Pagi menjelang, matahari bersinar terang menyinari kota metropolitan, dengan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Seperti biasa Nanda harus mempersiapkan semua perlengkapan kebutuhan sekolah Kevin dan Celo, sementara Bram tengah bersiap-siap untuk segera meninggalkan kediaman mereka.
Dengan sangat lembut Bram memeluk tubuh Nanda, mellumat leher istrinya dengan penuh nafsu tanpa perasaan sungkan dihadapan mertuanya.
Tentu saja Nanda semakin jijik, kemudian membalikkan tubuhnya, "Apa yang ingin Mas lakukan pada Amet? Jika terjadi sesuatu padanya, aku yang akan membuka mulut untuk menenggelamkan Mas ke penjara ..." geramnya dengan mengancam.
Bram tertawa kecil, mendengar ancaman yang keluar dari bibir istrinya, "Jangan kamu memancing amarah ku, sayang. Karena aku bisa melakukannya dihadapan orangtuamu!"
Nanda bergidik ngeri, menelan ludahnya sendiri, mengalihkan pandangannya kearah lain dengan mata berkaca-kaca ...
Akan tetapi, kedua buah hati mereka datang menghampiri sambil berlari kecil kemudian berkata ...
"Mami, Kevin dan Celo berangkat dulu. Bye bye I love you, Mam ..." kecup Kevin, juga Celo bersamaan, saat Nanda menunduk kepada mereka.
Namun, sangat berbeda dengan Bram ... Ia justru menghindari wajahnya dari kedua anak laki-lakinya, dan masih menahan tubuh Nanda agar tidak terlepas darinya.
"Papi ..." sapa Kevin.
Bram berusaha untuk tetap tersenyum, walau sejujurnya dia tidak pernah ingin melihat kedua anak laki-lakinya itu mengetahui tentang pertikaian kedua orang tua mereka.
"Yes boy!" tunduknya mengusap lembut kepala Kevin dan Celo.
"Kami pergi dulu, nanti siang biar Oma dan Opa saja yang menjemput, dan kami ingin menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan. Oma bilang Papi mau memberikan aku uang untuk membeli beberapa perlengkapan sekolah. Papi titip sama Oma saja, yah?" jelasnya, sambil menunjuk kearah Mince yang tersipu malu di meja makan.
Bram yang mengetahui bagaimana sifat Mama mertuanya, hanya bisa tersenyum mengerti, dan kembali menatap iris mata Nanda ...
Dengan bibir rapat, Bram hanya bisa berkata untuk memberi perintah, "Siapkan cek 20 juta, berikan pada Mama mu yang matre itu! Aku tidak ada waktu untuk mengurusi uang senilai parkiran!" tegasnya.
Nanda hanya menghela nafas berat, menganggukkan wajahnya kaku.
Lagi-lagi Bram mendekatkan wajahnya, untuk mendapatkan satu ciuman mesra dari sang istri dihadapan mertua sebelum pergi mereka berpisah, "Kiss me please ..."
Nanda menautkan kedua alisnya, "Jangan gila Mas. Ada Mama dan Papa di belakang kita ..." geramnya.
"Lakukan sekarang, atau aku akan membuka paha mu di sini ...!?" balasnya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, Nanda hanya bisa mengecup pelan bibir Bram, tanpa mau melakukan hal yang lebih.
Entah mengapa, Mince tersenyum lebar saat melihat kemesraan anak menantu yang memang sangat menyenangkan baginya.
"Ternyata kalian benar-benar bahagia, Nanda," ujarnya menoleh kearah Luky yang tengah berpikir keras, untuk menyelamatkan putri kesayangannya untuk kembali mendapatkan kebebasan di luar sana.
Bukan sekali dua kali, Luky melihat sorot mata putrinya yang tampak tertekan semenjak menikah dengan Bram. Bahkan kali ini semua benar-benar nyata.
Luky bergumam dalam hati, "Apa yang harus aku lakukan, apakah aku harus melibatkan pihak ketiga untuk membawa putri ku kabur dari rumah mewah ini? Tapi bagaimana jika Bram dapat menemukan keberadaan Nanda? Aaagh ... Aku harus meminta pertolongan pada salah satu rekan ku ..."
.
Semua tampak berjalan seperti biasa, Nanda yang dinyatakan sehat, walau harus mendapatkan siksaan bertubi-tubi dari suaminya sendiri, melakukan aktivitasnya seperti biasa.
Dengan cepat, ia menghubungi Tanser terlebih dahulu, agar dapat menemuinya di kantor, sebelum Bram yang memecat pria bertulang lunak tersebut secara tidak hormat.
Nanda berusaha untuk memelankan suaranya, agar tidak terdengar oleh sopir pribadi yang selalu melaporkan kesehariannya pada Bram.
Nanda : "Dimana beib ..."
Tanser : "Gue sudah di kantor, lo dimana sih? Sudah lebih dari dua hari enggak masuk kantor. Masih mual ..."
Nanda : "Hmm, sebentar lagi aku sampai kantor. Kamu tunggu di ruangan ku]
Tanser : "Oke ..."
Nanda meletakkan handphone miliknya di dalam tas, memberi perintah pada sopir agar mempercepat kendaraan mereka.
"Bisa cepat Pak? Karena saya ada rapat!" perintahnya.
"Baik Bu ...!"
Benar saja, tidak butuh waktu lama, mobil mewah berwarna hitam itu sudah terparkir di depan gedung perkantoran milik Bram, yang di kelola langsung oleh Nanda.
Dengan gerak cepat, Nanda berlalu menuju ruangannya, tanpa mau menoleh ataupun sekedar berbasa-basi pada karyawan lainnya, yang langsung menundukkan kepala setiap bertemu dengan Nanda.
Tidak ada senyuman, tidak ada ramah tamah atau bahkan senda gurau selayaknya karyawan dan atasan. Sesungguhnya Nanda dan karyawan lainnya, sama. Sama-sama makan gaji. Akan tetapi perbedaannya hanyalah, Nanda menikah dengan Bram. Jadi ia lebih menjaga wibawa, walau sesungguhya itu bukan kepribadian seorang Nanda.
Nanda memasuki ruangan yang sudah aktif sejak tadi, melihat Tanser duduk di sofa ruangan, sambil menyesap secangkir kopi buatannya.
"Pagi baby ..." sapa Tanser dengan senyuman manis, semanis madu.
Nanda tak banyak basa-basi, langsung menodongkan ucapan yang membuat bulu kuduk Tanser meremang, "Lakukan sesuatu, bawa aku pergi dari kota ini, Tanser! Aku mohon. Aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ku dengan Mas Bram. Dia telah menyiksa ku, dan aku tidak sanggup lagi. Aku butuh perlindungan, aku mohon lakukan sesuatu untuk ku, Tanser!" tangisnya pecah seketika.
Tanser terdiam, ia sudah dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Nanda selama ini. Melihat pakaian yang serba tertutup, membuat dia semakin yakin bahwa Bram telah menyakiti fisik Nanda selama dua hari karena kehamilan sahabatnya itu.
Perlahan Tanser mendekati Nanda, namun di tepis oleh tangan halus Nanda ...
Dengan cepat Nanda mendongakkan kepalanya, "Jangan terlalu dekat dengan ku, karena ada CCTV di ruangan ini. Kita terlihat seperti berdebat, dan jangan pernah kamu menyentuh ku. Aku hanya meminta mu, agar mempersiapkan aku tiket atau apapun akses pergi dari pria laknat itu. Karena aku tidak bisa melakukannya sendiri. Aku mohon padamu, Tanser! Jangan sampai Mas Bram tahu! Karena kamu pasti akan mati sama seperti Amet ...!"
Tanser terdiam sejenak, matanya berembun mendengar penjelasan Nanda. Bagaimanapun ia tak kuasa untuk menuruti semua perintah Nanda, namun jika menolong sahabatnya justru akan berdampak buruk pada keselamatannya.
"Tenang baby ... Aku akan meminta pada seseorang untuk menolong mu! Aku ikuti semua permainan suami mu, tapi untuk hari ini kita ada jadwal menangani proyek di Cipanas. Jangan sampai kita kehilangan proyek itu. Karena hari ini terakhir penanganannya. Bagaimana? Kita jalan sekarang?"
Nanda menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Setidaknya aku harus cepat memberi tahu kepada Amet, agar meninggalkan kotanya, atau kami bisa pergi bersama ... Oogh ... Tidak-tidak-tidak Nanda, kamu tidak boleh pergi dengan Amet, walaupun kamu hamil anak dia, tapi kamu tidak boleh kabur dengan pria seperti dia, karena akan membuat masalah baru. Kamu harus menyelamatkan diri mu sendiri, agar jauh dari laki-laki laknat seperti Bram ..." gumamnya dalam hati.
Nanda berusaha kuat, dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan Bram. Kali ini dia harus melakukan sesuatu untuk terlepas dari tangan pria laknat tersebut.
"Aku harus membawa anak ini, dan menyelamatkan nyawa janin yang ada dalam kandungan ku. Karena hanya anak ini yang aku punya, saat bersama Amet ..."
"Cepat Tanser. Kita harus bertindak!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments