"Nyonya, Nona Zevanya sudah pulang tapi ...." Mbak Minah, satu-satunya pembantu yang mengurusi segala kebersihan di kediaman Pradipta terlihat kebingungan. Pasalnya, ia melihat anak majikannya membawa seorang lelaki dewasa ke rumah.
"Kenapa? Ada masalah sama Zezev?" tanya Livy tanpa menatap Mbak Minah, matanya sedang fokus membaca selembar koran sambil menikmati secangkir teh.
"Nona Zevanya membawa pulang lelaki."
Livy tersenyum lebar mendengar laporan dari pembantunya, sudah bisa ditebak siapa lelaki yang dibawa oleh putrinya kali ini. Mbak Minah jelas tertegun heran melihat reaksi sang majikan, tak mau ikut campur dalam urusan rumah selain urusan dapur, Mbak Minah membereskan cangkir di atas meja dan membawanya ke dapur.
Saat pintu terbuka, Zevanya dan Arga masuk kemudian mencium punggung tangan Livy seraya memberi salam. Mereka berdua duduk di ujung sofa, menjaga jarak satu sama lain karena Arga tahu calon istrinya memiliki trauma. Wijaya berjalan menuruni tangga, sementara Livy sudah sedari tadi menunggu mereka di ruang tamu.
Wijaya melambaikan satu tangan, menyapa calon menantunya. Ia dan Arga berpelukan layaknya teman dekat. "Apa kabar kamu? Udah lama Om nggak liat kamu mampir ke Zezev's cafe."
"Banyak kasus akhir-akhir ini, jadi, saya belum sempat mampir." ucap Arga kembali mendudukkan diri di sofa. Ia menyodorkan kamera yang ditemukan di depan gedung kantor polisi, kepada Livy dan Wijaya.
"Apa ini?" Wijaya meraih kamera yang diletakkan di atas meja panjang beralas kaca hitam. Ia mulai menggeser setiap foto demi foto yang tersimpan dalam kamera tersebut. "Kamu harus lebih hati-hati lagi, Zev. Pelakunya berkelompok, bukan cuma satu orang."
Zevanya menundukkan kepala. "Jadi, Zev harus nikah sama Arga?"
Livy dan Wijaya saling bertukar pandang, lalu menatap Zevanya sembari mengangguk. Zevanya tak ingin teman-temannya mengetahui bahwa dirinya sudah menikah. Pun Arga juga demikian akan merahasiakan pernikahan mereka dari rekan-rekan kerjanya. Zevanya juga belum memberitahu Cindy dan Indah tentang kejadian di masa lalu, bukan kurang mempercayai kedua sahabatnya, hanya saja tidak ingin membebani mereka.
"Kapan? Bukannya lebih cepat lebih baik?" Zevanya melirik orang tuanya dan Arga. Ia teringat stalker yang hampir membunuhnya kemarin, apalagi melihat kondisi korban yang mengenaskan.
"Besok. Kebetulan lusa penghulunya ada urusan mendadak, jadi Mama percepat." jawab Livy.
Arga menoleh ke samping. "Hanya sementara, sampai para stalker tertangkap dan semua selesai."
Selesai? Maksudnya cerai gitu? Nggak, nggak! Gue nggak mau jadi janda muda! Zevanya melirik ke arah Arga. Ia menggelengkan kepala, sebelum akhirnya berdiri dari sofa.
"Maksud saya, kamu tidak perlu cemas lagi setelah para stalker tertangkap." ucap Arga lagi.
Wijaya dan Livy hanya tertawa kecil, tetapi meledek melihat perilaku putri mereka yang bersikap sesukanya. Zevanya sendiri agak terkejut dengan kepekaan Arga terhadap reaksi wajahnya. Tidak mungkin juga Arga menceraikan Zevanya setelah menangkap sekelompok stalker, baginya cukup menikah satu kali seumur hidup.
****
Pernikahan adalah sebuah impian setiap dua insan yang saling mencintai, wanita yang mencintai lelakinya, begitu juga sebaliknya. Bukan hanya sekadar merayakan pesta pernikahan. Bukan juga dilihat dari gedung mewah berlantai tinggi, makanan berkelas dan tamu pejabat tinggi. Itu semua tidak penting untuk Zevanya dan Arga. Menurut mereka mengucapkan ijab kabul sudah cukup.
Karena pernikahan Zevanya dan Arga dilakukan secara tertutup, dan hanya dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak.
Zevanya terlihat sedang mencuci telapak tangannya di wastafel, menggeseknya berulang kali. Ia mencuci tangan karena setelah pengucapan ijab kabul, Arga memakaikannya cincin di jari manisnya. Entah kenapa Zevanya tidak merasakan sensasi aneh setelah jarinya disentuh oleh Arga.
"Zev!" panggil Livy dari luar kamar mandi.
"Iya, Ma!"
Yang dipanggil segera keluar dari kamar mandi. Semua keluarganya dan keluarga besan sudah berkumpul di ruang tamu. Livy menepuk sofa, menyuruh Zevanya duduk di sebelahnya. Gadis yang masih diam di ambang pintu kamar mandi, berjalan mendekati sang ibu. Zevanya dan Arga saling beradu pandang dengan posisi berhadapan.
"Sekarang kewajiban kamu melindungi dan menjaga Zevanya. Papa dan Mama sangat mempercayai kamu, Arga." ujar Wijaya pada Arga.
Ayah yang sudah membesarkan anaknya itu selama sembilan belas tahun, kini, ia harus melepas anak gadisnya untuk lelaki yang menggantikannya bertanggung jawab menjaga Zevanya. Wijaya bisa bernapas lega setelah menikahkan putrinya dengan Arga, dengan begini dirinya dan sang istri bisa fokus mencari pelaku yang telah menculik putranya.
Arga mengembangkan senyumnya. "Papa dan Mama tidak usah khawatir." lirikan matanya menatap Zevanya. "Saya akan melindungi Zevanya apapun yang terjadi."
"Tapi Arga, kamu sudah menyiapkan rumah ini dari kapan?" tanya Dila, tantenya Arga.
"Setelah melamar Zevanya, saya langsung membeli rumah ini." jawab Arga.
Di tengah-tengah obrolan, Deska yang sedang menuangkan jus jeruk ke gelasnya melihat sekelebatan hitam di jendela. Bulu kuduk di lengannya berdiri, Deska sampai bergidik membayangkan sekelebatan tersebut.
"Lo harus hati-hati, pastiin semuanya aman. Tadi gue ngeliat sosok hitam, tapi nggak tau itu apa." Deska mengirimi Zevanya pesan WhatsApp untuk memberitahu apa yang dilihatnya.
Zevanya hanya mengangguk, sembari mengacungkan jempolnya. Beberapa menit kemudian, Wijaya dan Livy berserta Deska bersama om dan tantenya Arga berpamitan kepada pengantin baru itu. Sekarang hanya tinggal mereka berdua di rumah minimalis berlantai dua itu.
"Kamar gue—"
"Di atas." jawab Arga memotong kalimat Zevanya.
"Oke ...."
Zevanya menaiki tangga menuju kamarnya, sambil mengangkat koper besar berisikan pakaiannya. Ia terdiam melihat pintu kamarnya di pasang nomor PIN. Zevanya menyetel nomor PIN dengan tanggal ulang tahunnya. Pintu terbuka, menampilkan seisi ruangan yang di cat pink dan abu pastel, di samping ranjang ada sebuah meja rias sekaligus skincare yang tersusun rapi di rak.
Zevanya berjalan ke arah jendela, melihat pemandangan komplek perumahan dari lantai dua. "Seenggaknya di sini aman, karna ini komplek. Pasti tuh stalker nggak bakal berani masuk ke area komplek."
Melihat kopernya tergeletak di bawah ranjang, Zevanya berinisiatif merapikan pakaiannya dan memasukkannya ke lemari. Ia mengambil foto dirinya yang sudah dibingkai, lalu menaruhnya di atas meja rias. Setelah selesai, Zevanya merebahkan tubuhnya di ranjang tanpa melepaskan kebaya dan rok batiknya.
"Sekarang gue bisa tidur dengan tenang." Zevanya meraba-raba meja nakas di samping ranjang, mematikan lampu tidurnya dan segera memejamkan mata.
Seseorang berpakaian hitam memanjat gerbang kemudian mengutak-atik nomor PIN pintu utama, pintu berhasil terbuka dengan sendirinya. Ia mengendapkan langkah kakinya menaiki tangga yang mengarah ke kamar Zevanya. Lelaki misterius itu harus mengutak-atik nomor PIN lagi, agar bisa masuk ke dalam. Tidak berhasil.
Semua nomor PIN yang di coba lelaki itu tidak berhasil membuka pintu. Akhirnya, lelaki itu mencari akun sosial media Zevanya di Facebook kemudian mencoba membuka pintu dengan tanggal ulang tahunnya. Terbuka.
"Siapa di sana!"
Lelaki berpakaian hitam itu membulatkan mata dan berhenti di langkah pertama. Zevanya menunjuk ke arahnya dengan mata tertutup. Gadis itu sedang mengigau sekarang. Lelaki itu menghiraukan Zevanya yang terlelap dalam selimut, lalu kembali pada tujuan awalnya, menaruh kamera pengintai di atas lemari pakaian dan di sudut meja rias.
Padahal dari awal dia nggak bersalah, tapi kenapa Bos ngincer ni cewek? Lelaki itu menatap wajah tenang Zevanya, sebelum pergi meninggalkan kamar itu.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
aas
ngeri banget kamera d kamar 😱
2025-01-15
0