya menaiki motornya, melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Gadis itu berhasil menyalip beberapa kendaraan bermotor dan mobil demi membuntuti Arga. Terlihat mobil suaminya berhenti di tepian jalan dekat gang sempit.
Zevanya mematikan mesin motornya, berlari kencang ke arah mobil Jazz berwarna merah yang terparkir itu. Arga tidak ada di dalam mobil. Gadis itu mencoba berjalan di pinggir jalan raya sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Zevanya melihat seseorang memakai Hoodie hitam dengan tudung penutup kepala. Kakinya melangkah dengan sendiri mengikuti seseorang di depannya.
Seseorang itu berhenti, Zevanya pun ikut menghentikan langkahnya. Ia siap mengetahui fakta kalau suaminya juga terlibat dengan sekelompok stalker. Seseorang tersebut membalikkan tubuhnya menghadap gadis itu.
Gue berharap itu bukan lo, semoga apa yang dibilang Gavin itu bohong!
Lelaki di depan gadis itu mengangkat kepala. Bukan Arga, tetapi orang lain. Sebuah tangan menariknya menyingkir dari hadapan seseorang itu, lalu membawanya ke gang sempit. Hoodie hitam dan masker, persis pakaian yang dikenakan Arga. Zevanya perlahan melepas masker mulut yang menutupi wajah lelaki itu.
“Arga? Lo ... Jangan bilang sama gue, lo ... Stalker?”
“Zevanya, saya minta maaf.”
Arga memukul punggung leher Zevanya. Ia menggendong tubuh istrinya bak karung beras. Lelaki bermarga Danuarta itu keluar dari gang sempit, di sambut oleh seseorang berpakaian sama.
“Mau lo apain tuh cewek?” tanya lelaki itu.
“Entahlah. Mungkin dimutilasi? Atau ... Pake dulu sebelum di mutilasi?”
“Ide bagus.”
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
aas
eeh beneran Arga? 😐
2025-01-15
0
nandayue
lama2 gue kok ngeri ya maklum bukan penggemar genre bunuh membunuh, sereeemmm
2022-12-14
1