❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
" Dewa." Suara serak itu memanggil lembut.
Bhumi mengedarkan pandangannya hingga menangkap sosok pria paruh baya yang berdiri dengan penampilan formal mewahnya.
Wajah itu, tidak asing baginya meski sudah lama dia tidak melihatnya, atau lebih tepatnya dia tidak ingin melihatnya.
Pria itu adalah orang yang paling Bhumi benci, ingatannya kembali ke 17 tahun yang lalu ketika dia pergi dengan membawa sejuta luka baginya dan ibu.
Genggaman tangan Bhumi pada tangan Shavara mengerat kuat yang membuat Shavara meringis walau tidak sampai berteriak.
Suara panggilan berat itu menghentikan langkah Bian yang hendak menyuguhkan pesanan Bhumi dan Shavara, ia tahu suara siap itu.
Melihat Dewa yang mematung diam, dengan raut tegang membuat atmosfer sekitar menanjak panas. para muridnya saling lirik karena bingung.
" Dewa, ini papa. Nak." Seru suara berat yang bergetar itu.
Perasaannya tercubit saat melihat tatapan benci dari putranya.
" Pergi, bapak saya telah lama meninggal." Suara yang biasa hangat berubah dingin dari Dewa saat menjawab panggilan itu mengagetkan Shavara dan yang lain.
" Dewa, maafkan papa. Papa tahu, papa bersalah, tapi ini sudah berlangsung lama, tidak bisakah kita berdamai?" Edo memohon teramat sangat. Ia melangkah mendekat.
Bhumi mengeraskan rahangnya, ia menatap tajam pria tersebut.
" Enak banget ba-cot Lo ngomong damai, Lo gak Inget 17 tahun yang lalu lo gak ngakuin adik gue sebagai anak Lo, Lo nuduh ibu selingkuh, tapi Lo yang selingkuh, anjir. Dia hasil perbuatan haram Lo." Murkanya sambil menunjuk pada Bian yang masih berdiri di tempatnya.
Shavara terjengkit kaget akan bahas kasar dan bentakan keras Bhumi pada pria yang meringis sendu sementara para muridnya terkejut bukan main, mereka menatap nanar buan yang mematung di tempat.
Para sahabat dan teman sekelasnya menatap silih berganti antara Bian dan Bhumi, dengan tatapan mata mereka bertanya-tanya.
" Dewa, ayah akan mengakui Senja sebagai anak ayah asal kamu memaafkan ayah." Edo berjalan lebih mendekat ke angkringan itu.
" Dia memang anak Lo ba-jingan." Hardik Bhumi, saking marahnya Bhumi sampai berdiri sebagai upaya penolakan yang menghentikan langkah Edo.
" Lo lihat sekali saja anak itu, Lo bakal tahu kalau dia anak Lo, tapi apa, Lo gak pernah mau nengokin dia barang sekali pun. Dia sering di-bully gak punya ayah karena ayahnya gak pernah nunjukin diri, gue yang selalu dampingi ibu setiap kali ada urusan di sekolah, GUE! Lo kemana, hah?" Bentak Dewa, pengunjung yang ada memperhatikan mereka.
Amarah Dewa sungguh menakutkan, bahkan Shavara sampai tidak mampu bergerak di tempat. Ia sebenarnya ketakutan, tapi tidak mungkin dia pergi.
" pergi Lo. Dulu gue diem ngelihat tingkah bang-sat Lo, tapi sekarang bakal habis di tangan gue kalau Lo mencoba mengusik keluarga gue."
Bhumi berjalan mengenakan sepatunya dengan asal, kemudian pergi dari sana meninggalkan Shavara, Shavara yang sadar dirinya ditinggal, segera menyusul.
" Maaf, kami pergi dulu. Bayarnya nanti ya."
Para pemuda itu otomatis mengangguk. Shavara sedikit membungkuk hormat pada Edo sebelum pergi menyusul Bhumi.
Edo memandangi punggung lebar yang semakin menjauh dengan luruhan tetesan airmata.
Bian yang tidak tega melihatnya ayahnya menangis menghampirinya." Pa, mending pulang. Udah malam juga."
Edo menatap sendu putranya." Bi, kakak kamu marah."
" Pastinya, gak gini caranya kalau papa mau ngedeketin bang Dewa."
" Papa hanya rindu padanya."
Bian tertegun, ia menatap dalam Edo." Tapi bang Dewa lebih marah."
" Bi..."
" Lebih baik papa pulang, bilang sama mama, malam ini aku gak pulang. Perasaan aku lagi gak santai."
Edo mengangguk, ia memeluk dan mencium kening Bian sebelum meninggalkan angkringan tersebut.
Kala Bian berbalik, ia menghadapi para teman sekelasnya yang menatapnya dengan pertanyaan penasaran.
Bian membuang napas berat, " gue terangin apa hubungan gue sama pak Dewa."
" Harus itu " celetuk teman sekelasnya.
" Anjir,...woy buka wa group. rame ni si Adit masuk pemberitaan dan viral di twit." seru teman yang lain.
^^^^^^^
Saat Bhumi sampai di parkiran, dan hendak mengenakan helm, dari arah belakang sepasang tangan lentik mengalung pinggangnya dan membawanya ke dalam dekapan tubuh mungilnya itu hingga menghentikan niat Bhumi mengenakan helmnya, dia kembali menaruh helm di kaca spion.
" Mau ninggalin aku?" Kata Shavara lembut, wajahnya ditempelkan di bahu Bhumi.
Bhumi menggenggam tangan yang melingkari pinggangnya. Ia menunduk menatap tangan putih yang kontras dengan kulit coklat miliknya sambil diusap jarinya.
" Aku lagi bad mood." Kata Bhumi.
" Dan gak mungkin aku ninggalin kamu, kayak kamu yang gak ninggalin aku dalam kondisi buruk seperti hari ini."
" Aku...ingi menenangkan diri."
" Aku ikut, gak bakalan ganggu healing kamu" Ucap shavara berani.
" Shava..." Bhumi terdengar seperti keberatan.
" Aku bener-bener dalam kondisi gak banget, Shava." Bhumi memohon pengertiannya.
" Jadi kamu mau ninggalin aku." Ada secercah rasa kecewa dalam diri Shavara karena Bhumi tidak cukup mempercayainya.
Tidak ada obrolan lagi diantara keduanya Shavara mengendurkan ikatan tangannya di pinggang Bhumi, perlahan-lahan menariknya, namun Bhumi tahan.
" Ayok, ikut aku." Bhumi memilih mengalah. Setelah mempertimbangkan Bhum berpikir mungkin inilah saatnya Shavara melihat sisi jelek darinya, meski menurutnya ini terlalu dini.
Shavara tidak tahu akan dibawa kemana oleh Bhumi, ia hanya menempelkan erat dirinya pada Bhumi yang tengah mengebut dengan motor RX king-nya. Saking kencangnya laju motor itu, rambut panjang Shavara berkibar-kibar disapu angin.
Cengkeraman kuat di pinggangnya dari tangan mungil itu tidak Bhumi hiraukan, ia hanya ingin menyalurkan emosinya.
Satu jam Bhumi membawa shavara kebut-kebutan, dia sangat tahu jalan yang sepi pengendara, aksinya berkahir di gedung apartment.
Bhumi memarkirkan motornya, saat turun dari motor Bhumi menatap shavara sekejap barulah menolongnya menuruni motor, dalam genggamannya Bhumi merasakan tangan Shavara gemetaran Bhumi menarik Shavara agar mengikutinya.
Langkah Shavara sedikit berlari bahkan terhuyung karena berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkah besar Bhumi
Dalam lift keduanya pun diam, Bhumi masih dengan emosi dan seribu pemikirannya, di belakangnya Shavara memperhatikan raut tenang yang siap meledak.
Saat pintu unit dibuka barulah Bhumi melepas genggamannya ia langsung menuju satu kamar dan langsung menguncinya meninggalkan Shavara di depan pintu.
Menghembuskan napas berat Shavara berjalan gontai ke ruang tamu, ia duduk di sofa panjang, memandangi pintu berwarna coklat saat mendengar suara pukulan dan tendangan disertai teriakan kesakitan yang mengiris hati.
Dalam kamar Bhumi berjalan langsung menuju samsaknya ia terus memukul, dan menendang kuat samsak tersebut seakan itu adalah ayahnya.
Ia mengutuk otaknya yang masih mengingat kejadian 17 tahun lampau, teriakan ibunya, dan seringai culas dari wanita yang lebih muda dari ibunya.
Tidak puas menghajar samsak ia pun nekat mem-ukul dinding berulang kali.
" Aaaarrgggg......" pekiknya keras-keras sekuat tenaga. bayangan terluka ibunya menyesakan bathinnya.
Shavara memilin-milin tangan tanpa semangat ingatannya bergulir pada kejadian tadi dimana Bhumi menunjukan kemurkaan berbanding terbalik dengan raut Bhumi yang biasanya hangat dan kalem.
Shavara melihat jam tangannya, perutnya sudah mulai perih karena ia punya maag, sudah berlangsung 46 menit belum ada tanda-tanda Bhumi keluar dari kamar.
Daripada maag-nya kumat ia nekat menuju dapur, namun saat kakinya menginjak lantai dapur Shavara menepuk jidat karena lupa menelpon orang rumah. Ia pun kembali ke ruang tamu dimana tasnya berada.
Menelpon ibunya tidak diangkat, begitu juga ayahnya. Tidak berani menelpon Aditya, Shavara memilih menelpon kakaknya kalau malam ini kemungkinan dia tidak pulang.
" Hallo, A." Sambungan itu dijawab pada deringan kedua. Sepertinya kakaknya sangat mengkhawatirkannya.
" Kamu dimana, ini udah malam kok belum pulang?" Todong Wisnu langsung
Shavara yang gugup berbicara langsung." A, kayaknya malam ini Vara agak pulang, kak Bhumi lagi gak baik-baik aja. Untuk penjelasan lebih lanjut begitu aku pulang, aku bakal cerita."
" Kamu sekarang dimana?"
" Dia apartemen, tapi gak tahu daerah mana. Udah ya aku tutup."
Klik...
Shavara mematikan daya ponselnya dan kembali ke dapur. Ia takut kakaknya menelpon balik dan bertanya lebih lanjut yang dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Ia membuka satu persatu rak, Shavara menemukan mie instan dalam berbagai varian merek dan minuman coklat dan kopi sachets. Di kulkas, ia menemukan telor, susu uht full cream, beberapa slice pizza dalam kotaknya, sosis, nugget, bolu, beberapa sayuran, dan beberapa roti.
" Lumayan doyan makan penghuninya." Gumam Shavara.
Pertama dia Keluarkan susu, dan coklat sachet untuk menghangatkan perut dia akan membuat coklat panas.
Dilanjut menghangatkan dua potong pizza, roti, dan bolu dalam microwave, lalu memasak dua porsi mie goreng bersama sosis, dan sayuran yang ada, dan menggoreng nugget.
Setelah semuanya matang, ia menaruh semua menu itu di atas meja makan. Shavara memilih makan dahulu karena Bhumi belum jua menunjukan dirinya sedangkan perutnya mendesak diisi.
Keadaan Shavara sudah kondusif, ia duduk termenung sendiri sambil mengetuk-ngetuk cangkir berisi coklat panasnya di ruang tamu dengan cahaya temaram dari lampu di atas nakas.
" Huh, ngantuk tapi gak berani tidur. Pengen minum kopi tapi gak berani. Ish..." Dia greget sendiri.
Ceklek....
Shavara langsung duduk menegak mendengar kenop pintu diputar.
Bhumi keluar dengan pandangan kosong, tampang berantakan, badannya hanya dibalut kaos oblong dengan celana yang terdapat bercak darah, Shavara melirik ke tangan yang ternyata berdarah.
Shavara bergegas menghampirinya, merasakan sentuhan di tangannya Bhumi mengerjap seakan baru ditarik dari dimensi lain.
Ia tertegun, " Shava...sayang..." Erangnya bersuara berat sembari membawa shavara ke dalam pelukannya.
Pelukan itu berlangsung lama dan sangat kuat, seakan Bhumi tidak bisa hidup tanpa Shavara. Shavara ingin protes namun tidak berani.
Sedikit mengurai pelukan, kemudian Bhumi mengecup kening Shavara dalam dan lama ia menghirup energi positif yang sangat dia butuhkan sebanyak-banyaknya.
Bhumi menjauhkan diri dan menatap dalam shavara yang diam," maaf..tapi aku membutuhkannya."
" Ap...hmmpt...."
Bhumi menci-um dan ******* kasar bibir ranum gadisnya, ia kembali membawa Shavara kedalam dekapannya yang mengukung sepenuhnya tubuh Shavara.
Ciuman itu tidak berlangsung lama namun cukup membuat kedua bibir mereka kebas karena pagutannya yang keras.
Bhumi mengusap bibir bawah yang basah itu, tiba-tiba dia menjatuhkan kepalanya di bahu Shavara. Shavara sedikit oleng kehilangan pijakan karena gerakan tiba-tiba itu namun segera ia memposisikan diri.
Tangan mungil itu mengulur untuk mengusap punggung Kokoh tersebut.
" Aku gak akan nuntut kamu cerita, tapi apapun yang terjadi ingat kamu tidak sendiri." Ucap shavara, Bhumi mengangguk.
" Kita obati luka kamu dulu yuk." Bukannya mengiyakan ajakan Shavara Bhumi malah menggeleng, menenggelamkan kepalanya dalam ceruk leher putih mulus tersebut.
Bhumi menghisap wangi beraroma lembut itu, ia menarik pinggang shavara agar lebih menempel padanya.
" Aku janji kita pelukan lagi kalau tangan kamu sudah diobati. Aku pegel ini." Shavara mengelus rambutnya.
Mau tidak mau Bhumi menjauhkan diri." Beneran kamu gak nuntut cerita?"
Shavara menarik Bhumi ke rumah tamu, sedikit menoleh ke belakang. " Kamu mau cerita?"
Bhumi menghela napas berat," entahlah ini sangat memalukan."
" Biar kita nilai nanti. Tentu kalau kamu sudah siap bercerita."
Bhumi duduk di sofa tempat Shavara semula duduk, sedangkan Shavara duduk di karpet diantara Bhumi dan meja yang sudah tersedia baskom berisi air hangat yang asalnya panas bersama saputangannya dan kotak P3K.
" Kamu udah prepare." Ucapnya sambil tersenyum kecil. Tidak dipungkiri ia merasa terharu.
" Iya, kamu lama di dalem aku gabut jadi ya....gitu deh." Shavara membilas saputangan itu.
" Tahu darimana aku bakal terluka?"
" Aku dengar dengan jelas kamu nendang dan mukul." Shavara mengambil satu tangan besar itu, buku jarinya masih mengeluarkan sedikit darah.
Bhumi tertegun," kok bisa?" Kagetnya.
" Bisa, pendengaran aku masih normal."
Bhumi menggeleng kecil," bukan itu, tapi...ish pasti peredam suaranya dinonaktifkan sama Elang." Bhumi sedikit mengernyit karena perih di lukanya.
" Kok bang Elang yang disalahin. Emang ini apart siapa?" Shavara dengan telaten membersihkan luka tersebut.
" Aku, tapi keseringan dia yang make buat menghindari ceramah ibunya yang terus mendesak dia serius pacaran."
Shavara mengangguk," bang Elang sok kegantengan khas fuckboy." Cibir Shavara.
" Kamu gak suka dia? Dia memang ganteng."
" Iya, tapi memanfaatkan kegantengannya itu yang bikin ilfeel. Dulu waktu masih kuliah, bang Elang sering main ke rumah banyak teman aku tumbang karena tebar pesonanya."
" Bhumi terkekeh, "khas dia banget."
" Tapi kok aku gak pernah lihat kak Bhumi main ke rumah?"
" Emang hampir gak pernah main Aku sama Wisnu waktu kuliah cuma ngurusin soal naik gunung aja."
" Oooh iya, aku ingat. Itu hobby yang bikin Mama gak suka."
" Kenapa?"
" Ya takut ada apa-apalah. Makanya kalau Aa Wisnu gak nelpon kita yang di rumah yang kena omel mama. Sebel." Dumel Shavara mengingat kebiasaan mamanya kalau kakaknya itu hiking, itu sebutan baginya untuk kegiatan Wisnu saat kuliah dulu.
Selanjutnya mereka terjebak dalam keheningan, karena keduanya bukan tipikal orang yang berbasa-basi.
Bhumi memandang intens Shavara yang sedikit menunduk karena khusu mengobati lukanya sambil sesekali meniupi luka tersebut.
" Dia ayahku,..." Shavara mengangkat wajah memandang Bhumi.
" Lelaki paruh baya tadi ayah kandungku." Shavara mengangguk kecil sebagai tanggapannya.
" 17 tahun lalu dia menuduh ibuku hamil dengan pria lain yang tak lain sahabat ibuku yang biasa ku panggil Paman Fadlan, lelaki yang ku kenal baik kerena sering meluangkan waktu menghibur ibuku dikala ayahku marah tanpa sebab. Aku tahu itu karena setia kali ibuku menemuinya selalu bersamaku."
" Mereka selalu bertemu di tempat terbuka, ayahku beberapa kali mengha-jar pria baik itu yang ku tahu sekarang karena cemburu."
" Dia memaksa paman itu untuk pergi dari ibuku, dan beliau bersedia dengan syarat ayahku tidak menyakiti ibuku."
" Janji tinggal janji, ayahku mengingkarinya, hampir setiap hari ayahku marah dan menghardik ibuku, tidak jarang itu karena hal sepele, sejak dia tahu ibuku hamil adikku kekerasan fisik mulai diberikan pada ibuku.
" Dia menuduh ibuku berselingkuh dan berzina dan menyebut ibuku jalank, sundal, dan panggilan kasar lainnya. Ironinya tiga bulan kemudian seorang wanita muda datang dengan perut besarnya mengaku mengandung anak dari pria bang-sat itu." Ucapnya menggebu penuh amarah.
" Aku mem-ukul wanita yang bangga dengan hasil zina-nya itu hingga pelipisnya berdarah kebetulan ayahku pulang wanita itu merengek mengadu dengan mengatakan ibuku yang melakukannya.
" Bukannya malu atau mengelak perselingkuhannya terbongkar, dia malah menampar bolak-balik pipi ibu dengan keras tanpa menghiraukan teriakan ibu yang memohon ampunan padanya. Tamparan itu berhenti saat aku mengha-ntam vas bunga besar mengenai kepalanya hingga kepalanya bocor berdarah.
" Wanita yang belakangan ku tahu adalah sekretarisnya menjerit ketakutan. Disaat lelaki itu menjerit kesakitan aku mengambil kesempatan menampar wanita itu sambil mencengkram perut besarnya. Aku menghujatnya sebagaimana lelaki tua itu menghina ibuku.
" Tangan kecil dari anak berusia 10 tahun itu dengan gagah menyeret wanita itu ke teras, bahkan aku melempar tas mahalnya tepat ke mukanya, di sana aku mengancam akan membv-nvh dia dan bayinya jika berani mendatangi rumah ini lagi."
" Setelah selesai memberesi wanita itu aku langsung menangani pria tua yang masih berteriak kesakitan dibarengi sumpah serapahnya pada ibuku yang gagal mendidik ku. dia sungguh tida ia pada keadaan ibu yang syok duduk di pojokan sembilan menangis. hari itu sangat kacau."
" Mendengar perkataannya, aku yang tengah mendalami pencak silat langsung mengha-jar wajahnya lalu mengusirnya, bahkan dikemudian hari dibantu temanku, aku membawa semua pakaiannya ke perusahaannya dan dengan lantang mengumumkan perselingkuhan CEO dengan sekretarisnya ke seluruh pegawainya.
" Ayahku marah tentu saja, tapi dia sadar kebencian ku padanya yang teramat besar membungkam mulutnya. Bagaimanapun sebelumnya kami begitu dekat, saking dekatnya aku sering membanggakannya dia depan teman-teman ku sebagai orang yang hebat."
" Perselingkuhan itu bukan saja menghancurkan ibuku, tapi memporak-porandakan jiwa anak kecil yang berusia 10 tahun." Ucap Bhumi dengan suara bergetar, ia mengusap airmatanya yang sudah tidak terhitung berapa banyak yang terbuang selama dirinya bercerita.
" Ketika ibu melahirkan, ibu langsung menggugat cerai dia, lelaki itu berusaha mengambil hak wali atas diriku dengan alibi bahwa ibuku bukanlah wanita baik-baik karena hamil diluar nikah, aku marah. Di pengadilan aku memohon pada hakim untuk membiarkan ibuku yang menjadi waliku. Ku bongkar semua yang terjadi selama ini. Dia kaget, dia pikir aku akan membelanya, pemikiran bodoh.
" Syukurnya hakim memutuskan ibuku menjadi waliku dengan dia diperbolehkan bertemu dengan ku yang tidak pernah sudi aku lakukan. Pernah sekali aku menemuinya, namun aku bertemu wanita itu, wanita yang sudah dia nikahi itu menghardik, dan aku mengambil tas mahalnya yang ku jual pada ibu Adnan." Kekehnya hambar diakhir kata.
" Aku sangat membencinya, aku juga benci wanita penggoda. aku benci wanita yang menyodorkan diri pada lelaki." ucap Bhumi dingin.
Bhumi mengelus lembut pipi Shavara, " Apa kamu mengasihani aku?" Tanya Bhumi dengan tatapan sendunya.
Shavara menggeleng. " Gak ada yang patut dikasihani."
" Ini semua memalukan."
" Aku pernah menelantarkan kuliahku hingga nilaiku jeblog, Aa Wisnu marah, begitupun yang lain. bahkan aku pernah cuti selama di semester hanya untuk membantu Aryo membangun bisnisnya. mana yang lebih memalukan?" tanya balik Shavara.
" Aku orang baik, berasal dari keluarga baik-baik, sedangkan aku anak broken home."
" Untuk anak berusia 10 tahun kamu hebat, anak kecil yang mampu membela ibunya. Aku bangga padamu." Shavara mengecup tangan yang memegang pipinya.
" Kamu gak takut dengan tempramental ku?"
" Kamu amarah, itu wajar. beliau menyakiti ibumu. Kalau di posisi itu Adit 90% pasti hasilnya akan jauh lebih mengerikan dari yang kamu lakukan. Dia mah mental premannya sudah tertanam sedari orok."
Bhumi terkekeh, ibu jarinya mengusap samping bibir Shavara." Makasih bersamaku."
" Makasih udah bercerita." ucap Shavara lembut.
Bhumi menunduk mengecup sekilas bibir indah itu, lalu sedikit mencivmnya, dilanjut **********. meras Shavara membalas luma-tannya, bumi merengkuh Shavara membawanya ke dalam pelukannya sambil merubah tubuhnya lebih menegak seraya membawa shavara bersama.
Bhumi mendudukkan Shavara di pangkuannya tanpa melepas pagutannya, ia mengelus leher dan menarik tengkuk Shavara lebih mendekat.
Tangan besar itu menekan kepala Shavara agar lebih leluasa mengeksplorasi bagian dalam mulutnya,mengelus dan meremas rambu panjang indah itu.
Shavara mengalungkan kedua tangannya di leher Bhumi, sesekali satu tangannya menjambak rambut, tangan yang lain mengelus punggung Bhumi, seirama civman yang semakin dalam dan mendesak. mereka merasakan tubuh mereka meremang hangat dengan sensasi menggelitik menginginkan lebih.
Bhumi mendorong tubuh mereka saling menempel tanpa jarak dengan bibir terus berlomba melahap satu sama lain dengan li-dah saling melilit.
" Hmmpt..hmmmmp...."
Cecapan dua bi-bir itu makin lama makin intens mata mereka terpejam sampai kepala mereka saling bergantian sisi miringnya mencari posisi nyaman dan menikmatinya hanya suara luma-tan dan lenguhan yang terdengar di sunyinya malam hingga suara lain menginterupsi.
Kryuukkk....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Pantesan banget dia nenci sama Arleta dan bu guru yg ganjen itu..
2023-04-24
0
Qaisaa Nazarudin
Bukan gitu Bara..kamu jgn ngenyel,ada saat nya seseorg itu butuh sendiri,,biarkan Bhumi jgn fanggu dulu..
2023-04-24
0
Ilham Tirta
makin kesini makin seru ceritanya thor...
2023-01-06
0