2. Kantor Polisi

Zevanya mengerjapkan mata tersentak. Ia seperti bermimpi melihat seorang anak perempuan sedang berjalan di tepian jalan raya, lalu tertabrak mobil ketika menyusul pria dewasa dan seorang anak laki-laki.

Gadis itu menarik laci nakas, mengeluarkan sebuah album foto dan mengambil salah satu foto di halaman pertama. Foto seorang anak perempuan di kuncir kuda, mengenakan seragam sekolah merah putih dengan pose tersenyum sumringah. Anak perempuan itu persis seperti di mimpinya.

"Siapa, ya?"

Dering ponsel mengacaukan otaknya yang sedang berpikir. Zevanya mengambil ponselnya yang diletakkan di atas meja nakas. "Hemmm? Ada apa?"

Cindy mengganti mode panggilan seluler menjadi panggilan video. Terlihat, mereka berdua sudah rapi mengenakan seragam cokelat dan rok abu-abu. Sedangkan Zevanya masih mengenakan pakaian piyama tidur, rambutnya juga masih mengembang seperti singa.

"Lo udah buka grup sekolah? Murid-murid pada gibahin lo tuh!" kata Cindy menunjuk layar ponselnya.

Zevanya buru-buru menyisir rambut dengan jari, sembari bercermin pada layar ponsel. "Gibahin gue? Emangnya kenapa?"

Indah menghela napas kasar. "Masa lo nggak tau beritanya? Mending lo liat grup sekolah deh!"

Ketika hendak memeriksa apa yang terjadi di grup sekolah, tiba-tiba layar ponsel Zevanya tidak bisa disentuh. Ia menggeser jarinya ke bawah dan atas, rupanya beberapa pesan membanjiri WhatsAppnya. Zevanya dikeluarkan dari grup sekolah.

“Iew! Masa ketua kelas kita pembunuh, sih?”

“Keluar aja lo dari sekolah.”

“Nah bener tuh! Jauh-jauh sana, Sampah masyarakat!”

Rupanya pesan-pesan tersebut yang membuat ponsel Zevanya eror. Hanya karena ada di tempat kejadian, ia langsung dicap sebagai pembunuh. Padahal, berita itu belum tentu benar.

Zevanya mengendus kesal. "Gue bukan tersangka ataupun komplotan stalker apalah itu. Gue ini saksi sekaligus korban, lo berdua ngerti, kan?" dua sahabatnya itu mengangguk.

"Heem, kita ngerti, kok. Ya, udah daripada lo kesel, mending lo ikutin kemauan mereka. Lumayan kan, nggak sekolah berapa hari, sekalian cari bukti.” Saran Indah.

"Oke."

Walaupun kesal tidak bisa bersekolah hari ini, tidak ada yang bisa Zevanya lakukan selain menuruti keinginan siswa lain dan saran kedua sahabatnya. Ia akan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

"Paket!"

Suara teriakan seorang kurir JNE terdengar dari teras luar rumah. Zevanya bergegas keluar menuruni anak tangga, lalu mengambil paket tersebut. Bukan benda melainkan amplop cokelat muda berisikan surat panggilan dari pihak kepolisian, Zevanya dimintai kesaksian atas pembunuhan yang terjadi semalam.

Tenang Zev, selama lo bukan tersangka, lo bakalan aman.

Zevanya tersenyum sumringah, kemudian kembali menaiki tangga menuju kamarnya dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor polisi.

****

Tiba di kantor polisi, Zevanya mendongak ke atas memandangi gedung yang berdiri kokoh di depannya. Ia juga melihat orang-orang keluar masuk dari dalam gedung tersebut, Zevanya menghela napas sebelum melangkah masuk. Ia celingak-celinguk melirik sekitar. Kedua matanya langsung terfokus pada seorang lelaki berjaket Navy yang sibuk mengutak-atik keyboard laptop.

Arga Danuarta, lelaki yang menjadi topik pembicaraan Zevanya bersama sang ibu semalam. Lebih tepatnya calon suami.

Zevanya duduk di hadapan Arga. Ia sudah berada di kantor polisi. Tetapi, pandangan lelaki itu masih tertuju pada layar laptop. Arga akhirnya mengangkat kepala, menatap Zevanya secara langsung. Biasanya, Arga hanya mendengarkan Livy bercerita tentang gadis itu.

"Bisa kamu jelaskan ini?" Arga membalikkan laptopnya ke depan wajah Zevanya. Layar laptop itu memperlihatkan Zevanya berjalan tanpa menoleh, sementara di belakangnya ada seorang gadis yang sedang membutuhkan pertolongan. Barulah muncul si pelaku yang menarik korban menjauhi Zevanya.

Zevanya menyipitkan mata, seraya menggeser laptop itu agar bisa melihatnya dengan jelas. "Begini ... Pada saat itu saya sedang menuju jalan pulang, dan saya nggak tau kalo si pelaku ada di belakang korban."

"Terus kenapa kamu tidak menolong korban? Apa benar yang diberitakan, kamu berkomplot dengan sekelompok stalker?" tuduh Arga. Suaranya penuh penekanan.

"Gini, ya ... Posisinya saya di situ lagi pakai Earphone, Anda pasti tahu dong telinga saya penuh dengan alunan musik. Apa Anda mengerti sekarang?”

Arga mengangguk mengerti. "Masuk akal. Apa kamu berhadapan langsung dengan si pelaku?"

"Ya. Saya bahkan hampir mati."

“Apa kamu melihat wajahnya?”

“Enggak.”

Sejenak, Arga memandang Zevanya. Benar kata Livy, gadis itu sangat dingin dan cuek terhadap lawan jenis. Pun Arga mengetahui Zevanya ini mempunyai saudara kembar, Zevano Adriansyah. Livy meminta Arga membuka kembali kasus 9 tahun lalu.

Bukan sekedar itu, Arga pun mengetahui gadis itu enggan disentuh oleh lawan jenis, karena tiga tahun lalu Zevanya hampir mengalami pelecehan seksual. Sebab itu, Livy ingin menjodohkan Arga dengan Zevanya.

Seminggu yang lalu, Arga bersama om dan tantenya bertemu dengan orang tua Zevanya. Ia melamar Zevanya melalui Wijaya dan Livy, juga menentukan tanggal pernikahan. Lusa adalah hari pernikahan mereka, Livy yang meminta agar tanggalnya di percepat karena khawatir dengan kasus pembunuhan yang akhir-akhir ini sedang marak terjadi.

"Penjelasan di terima. Sekarang saya antar kamu pulang." Arga beranjak dari kursinya.

Zevanya diam seperti patung dengan pandangan lurus. Perkataan sepupunya semalam terngiang-ngiang, memenuhi kepalanya. Di sisi lain juga Zevanya belum siap memposisikan dirinya sebagai seorang istri. Umurnya masih terlalu muda untuk menikah, Zevanya 19 tahun dan Arga 25 tahun. Lelaki di depannya ini yang akan menikah dengannya. Lelaki yang harus ia layani setelah menikah.

"Kenapa diam? Kamu tidak mau pulang?" Arga berucap lagi.

Zevanya segera menegakkan tubuhnya. "Oh, iya!"

Arga dan Zevanya berjalan ke arah pintu keluar. Saat mereka sudah keluar dari kantor polisi, terlihat seseorang memakai Hoodie hitam sedang mengawasi Zevanya dari belakang mobil yang terparkir di seberang mobil Arga. Lelaki itu memotret mereka berdua menggunakan kamera. Menyadari adanya kilatan cahaya, Arga perlahan berjalan ke arah mobil Avanza yang terparkir itu.

Langkah Arga terhenti. Tidak ada seseorang di sana, hanya ada kamera yang di letakkan di bawah ban mobil. Arga mengambil kamera tersebut dan memeriksanya. Di dalam kamera itu bukan hanya Zevanya dan Arga yang terpotret. Namun, ada seorang lelaki berjaket hitam, lalu memakai penutup mulut.

Arga menoleh ke arah Zevanya. "Apa ciri-ciri pelaku berpakaian hitam dan penutup mulut?"

"Iya. Gue juga liat dia bawa palu."

Arga memperbesar gambar yang ada di kamera. Benar, seseorang itu membawa palu dan sorot matanya tertuju pada Zevanya. "Bisa jadi sasaran selanjutnya adalah kamu."

"Gimana lo bisa tau?" tanya Zevanya penasaran.

Arga menghela napas kasar kemudian melempar kamera tersebut pada Zevanya. Gadis itu menangkap kamera yang dilempar Arga. Ia memeriksa semua foto yang dipotret oleh seseorang misterius yang mengawasinya tadi. Banyak bukti-bukti bahwa si pelaku seringkali tertangkap kamera dengan perawakan tubuh yang berbeda.

Zevanya terkekeh tidak percaya. "Apa gue boleh berasumsi?"

"Silakan."

"Apa mungkin ... Pelakunya lebih dari satu orang?"

Arga menipiskan senyumnya. "Kamu benar. Kalau hanya satu orang saya tidak masalah, saya tidak akan mengambil resiko untuk menikahkan kamu."

"Oke, kalau gitu kapan kita nikah?"

To be continued.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!