"HAHH....."
"HAH...."
"HAHH..."
Desahan nafas seseorang terdengar menggema. Di sebuah tempat yang begitu gelap, nampak seorang pria yang tengah berlari, menyusuri lorong panjang yang seperti tiada ujungnya. Nafas itu begitu tersengal yang terus diatur walau lelah. Sekilas wajah itu terkena silau cahaya, ternyata pria yang tengah berlari itu adalah Charlie.
"RAWWRR...!!!"
"GRRRAAA...!!''
Teriakan ratusan Reyns yang berusaha mengejar Charlie saling bersahutan dari belakang. Membuat Charlie semakin menambah kecepatan larinya walau sudah di ambang batas.
Setitik cahaya tampak menyilaukan mata, harapan kembali muncul di benaknya,
"Aku harus menggapainya!!"
Charlie kembali mempercepat langkahnya. Berusaha terus dan terus menggapai cahaya itu.
"GRRRAA!!!!"
Rombongan Reyns semakin mendekat. Hanya berjarak beberapa meter darinya.
"Come on Charlie!! You can!" Charlie berusaha meyakinkan dirinya.
Kini jaraknya dengan para reyns hanya beberapa inchi saja. Charlie sangat panik dan terus berusaha menggapai cahaya putih yang kini tampak seperti sebuah bibir pintu terbuka. Saat telah berada di ujung sana, ia memilih untuk membuang dirinya.
"hiyyyaaatt...."
BRUKKH..!!!
Charlie terjatuh di lantai yang sangat putih berkilau. Charlie melirik sejenak ke belakang. Tampak Para Reyns itu lenyap seperti debu. Meninggalkan abu hitam layaknya sebuah benda terbakar
Blammm!!!
Pintu itu tertutup seketika. Charlie tak menghiraukannya lagi. Ia tampak lelah dan memilih berbaring untuk beberapa saat.
"Charlie..."
Terdengar seseorang memanggil namanya. suara itu terdengar berat dan berwibawa. Nampaknya ia mengenal suara itu.
Charlie yang mendengarnya sontak membuka mata, mencari sumber suara dari mana sekiranya itu berasal. Terlihat seorang pria paruh baya yang sangat dikenal olehnya telah berdiri tepat di hadapannya. Raut wajahnya begitu tenang, seakan tanpa beban sama sekali.
"Ayah?"
Charlie menatap pria itu lekat, Dokter Charlos. Pria itu tersenyum tenang memperhatikan gelagat anaknya yang terheran.
"Kau sudah dewasa sekarang, apakah kau merindukan ayah?"
"Selalu ayah!!!" Charlie menjawab mantap. Ia menahan air mata yang hendak jatuh di pipi.
"Ayah tau, kau adalah anak yang hebat. Kau pasti bisa melewati semuanya sendiri. Jagalah yang ayah titipkan dan pergunakanlah dengan sebaik mungkin! Ayah tetap merindukanmu walau jauh." Pesan sang Ayah sembari menyentuh dahi anaknya itu. Sedikit demi sedikit tubuh ayahnya lenyap bagaikan pasir putih yang melayang.
"Ayah??? Kenapa ini?" Tanya Charlie panik.
"Kau anak hebat Charlie, Ayah tak bisa membantumu melewatinya. Waktu ayah sudah habis. Sekarang gantikanlah peran ayah dan jadilah lebih hebat dari ayah!" Tubuh Dokter Charlos perlahan menghilang dan hanya meninggalkan sebuah kalung. Charlie berusaha cepat untuk menggapai kalung tersebut.
Saat tangannya baru saja menyentuh batu liontin kalung, Ia serasa tersedot dari arah belakang. Bayangan hitam menariknya dan... 'gelap'.
"Huaa!!!"
Charlie terbangun dari tidurnya dalam posisi duduk. Ia tampak mengatur nafasnya. Air matanya sedikit merembes di pipi. Ia mengusap air mata dan meraih kaca mata yang selalu digunakannya setiap saat. "Apakah aku bermimpi?" gumamnya.
Charlie duduk dengan membenarkan posisin. Ia merenung sejenak dengan ingatan yang masih mengarah pada bunga tidur yang menurutnya cukup aneh.
"Ayah, apa maksud dari mimpi tadi? Aku bahkan tidak mengerti apa yang telah engkau sampaikan. Dan ini....., kenapa ikut muncul di dalam mimpi?"
Charlie memegang sebuah kalung dengan batu liontin hitam pekat menghiasi. Perasaan Charlie campur aduk, ia tak tahu apa yang tengah dirasakannya saat ini. Apakah mimpi semalam hanya sebuah mimpi atau ada maksud lain. Namun yang jelas hatinya yakin bahwa mimpi semalam merupakan sebuah petanda.
"Aku akan memikirkannya nanti." Charlie bangkit melangkah menuju jendela. Diperhatikannya sinar surya yang mulai terang di balik tirai.
Matahari tampak cerah dari arah Timur. Menyapa ramah para penghuni dunia seakan tak tahu apa yang sedang terjadi di dalamnya. Keadaan sangat kacau. Hampir setiap sisinya dikuasai oleh sejenis makhluk ganas bernama Reyns. Hanya dalam waktu 1 hari keadaan kota sudah seperti ini, terlihat hancur. Asap hitam di mana-mana, juga setiap bangunan terdapat bercak darah di lantai maupun tembok. Hanya sedikit yang masih selamat dari bencana ini. Mau tidak mau mereka harus menjadi penyintas yang berusaha mempertahankan hidupnya.
Charlie menyingkap semua tirai jendela. ia membangunkan Kean dan yang lain. Mereka harus bergegas menuju kelas sekarang juga. Setelah tidak pulang semalaman tentunya mereka membuat cemas rekan wanita yang ditinggal.
Hanya perlu beberapa menit saja untuk persiapan, setelah semuanya telah siap, mereka segera pergi untuk kembali. Kean memilih jalan melewati tangga karena ia rasa jalan di sana telah aman. Para Reyns di lantai 3 telah berkumpul di tempat mereka terjebak kemarin. Ternyata pristiwa itu sedikit menguntungkan bagi mereka.
,,,,,,,,,,,,,,
Di kelas, Lenna terus memperhatikan Vina, Diva, dan Rena yang sedang membersihkan lantai. Ia sangat ingin membantu temannya namun tubuhnya terasa malas digerakkan. Melihat itu, Vina seakan mengerti. Ia kemudian mencegah Lenna untuk bangkit.
"Tak perlu, biar kami yang mengerjakannya. Ini juga sudah hampir kelar." ujarnya diselingi senyum manis Vina.
"eeee.... Maaf!" Lenna tampak malu. Ia malah asik melihat temannya yang sedang bekerja tanpa berbuat apapun.
Di jendela sudut ruangan, Diva dan Laura tampak asik dengan pemandangan matahari dari dalam. Mereka sedang menikmati hangatnya terpaan sang surya si balik pembatas yang hanya berupa kaca.
"Hahhhhh..... Biasanya aku menikmati kehangatan ini bersama dengan keluarga. Sayangnya mereka tak dapat dihubungi dan tak tahu nasib mereka bagaimana sekarang."
Laura berkata dengan nada santai. Ia tersenyum sambil terus memandangi langit. Della tahu persis di balik senyumnya, Laura tengah menyimpan kesedihan bercampur cemas.
Telapak tangan Della mendarat di pundak Laura. Laura sedikit tersentak, ditolehya Della yang tersenyum padanya.
"Tenang Laura, kita akan segera pulang!"
Laura tersenyum lalu mereka berdua kembali memandang langit cerah di balik kaca. Dirinya mengangguk dengan raut wajah dibuat yakin.
,,,,,,,,,,,,,,
Tok...tok....tok.....
Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Laura yang baru saja menuntaskan makan segera berlari ke arah pintu. Lenna baru saja ingin mencegahnya namun terlambat. Ia sudah melesat jauh dan menggapai gagang pintu.
Ceklek....
Di depan pintu tampak 6 orang pria sedang berdiri membawa beberapa ransel yang terisi penuh. Mereka tersenyum melihat Laura yang menyambutnya.
"Akhirnya!!!!" ujar Laura yang langsung berhambur kepelukan Charlie. Charlie nampak oleng bahkan hampir terjatuh.
"Wow.... Nampaknya kau telah dinanti Charlie!" Rian Menggoda Charlie yang nampak kehilangan keseimbangannya. Charlie menatapnya sinis.
"puffftttt....." Kevin dan Chandra berusaha menahan tawa mereka melihat tatapan sinis dari pria berkaca mata itu. Rian pun terkekeh malu.
"Hey! Laura.... Mau sampai kapan kau siksa dia? Lihat! Sepertinya dia hampir jatuh." Kean ikut meledek Charlie dengan candaan ringannya. Namun nampaknya ucapan Kean berhasil membantu Charlie untuk terbebas dari Laura.
"Hehehe.... Maaf!" ujarnya malu sembari melepaskan pelukannya. Melihat tingkah mereka berdua membuat semuanya tertawa. Kadang kecemasan Laura yang berlebih membuat Charlie harus menahan malu di depan teman-teman.
"Hufftttt syukurlah..." Lenna menghela nafasnya. yang dikhawatirkan Lenna ternyata tidak terjadi. Untungnya yang datang benar-benar mereka, bukan makhluk yang sedang kelaparan atau orang serakah selain mereka. Dalam keadaan seperti ini segala kemungkinan bisa terjadi.
"Kalian makanlah dulu! sudah kusiapkan beberapa beberapa potong roti dan bungkusan snack. Tapi sebelum itu bersihkan tubuh kalian lebih dulu!" Della mengingatkan.
"Siap ketua! Kami segera laksanakan!" Rian menanggapinya dengan memberi hormat dan berlalu untuk mengganti pakaian. Lagi-lagi tingkah konyol Rian membuat mereka tertawa. Rian memang terkenal humoris dan suka becanda. Di saat-saat tegang sekalipun ia masih bisa mencairkan suasana. Sifatnya yang ramah membuatnya memiliki banyak teman. Berbanding terbalik dengan Charlie yang dingin dan tak diketahui identitas aslinya. Ia sangat pandai menutup diri.
"Apa rencanamu kali ini Kean?" tanya Lenna yang duduk menemani Kean yang sedang makan. Gadis itu seperti sudah mempercayai Kean sebagai pemimpin.
"Aku tak tahu ini ide baik atau bukan, tapi sepertinya kita harus pindah dari kelas ini. Di sini tidak ada kompor atau alat lain yang digunakan untuk memasak, Juga jaraknya dengan lantai 2 terlalu dekat. Pastinya lambat laun mereka akan naik ke lantai atas dan mencari makanan. Aku hanya mengantisipasi kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi." Jawab Kean. Diraihnya botol minuman yang ia bawa dalam tas. Lenna mengangguk paham.
"Kita kumpulkan teman-teman sekarang!" Lenna segera beranjak memanggil semua yang ada di sana.
Setelah semuanya berkumpul, mereka mendengar pengarahan dari Kean. Kean memutuskan untuk pindah ke ruangan lain yang lebih nyaman dan lebih aman tentunya. Mereka tampak setuju dengan keputusannya. Untuk saat ini mereka belum bisa mengambil resiko pindah keluar sekolah. Di luar sangat berbahaya, mereka harus melengkapi persenjataan dan perbekalan terlebih dahulu. Apalagi kemampuan bertempur mereka yang masih minim tak akan mampu bila harus bertahan hidup di luar.
"Baiklah, kapan kita berangkat?" Lenna angkat bicara.
"Kalau tengah hari bagaimana? Apakah kalian setuju?"
Lenna mengangguk, lalu ia melirik pada kawan-kawannya yang lain.
"Benar! Lebih cepat kita pindah akan lebih baik juga." Ujar Charlie. Mereka akhirnya setuju untuk pergi pada siang hari.
**********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments