[Flashback off]
Rena terpaku mendengar cerita Vina. Ia merasa heran sekaligus takjub dengannya. Namun di lain sisi, Rena juga merasakan penderitaan Vina.
"Vin, maaf ya! Aku sama sekali tidak tahu kalau ternyata....." Rena tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia merasa bersalah karena telah memaksa Vina untuk mengingat luka lama.
Vina tersenyum dan merangkul Rena. "Tak apa, Aku senang bila ada yang bertanya seperti itu." Vina menoleh dan tersenyum.
"Tapi......"
Perlahan ia melepaskan rangkulannya, menarik kembali tangan itu di depan dada. Lalu terdiam menatap Rena yang ikut diam menunggunya melanjutkan kata.
"Apakah kamu akan menjauhiku setelah mendengarnya?" Vina menunduk. Raut wajahnya berubah sedih.
Mendengar ucapannya membuat Rena tersenyum, ia meraih lengan Vina dan merangkulkan kembali di pundaknya. "Apapun itu, aku akan selalu menemanimu Vina!" Tekad Rena.
Vina sempat menatapnya ragu, namun Rena kembali memberikan keyakinan padanya. Senyum tulus Rena membuat Vina yakin akan ucapannya.
"Setuju???" Rena menjulurkan tangannya. Vina tersenyum, lalu menggapai tangan Rena. "Setuju!!!" Mereka bersalaman.
Rena merasa sangat senang, ia merangkul pundak Vina dengan senangnya. Setelah itu mereka kembali memandang indahnya malam.
Laras yang mendengarkan cerita mereka diam-diam pun reflek tersenyum. Ia dapat melihat kejujuran dan tulusnya hati Rena. Laras juga kagum dengan sifat Vina yang kuat dalam melewati masa-masa sulitnya.
Malam terasa begitu terang. Seakan memberi semangat kepada para survivor untuk terus melanjutkan hidup. Mau tidak mau mereka harus tetap menempuh jalan hidup baru. Dengan tim baru, teman baru, saudara baru, atau sebutan lain bagi mereka.
,,,,,,,,,,,,,,,,,
"Hoaamm......"
"Aarghhhh..... punggungku pegal!" Keluh Dean, ia baru saja terbangun dari alam mimpi.
"Hmm.... pagi yang cerah!" Ujarnya sembari mengedarkan pandangan ke sekitar, yang lain masih tertidur pulas di tempatnya masing-masing. Lalu Dean menoleh ke bawah ranjang, di sana hanya ada Charlie dan Kean yang masih tertidur.
"Ehh.... Fian di mana?" Gumam Dean. Ia tersadar kalau Fian sudah bangun dan pergi entah ke mana.
Dean bangkit lalu berjalan keluar. Diregangkan otot-otot tubuhnya hingga menimbulkan suara-suara persendian dari dalam tubuhnya.
"Ahhh..... ini jauh lebih baik." Dean mendekat pada jendela lalu mengecek keadaan bawah gedung. Ratusan mayat masih berlalu-lalang tak jelas di sekitar halaman sekolah.
"Mustahil dapat turun dengan mudah."
Dean menghela nafas. Didudukkan tubuh itu pada sebuah kursi. Sekejap ia menggeleng sembari mengusap wajahnya yang kusam.
"Kapan ini akan berakhir?"
Krieettt.....
Fian datang membawa sebuah tas yang sedikit mengembung. Melihat hal itu membuat Dean terheran. Senyum Dean merekah ketika mendapati tas yang di gendong Fian.
"Woww..... sebuah kejutan, dari mana kau mendapatkannya?"
"Sedikit pemeriksaan kelas. Di sana banyak bungkusan snack dan roti yang masih aman dikonsumsi." Jawab Fian. Ia berlalu menuju wastafel untuk mencuci tangan.
"Ehhh....." Laras terlonjak melihat Fian yang tiba-tiba muncul di depannya. "Kau sudah bangun, sedang apa kau di sini?" Tanya Fian yang memperhatikan Laras sedang berdiri di depan cermin.
"Aku...... Se-Sedang.... ahh iya, aku sedang mencuci muka." Jawab asal Laras. Ia merasa malu karena tanpa sengaja dipergoki Fian saat dirinya sedang bercermin. Sedangkan Fian tampak santai, ia masih terlihat seperti sebelumnya.
"Baiklah, aku akan menunggu." Ucapnya sembari menunggu di depan pintu. Laras segera mempercepat aktivitasnya, lalu keluar dari ruangan itu.
Di depan, Fian menunggu dengan pedang di tangannya, ia mengelap noda darah yang ada di setiap sudut pedang itu. Melihat Laras telah keluar ia pun segera memasuki ruang cuci.
Dean merasa penasaran, dibukanya tas yang dibawa Fian tadi.
"Hmmm.... kau hebat Fian!" Dean tersenyum, ia melihat berbagai macam makanan di dalam sana. Ada juga barang lain berupa kain, beberapa sarung tangan, dan yang lainnya.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Beberapa jam telah berlalu. Kini Kean, Charlie, Kevin, Rian, Chandra, Brayen, dan Farel telah bangun. Mereka sedang memeriksa barang bawaan masing-masing. Sedangkan para wanita bertugas menyiapkan sarapan untuk mereka semua.
(Waktu sarapan)
"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Dean membuka obrolan. Kean dan yang lain berfikir sejenak. Pertanyaan Dean tentunya mengarah pada rencana mereka untuk segera meninggalkan tempat ini. Sekolah tidak lagi aman, tetapi mereka juga belum menemukan cara efektif untuk keluar tanpa gangguan reyns di sekitar.
"Bagaimana kalau kita tunggu beberapa hari di sini? Keadaan di luar sepertinya belum memungkinkan." Ujar Kean. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela yang mengarahkan pandangan pada langit biru.
"Sepertinya itu bagus, kita juga perlu mempersiapkan diri lebih matang untuk pergi dari sini, nanti beberapa orang akan pergi berkeliling untuk mencari barang yang sekiranya dapat berguna sekaligus mengumpulkan bahan makanan untuk kita bertahan hidup." Fian menyetujui usul Kean.
"Aku setuju Fian, merupakan ide bagus bila kita mencoba untuk melatih mental di luar. Membunuh beberapa ekor Reyns bukanlah hal yang berat kan?"
Dean meyakinkan yang lain untuk melawan. Dean juga tahu, mau itu monster, reyns, atau apapun itu pasti sulit bagi mereka untuk membunuhnya. Jika mengingat wujud manusia mereka, pasti akan terasa berat.
Tapi bagaimana lagi? Mau tidak mau mereka harus berani membunuh para mayat hidup yang kapan saja bisa menyerang mereka. Hanya itu jalan satu-satunya untuk mereka bertahan hidup.
Diva memandangi Lenna dengan wajah berharap. Ia tampak bimbang dengan keputusan Dean. Namun Lenna yang telah membunuh beberapa ekor reyns menggunakan tongkat baseballnya hanya tersenyum sembari mengangkat kedua tangannya. Rena dan Della juga terlihat santai dengan keputusan itu.
"Hal ini juga berlaku untuk para wanita! Karena bagaimana pun kita harus melawan rasa takut kita. Setidaknya untuk menyelamatkan diri sendiri dan tidak menjadi beban orang lain. Sampai sejauh ini hanya Lenna dan Vina dari kaum wanita yang mampu membunuh Reyns tanpa ragu." Ujar Rena. Ia merangkul Vina yang kebingungan saat namanya disebut.
Mendengar keputusan Rena, Diva tampak lesu. Sebenarnya ia agak keberatan, namun pendapat Rena ada benarnya. Tak mungkin mereka akan terus bergantung pada para pria yang di sisi lain juga kewalahan sendiri. Laras yang awalnya khawatir akhirnya kembali tersenyum, ia sadar akan perkataan Rena.
"Ada baiknya bila kita buat 2 kelompok, masing-masing kelompok memiliki pemimpin yang akan mengarahkan. Karena akan terlalu beresiko jika semua orang ikut pergi." Charlie mengutarakan pendapatnya. yang lain menyetujui usulan Charlie tersebut.
"Baiklah, mari kita buat 2 kelompok itu!." Kean tersenyum. Mereka saling berdiskusi untuk menentukan siapa yang menjadi ketua dan anggota dari masing-masing kelompok.
,,,,,,,,,,,,,
Beberapa menit berlalu, mereka menghabiskan waktu sarapan dengan diskusi.
Setelah beberapa menit berdiskusi, mereka sepakat bahwa yang akan memimpin masing-masing kelompok adalah Kean dan Fian.
Kelompok 1 dipimpin oleh Kean dengan beranggotakan Charlie, Brayen, Kevin, Chandra, Lenna, Laras, dan Laura. Sedangkan kelompok 2 dipimpin oleh Fian dengan beranggotakan Dean, Farel, Rian, Vina, Rena, Della, dan Diva.
Akhirnya 2 kelompok ini usai dibentuk. Mereka harus bertanggung jawab dalam kelompoknya masing-masing. Anggota Kelompok 1 dan 2 berjumlah 8 orang (termasuk pemimpin). Geysa tidak masuk dalam kelompok, ia akan ditemani oleh setiap kelompok yang sedang tidak bertugas. Mereka juga telah membagi jadwal tugas kelompok setiap harinya. Kemungkinan, besok merupakan tugas pertama bagi kelompok 1. Semua anggota kelompok diwajibkan untuk mempersiapkan diri nanti malam.
Setelah usai membentuk kelompok, semua orang bubar dari tempatnya. Tugas akan dimulai esok hari. Sedangkan hari ini, mereka sepakat untuk membenahi ruang UKS yang kini menjadi tempat persembunyian terbaik bagi mereka. Dimulai dari memperkokoh pertahanan dan pintu masuk, sampai membersihkan seisi ruangan.
Jendela-jendela UKS yang menghadapkan dengan dinding kooridor semua diblok menggunakan papan agar sulit dilalui oleh para Reyns. Sedangkan jendela yang menghadap ke luar sekolah dibiarkan dan hanya dikunci saja.
"Apakah di sekitar sini ada gudang penyimpanan?"
"Aku melihatnya!"
Fian menoleh, mendapati Laras yang tengah mengangkat tangannya.
"Di mana letaknya?"
"Aku sempat melihatnya saat berlari bersama Geysa. Namun aku hanya melihat sekilas sebab ruangan di dalamnya kumuh dan tak terpikirkan oleh ku untuk memasukinnya. Jadi kami hanya melewatinnya saja. Letaknya hanya berjarak 2 ruangan dari kelas yang aku tempati bersama Geysa." Jawab Laras.
Fian mengingat kalau waktu itu ia tak sempat untuk memeriksa seluruh ruangan karna takut yang lain khawatir dengannya. Jadi bisa saja gudang itu terlewat saat dirinya pergi mengeksplor lantai itu.
"Baiklah, terima kasih atas infonya!" Fian berlalu menuju pintu.
"Apakah kau perlu ditemani?" Laras bertanya sembari mengajukan dirinya untuk menemani, Fian berbalik dan tersenyum.
"Tak perlu Laras, kau lebih dibutuhkan di sini." Fian melanjutkan langkahnya dan menghilang di balik pintu. Laras tertegun memandangi perginya Fian.
"Sungguh pria yang dingin." Della menepuk pundak Laras tiba-tiba.
"Heehhhh.... iya, mungkin seperti itu." Jawab Laras yang terkaget. Della tersenyum melihat muka Laras yang mulai memerah.
"Sepertinya kau mulai mengaguminya!" Della mulai menggoda yang membuat muka Laras makin merona, ia menyenggol pelan tangan Della.
"Hanya sebatas mengagumi." Gumam Laras, ia segera berlalu untuk mencuci mukanya yang memerah.
"Heyy Laras!!! Nanti bantu aku dan Laura membersihkan dapur!" Teriak Della yang tak dikubris oleh Laras.
"Diamlah mak lampir!!!" Kevin memarahi Della karena suaranya yang nyaring dapat mengganggu semua orang.
"Hehehhe..... maaf pak tua!"
Della berlari menuju dapur. Sedangkan Dean hanya bisa terkekeh melihat Kevin yang kesal.
Pindah pada Geysa, gadis itu asik menatap Vina dan Rena yang sibuk bekerja. Tak hentinya bibir itu tersenyum, seakan begitu polos dirinya.
"Kak Vina!" Panggil Geysa. Vina dan Rena sedang berada di kamar wanita, Mereka membereskan semua yang ada di sana. Sedangkan di kamar pria, sudah ada Lenna dan Diva yang membersihkannya.
"Ada apa Geysa!" Vina mendekati gadis itu. Mengelus pelan kepalanya yang terlihat menggemaskan.
"Apakah aku boleh membantu?"
Rena tersenyum mendengar pertanyaan itu, tentunya Vina juga sama. Anak sekecil itu menawarkan bantuan pada mereka, terdengar seperti kejadian yang langka.
"Boleh donk, mari bantu kak Vina dan kak Rena!"
Geysa tersenyum senang. Ia segera melakukan tugas yang diberikan Vina.
Rena yang melihat tingkah Geysa dan Vina pun kian tersenyum. Ia sangat senang melihat mereka yang begitu akrab. Vina melirik Rena sejenak, lalu ia menghampirinya. Vina memberikan sedikit arahan pada Geysa dan membiarkan gadis itu melakukan pekerjaannya seorang diri.
"Kau cepat sekali akrab dengannya."
"Dia anak yang baik dan ramah. Aku suka dengan sifatnya yang polos juga kelihatannya ia sangat perhatian. Seandainya saja aku punya saudara sepertinya." Vina duduk di samping Rena. Rena masih memandangi gadis kecil itu dengan senyum.
"Ohh iya, bagaimana dengan masa lalumu? Kau tak pernah menceritakannya padaku." Vina bertanya sembari menatap Rena penuh selidik. yang ditatap pun sedikit menyiratkan senyum paksa.
"Hmmm.... sepertinya kita agak berbeda sihh..." ujar Rena. Ia meletakkan jarinya di dagu. Vina masih menatapnya penuh tanda tanya.
"Heyy.... jangan menatapku seperti itu!" Rena sedikit menjauhkan kepalanya dari Vina. Vina tersenyum nakal sembari memainkan jemarinya di depan wajah Rena.
"Ceritakan dulu!!!!" Pintanya.
"Hufffftttt...... baiklah!." Rena menghela nafas panjang. Ia pun mulai menceritakan kisahnya.
,,,,,,,,,,,,
Rena merupakan teman baik bagi Lenna dan Diva. Ayah dan ibunya merupakan pengusaha sukses dari 2 perusahaan yang berbeda. Keduanya sama-sama memiliki usaha mandiri yang dibangun dan diolah sendiri. Bisa dibilang, Rena adalah anak yang memiliki kehidupan mewah.
Namun semua kemewahan itu tidak dapat membuatnya bahagia. Keadaan keluarga Rena tidaklah harmonis. Orang tua Rena hanya mementingkan pekerjaan dan urusan kantor. bagi mereka, kemajuan perusahaan merupakan prioritas utama. Bahkan kebahagiaan bersama keluarga mereka lupakam demi usahanya.
Sejak kecil, Rena jarang sekali berinteraksi dengan orang tuanya. Ia lebih banyak bermain dengan pembantunya. Ayah dan ibu sama sekali tak memperdulikan Rena. Cukup dengan memberinya jatah uang setiap hari, setelah itu mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Rena tumbuh menjadi seorang gadis yang baik hati, dirinya begitu peduli dengan lingkungan, Sifat yang tentunya tidak dimiliki oleh kedua orang tuanya.
Ia juga menjadi anak yang mandiri, harta yang diberikan oleh orang tua tidak membuat Rena menjadi gadis manja, ia bahkan berpenampilan sederhana. Baginya, hidup mewah dan berfoya-foya adalah hal yang tak berguna. Rena lebih memilih mengamalkan hartanya.
Saat usianya menginjak remaja, keadaan keluarga Rena semakin memburuk. Ayah dan ibu Rena sering bertengkar tidak jelas yang hanya mempermasalahkan hal sepele. Apalagi kalau bukan urusan pekerjaan. Rena sering menasihati keduanya, namun mereka malah membentak dan menyuruh Rena untuk tidak ikut campur. Rena sama sekali tak dianggap. Walaupun sedih, tapi Rena tidak menyimpan dendam. Ia sangat menyayangi ayah dan ibunya.
Sampai suatu hari terjadi pertengkaran hebat di rumah Rena. Adanya pesaing dari perusahaan lain menjadi faktor utama. Keduanya saling beradu pendapat yang membawa mereka menuju pertengkaran. Sampai akhirnya, ayah dan ibu Rena memilih bercerai. Ibunya pergi meninggalkan mereka.
Hati Rena sangat hancur. Ia tidak habis fikir, hanya gara-gara pekerjaan mereka bisa sampai bercerai. Rena yang saat ini tinggal bersama ayahnya dipaksa oleh sang ayah untuk menempuh pendidikan di pusat kota.
Tentunya Rena sedikit bimbang, namun tak ada pilihan selain menerima. Dengan berat hati, ia pindah ke kota seorang diri. Dengan berbekal harta yang ayahnya berikan, ia mulai berangkat dan menempuh jalannya.
Karena nilai yang diraih Rena bagus, ia akhirnya diterima di sekolah itu. Hati Rena yang semula hancur mendadak senang karena hasil dari jerih payahnya tidak membuat kecewa. Ia merasa ada hal tersendiri yang membuatnya lega dari hasil tes itu. Hal yang membuat jalan hidupnya terbuka begitu saja.
Rena yang menjadi siswi baru di kelas itu bertemu dengan Lenna dan Diva. Mereka berdua mengajak Rena untuk menjadi temannya. Sifat Rena yang baik-baik jahil membuat Lenna dan Diva tertarik dengannya. Mereka akhirnya resmi menjadi teman yang sampai kini masih bersama.
,,,,,,,,,,,
"Dan.... ending yang lumayan!!" Ujar Rena yang selesai bercerita. Vina tertegun sejenak. Ia merasa ada sedikit kesamaan antara ceritanya dengan cerita Rena.
"Hmm.... apakah kau merasa ada yang aneh?" Tanya Rena melihat Vina yang masih bengong.
"Ehh... tidak, tidak ada. Hanya saja cerita kita berdua sedikit mirip."
"Hahahaha..... sepertinya ada benarnya. Tapi kau yang mengikuti alurku!"
"Hahaha... aku yang bercerita lebih dulu!" Vina mencubit pelan hidung Rena. Rena menggosok hidungnya sembari cemberut.
Rena memarahi Vina yang sangat suka sekali menyentuh hidungnya. Vina hanya membalas dengan tawa.
"Bagaimana jika kita saling menjaga mulai dari sekarang?"
"Aku akan selalu berusaha menjaga siapapun yang berharga bagiku!! Kau, Lenna, Diva, Della, dan seluruh anggota tim ini!"
Vina menjawab sambil tersenyum. Keduanya serasa memiliki saudara sekarang. Mereka telah menemukan harta yang sebenarnya, melebihi benda berharga yang dinilai paling berharga sekalipun.
...**********...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments