Nanda mengangguk di dada Tanser. Dia tidak mungkin membicarakan hal ini pada Bram. Pasti suaminya itu akan membunuh Amet atau bahkan menghancurkan seluruh keluarga sang mantan kekasih masa sekolahnya.
"Aku takut ... Aku takut, Ser!" isaknya.
Tanser menoleh kearah lain, mengalihkan pandangannya agar tidak menjadi bahan gunjingan bagi yang melihat Nanda yang tengah menangis terisak-isak.
"Cup, cup, cup ... Jangan nangis lagi! Kita masih di acara resmi. Nanti dinding ini bicara pada suami mu, satu lagi mantan kamu dalam bahaya ..." bisiknya mengingatkan Nanda.
Nanda mengangguk, mengusap lembut wajahnya, menatap wajah cantiknya di cermin toilet. Ia melihat orang asing yang tanpa di sadarinya tengah mendengar pembicaraan mereka berdua. Secepat kilat, iya meninggalkan toilet kembali ke meja pesta.
Nanda duduk di kursi semula, sementara Bram masih asyik berbincang-bincang, melirik kearah istrinya yang telah kembali.
"Tolong jangan buat masalah di sini! Aku tidak ingin orang-orang melihat kamu dengan wajah seperti itu," sesalnya berbisik ketelinga Nanda.
Nanda memejamkan matanya, membayangkan bahwa Bram akan mengetahui semua ini cepat atau lambat.
Cukup lama Nanda hanya termenung sendiri, memikirkan masalah pribadinya, "Bagaimana mungkin aku harus menghadapi semua ini sendiri. Sementara Mas Bram tidak mau berpisah dengan ku! Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggugurkan kandungan ini?" hanya bisa menundukkan kepala, menangisi nasibnya yang tidak pernah merasa kebahagiaan selama pernikahan.
Kebahagiaan yang selama ini di ciptakan Bram terasa semu, tak berarti apa-apa baginya, walau di cukupi dalam materi yang tak pernah kekurangan.
Bram menoleh mesra kearah Nanda, "Sayang ... Kita salaman, dan foto," senyumnya bak malaikat.
Nanda mendongakkan kepalanya, tersenyum mesra, meski hatinya masih terasa perih.
Mereka semua bersalaman dengan pasangan yang tengah berbahagia, berfoto bersama, dan meninggalkan hotel mewah tersebut. Tentu dengan semua drama yang di ciptakan Bram, semakin menyesakkan bagi Nanda.
Bram membukakan pintu mobil, menahan tangannya di pintu agar kepala Nanda tidak terbentur.
Nanda duduk termenung, menatap cahaya lampu, seketika Bram langsung meremas kuat jemari tangan halus istrinya.
"Apakah yang kamu katakan pada Tanser itu benar?" ucapnya tanpa melihat.
Nanda terlonjak kaget, dia sedikit khawatir, menoleh kearah belakang, dan sekelilingnya. Wajahnya seketika kaku tak mampu berkata-kata.
"Mas, kita bisa bahas ini di rumah, jangan di sini. Ada sopir ...!"
Bram tersenyum lirih, dia menggeram, melepaskan tangannya dari tangan wanita yang ketakutan di sampingnya.
Dada Nanda berdegup kencang, seketika dia semakin kalut. Karena Amet akan menghadapi hal yang sangat menyakitkan.
"Mas, jangan lakukan apapun padanya. Aku mohon! Dia tidak salah, aku yang salah! Aku yang telah menggodanya ...!"
Bram menoleh kearah Nanda, tersenyum tipis mendengar suara wanita cantik itu terdengar sangat menggairahkan di telinganya.
Bram menelan salivanya, karena sejak awal mereka tiba di ballroom hotel bintang lima itu, dia sudah meminta Nanda tidak melakukan hal yang bodoh.
Namun, Nanda tak mengindahkan perintah Bram, sehingga semua telah terdengar ke telinganya secepat kilat. Dia merupakan pria yang sangat pintar dan telah meminta orangnya untuk menghabisi Amet tanpa sepengetahuan istrinya.
Rasa memiliki Bram terhadap Nanda sangat tinggi, karena telah berhasil mendapatkan gadis cantik itu, walau harus memberikan uang satu tas besar kepada kedua orang tua Nanda tanpa sepengetahuan wanita itu.
Nanda turun dari mobil, bergegas masuk ke kamar mereka. Namun Bram, seketika menerobos masuk, dan mengunci kamar mereka agar tidak terdengar lagi keributan oleh kedua pengasuh putranya.
"Apa maksud mu tidur dengan pria itu, jawab aku! Dia tidak lebih dari sampah! Tidak memiliki apapun, pantas saja kamu sulit sekali untuk meninggalkan kota itu, hmm!" bentak Bram.
"Mas ... Jaga ucapan mu! Nanda mencintai dia! Ceraikan aku, Mas! Rumah tangga seperti apa ini! Seperti neraka, dan tidak ada kebahagiaan disini! Lebih baik kita berpisah, Nanda bisa ngomong sama Papa juga Mama. Nanda akan menjelaskan pada mereka, Mas!" isaknya.
Bram menatap nanar wajah wanita yang meminta cerai padanya.
"Ini kedua kalinya kamu minta cerai! Apa kamu mau balik sama pria pecundang seperti itu! Lihat dirimu yang sekarang! Dengar sayang, sampai kapanpun kamu masih tetap sama Mas!" tegasnya.
"Mas ... Tolong jangan paksakan Nanda! Ceraikan Nanda, Mas! Ceraikan!"
Bram mendekap tubuh ramping Nanda yang terlihat sangat cantik, gaun malam yang iya kenakan membuat dirinya tak kuasa menahan hasrat yang bergejolak seketika, saat kedua netra itu saling bertemu.
Akan tetapi, Nanda menolak tak ingin melayani suaminya, karena di perlakukan kasar sejak tadi.
Namun, Bram tidak memperdulikan isak tangis istrinya, dia tetap melakukannya, dengan sangat buas. Bahkan membuat Nanda merintih memohon, agar tidak di perlakukan kasar seperti itu.
Bram tak peduli, kali ini dia benar-benar seperti orang kesetanan. Masih terngiang-ngiang di telinganya, saat salah seorang yang menyampaikan kondisi Nanda tengah mengandung benih sang mantan, saat berada di ballroom hotel.
Nanda menangis sekeras-kerasnya, saat Bram menghujamkan miliknya yang sangat menyesakkan di bawah sana. Sungguh kasar, bahkan kali ini pria yang berstatus suami itu, menghentakkan pinggulnya dengan sangat keras, membuat Nanda berteriak keras.
"Mas, lepaskan!" isak Nanda saat tubuhnya sudah tak berdaya.
"Jangan berharap aku akan berhenti! Karena aku tidak ingin kamu mengingatnya, bahkan memberi kabar tentang kehamilan mu ini padanya! Jika kamu melakukan hal itu, aku akan melakukan hal lebih gila lagi dari pada ini!" ancamnya seperti orang kesurupan.
Nanda memiringkan tubuhnya, saat penyatuan mereka terlepas, dan Bram terlelap disamping tubuh telanjangnya.
Nanda berlari ke kamar mandi, melihat tubuhnya yang banyak bekas cakaran tangan Bram. Dia sangat tertekan karena perlakuan Bram, yang sengaja menyiksanya.
"Amet, jemput Nanda, lakukan sesuatu ...!" tangisnya mencari keberadaan handphone yang sejak tadi tidak tahu di mana letaknya.
.
Di kota kecil yang masih terlihat Amet tengah mengurus Susi yang merupakan istri sahnya selama ini, tengah melalui proses pemulihannya. Dia menyuapkan wanita itu dengan penuh perasaan iba.
Bagi Amet memulihkan keadaan Susi lebih utama, apalagi semenjak mendengar kematian Paman Sutarno dan keponakannya sangat tragis.
Kali ini Amet melakukannya atas dasar kasihan, dan tanggung jawab sebagai seorang pria yang berstatus sebagai mantan suami.
Namun sangat berbeda dengan pemikiran Susi, dia merasa terbang di awan mendapatkan perhatian khusus seperti itu oleh Amet. Wajahnya tampak berseri-seri, bahkan bersemangat setelah mendapatkan perhatian lebih dari pria yang masih merasa bahwa mereka sudah mantan.
Amet mengusap lembut kepala Susi, "Tidurlah, Ayah sedang menunggu Tini untuk membawa Angga pulang ke rumah. Jangan tidur terlalu larut, besok kalau sudah enakan kamu kerja Ayah antar saja. Enggak usah pakai motor, takut kenapa-kenapa di jalan," jelasnya.
Susi tersenyum sumringah, saat mendapat perhatian sangat baik dari pria sebaik Amet.
Namun, berkali-kali dia mencari keberadaan handphone milik suaminya, hanya untuk mencari tahu tentang komunikasi Amet dengan mantan yang bernama Nanda.
Saat Amet tengah duduk di luar rumah, menikmati segelas kopi hitam buatan sendiri. Dia melihat dua kali mobil yang sama melintas di depan rumahnya.
Amet melihat plat nomor yang tampak samar, namun tidak dapat menebak, "Kenapa mereka melewati rumah ku? Apakah mereka sedang mencari-cari alamat rumah, atau mungkin mereka tersesat ...! Bukankah tinggal lurus saja mencari jalan keluar ...?"
Amet berdiri tegap di depan rumah, sambil menyesiasati situasi sekelilingnya, "Aku rasa mereka sedang mengawasi kediaman ku saat ini ...!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments