“Tunggu instruksi dari Detektif Arga.” Rega berbicara menggunakan HT kepada temannya yang berada di seberang jalan raya. Sandy, temannya itu mengangguk dan memperhatikan Arga dari kejauhan.
Arga Danuarta hanyalah seorang detektif kepolisian yang menjalankan tugasnya. Bukan pembunuh berantai atau pun stalker. Ia meniru stalker hanya untuk memancing si pelaku, Arga tidak sendirian. Namun, dibantu rekan-rekannya, tugas mereka hanya memantau dan menunggu instruksi lelaki itu. Seperti saat ini.
Arga melihat ke arah mobil temannya di pinggiran jalan. Ia menganggukkan kepala, menyuruh mereka untuk segera bergerak menangkap si pelaku. Rega dan Sandy berserta polisi lain berhamburan keluar dari dalam mobil. Mereka menodongkan pistol ke arah lelaki berhoodie hitam di hadapan Arga.
“Angkat tangan!”
Lelaki tersebut mengangkat kedua tangannya di udara. “Lo sengaja ngejebak gue? Kenapa? Karna takut gue perkosa tuh cewek?”
“Jangan banyak omong. Jelaskan nanti di kantor polisi.” Rega memborgol kedua tangan lelaki itu.
“Kenapa cuma gue? Tangkep dia juga dong!” tanya lelaki itu tidak mengerti.
Arga tertawa kecil, lalu membuka tudung Hoodie-nya. “Kamu salah. Saya polisinya.”
“Kebetulan apa gimana ni? Kenapa bisa ada tu cewek di mari?” tanya Rega pada Arga.
“Saya tidak tahu. Mungkin dia sudah tahu strategi saya.”
Mereka membawa si pelaku ke dalam mobil polisi. Arga mendudukkan tubuh gadis itu di kursi sebelah kiri. Sedikit tidak menyangka kalau istrinya akan nekat mengikutinya sampai sejauh ini. Lelaki itu hanya bisa menghela napas lega menatap wajah lelap Zevanya. Perlahan Zevanya mengerjapkan matanya, pandangannya mulai normal kembali.
“Dengar, saya bukan stalker seperti dugaan kamu. Ini hanya strategi. Apa kamu percaya?”
Zevanya memundurkan tubuhnya. “Gue nggak percaya kalo nggak ada buktinya.”
“Kamu bisa dengar nanti di kantor polisi.”
.
.
.
.
Sandy dan Rega membawa si pelaku ke ruang interogasi. Lelaki itu ditangkap atas pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur, penggelapan uang perusahaan dan pecandu narkoba. Si pelaku juga merupakan salah satu kelompok stalker yang sering menculik para gadis remaja, lalu menyiksanya sampai mati. Bukti pun sudah ditemukan, korban yang hampir mati juga mengakui perbuatan si pelaku.
Zevanya melirik Arga, kemudian bergantian melirik lelaki berHoodie hitam yang berada di ruangan interogasi itu. Ia merasa bersalah telah menuduh suaminya. Kalau memang benar Arga adalah stalker, mungkin saat ini lelaki itu sudah duduk di samping si pelaku.
“Sekarang kamu percaya?” tanya Arga menatap Zevanya.
“Masih belum. Lo bilang, lo bakalan mutilasi tubuh gue.”
“Itu hanya pura-pura.”
Zevanya mengangguk. Ia menyilangkan kedua tangan di dada, melihat-lihat papan tulis yang tertempel banyak foto. Matanya fokus pada foto seorang bocah laki-laki bersama anak perempuan di sebelahnya. Ternyata Arga sedang mengusut kasus 9 tahun lalu, dan mencari pelaku yang menculik anak itu.
Gadis itu mencabut kertas persegi empat itu dari papan tulis. “Ini ... Siapa?”
“Dia anak yang hilang 9 tahun lalu, sampai sekarang anak itu belum juga ditemukan.” ucap Arga. Ia mengambil foto tersebut di tangan Zevanya. “Kamu kenal anak ini?”
Zevanya menggeleng. “Lo bercanda, ya? Ya, jelas gue nggak kenal lah.”
Rega dan Sandy keluar dari ruangan interogasi. Mereka menghampiri Zevanya dan Arga yang berdiri di depan papan tulis. “Kamu ... Teman korban yang meninggal itu?” tanya Rega pada Zevanya.
Zevanya mengangguk. “Iya.”
“Kamu sangat membantu kami hari ini. Sulit sekali untuk Arga menangkap pelaku stalker sendirian. Tapi ... Gimana kamu bisa tahu Arga ada di tempat itu?” jelas Sandy, lalu bertanya pada Zevanya.
“Temen saya mengirim pesan, agar tidak terlalu mempercayai polisi.” jawab Zevanya.
“Tapi berkat dia, saya bisa menangkap pelaku.” Arga tersenyum.
“Begini ... Gimana kalau kamu bekerjasama dengan kami?” tawar Rega pada Zevanya. “Saya dengar kamu jurusan kriminologi?”
“Bekerjasama?”
Lalu, Arga memberitahu kerjasama apa yang dimaksud Rega. Sebagai seorang detektif memang mudah menangkap dan menjebak pelaku. Namun, kali ini lawan mereka berbeda, tidak hanya satu orang atau dua orang. Lelaki itu menawarkan Zevanya untuk bekerjasama menangkap satu persatu dari sekelompok stalker. Arga juga berjanji akan menemukan pelaku yang telah membunuh Cindy.
Mengingat kembali penderitaan yang dirasakan oleh sahabatnya, sebelum menghembuskan nafas terakhir. Zevanya merubah impiannya menjadi detektif. Ia menyetujui tawaran Rega untuk bekerjasama.
“Ambil ini, untuk berjaga-jaga. Jangan membahayakan diri sendiri, kalau ada apa-apa kabari saya.” Arga memberikan Zevanya pistol sungguhan sebagai cadangan, dengan izin dari kepolisian.
“Gue bisa jaga diri. Gue juga bakalan ngawasin setiap siswa di sekolah.” ucap Zevanya.
“Bagus.”
Nomor misterius itu kembali berulah. Kali ini Zevanya mendapatkan kiriman foto dirinya dan Arga sedang berdiri di depan mobil. Ia mengedarkan pandangan, mencari seseorang yang mengiriminya pesan tersebut. Tidak ada siapapun di parkiran, hanya ada badut dengan perut buncit berdiri di luar gerbang polisi.
“Kenapa?” tanya Arga. Ia memperhatikan tatapan mata Zevanya yang melihat seseorang berpakaian kostum badut seperti di film.
Badut itu melirik Zevanya sambil melambaikan tangan ke udara. Kedua mata gadis itu membuka lebar, lalu segera menaiki mobil melalui pintu di sisi kiri. Arga hanya bisa mengangkat bahu dan menyusul Zevanya ke dalam mobil.
Badut itu tersenyum lebar penuh arti, ketika mobil mereka melewati gerbang hingga menjauh dari pandangannya.
.
.
.
.
Zevanya dan Arga melupakan boneka Teddy Bear yang di dudukkan di atas sofa. Anehnya, selimut tipis yang menutupi kepala boneka tersebut tidak ada, seperti ada seseorang yang sengaja membukanya. Arga mau pun Zevanya menghiraukan benda itu dan bergegas beristirahat ke kamar masing-masing.
Zevanya menempelkan kartu kepemilikan, guna membuka pintu kamarnya. Seisi ruangan menjadi gelap. Padahal, gadis itu tidak pernah mematikan lampu kamarnya. Ia berjalan pelan mendekati ranjang, terlihat selimut tebalnya mengembang.
Mata Zevanya teralihkan ke arah jendela yang terbuka. Pintu balkon pun tak tertutup rapat. Selimut itu bergerak seolah bernapas seperti manusia. Ia merubah arah berbalik ke pintu, kemudian menuruni tangga.
Pintu di sebelah kamar Arga terbuka. “Zeva? Kamu sudah tahu?” desisnya.
“Lo juga sadar?”
Arga mengangguk. Sebelum membersihkan diri, ia mampir ke ruangan CCTV. Benar saja, ada seseorang yang memanjat balkon dan memasuki kamar Zevanya. “Iya. Ada badut di kamar kamu. Sepertinya kamu tidak bisa tidur di sana, bahaya.”
Bola mata Zevanya bergerak melihat pintu kamar Arga. “Tidur berdua?”
“Kamu di kamar. Saya di ruang tamu.”
Zevanya menggenggam tangan Arga. “Ayo tidur bareng. Gue nggak bisa sendirian kali ini, muka badut itu masih berkeliaran di kepala gue.” ajakan Zevanya langsung di respon dengan anggukan kepala Arga.
Zevanya dan Arga masuk ke kamar. Ini pertama kalinya gadis itu memasuki kamar suaminya. Meskipun sudah resmi menjadi seorang istri, ia tak berani menginjakkan kakinya di area pribadi Arga. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang king size milik Arga. Zevanya mencoba memejamkan mata, tetapi tak bisa.
Arga ikut berbaring di samping gadis itu. “Tidur yang nyenyak.”
Zevanya membuka mata. “Nggak bisa! Gue nggak bisa tidur, muka badut itu masih kebayang di otak gue.”
Arga menghadapkan tubuhnya ke samping, menatap wajah Zevanya. “Tutup mata kamu.”
“Hah?” mendadak bibir Arga mendarat di bibir Zevanya. Ini ciuman keduanya, ciuman pertamanya telah dicuri oleh pemuda berandalan 3 tahun lalu. Tidak ada pemberontakan. Gadis itu menikmati setiap gerakan lembut bibir suaminya, tanpa sadar ia ikut membalas dan merangkul pundak Arga.
Tanpa mereka sadari, di luar jendela ada seseorang yang sedang merekam sepasang suami istri itu bercumbu. Seseorang itu merekam melalui tirai jendela yang sedikit terbuka.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
aas
waduuh si Zeva dibawa siapa dong
2025-01-15
0
nandayue
nanti dikiranya zezev kumpul kebo lagi...kan gak ada yg tahu dia sudah nikah..
2022-12-15
1