Sudah tiga hari Clarissa di rumah sakit, dan ia bersama bayinya sudah di ijinkan pulang. Setiap harinya Clarissa tak pernah mau mengurus bayi yang ia beri nama Stefani Prasetya, sesuai nama belakang Sebastian.
"Rasanya aki ingin membuang bayi cacat ini. Kenapa aku harus memiliki keturunan sepertinya!" ucap Clarissa di hadapan Raymond.
"Tenanglah sayang, bagaimanapun bayi ini adalah jalan untuk kita bisa menguasai semua aset Sebastian. Cari saja perawat untuk mengurus bayi itu. Bukankah sebentar lagi lelaki lumpuh itu akan dibawa pulang Rafael. Pasti setelahnya Rafael akan sering datang ke rumah ini untuk melihat kondisi sahabatnya itu. Kita harus pandai-pandai menutupi semuanya, jangan sampai orang-orang tahu tentang hubungan kita. Biarkan saja Sebastian mengira bayi cacat ini adalah keturunannya. Bukankah kita bisa memiliki anak lagi yang lebih sempurna." jelas Raymond seraya mengecup bibir Clarissa.
"Aah sayang sudahlah jangan lanjutkan tangan nakalmu itu. Kita belum bisa melakukan permainan panas ini, aku kan belum lama melahirkan. Dan lihatlah bayi cacat itu menangis terus membuatku stres saja."
Clarissa berteriak memanggil Mbok Itoh, ia meminta perempuan tua itu untuk menyiapkan kamar lain di lantai atas. Karena sebentar lagi Rafael akan membawa pulang Sebastian, dan ia pasti akan menempati kamar utama. Sedangkan Clarissa tak mau lagi berada di kamar yang sama dengan Sebastian.
"Sekarang pekerjaan mu akan bertambah dengan mengurusi lelaki lumpuh itu. Saya akan tidur di kamar atas bersama Raymond. Dan untuk beberapa hari ke depan, Mbok Itoh harus mengurus Stefani juga. Saya jijik melihat wajah bayi itu." kata Clarissa berdecih lalu berjalan pergi meninggalkan bayinya di ranjang.
"Astaghfirullah." gumam Mbok Itoh dengan menggelengkan kepalanya.
Mbok Itoh terpaksa membersihkan kamar dengan menggendong bayi itu. Terkadang Stefani akan sedikit rewel dan menangis, karena mungkin ia haus dan membutuhkan asi dari ibunya. Karena tak tega, Mbok Itoh memberanikan diri berbicara pada Clarissa untuk menyusui Stefani.
"Nyah, Stefani terus menangis dan tidak mau diam. Sepertinya ia haus Nyah, tolong berikan dia asi sebentar saja. Setelah itu saya akan menidurkan nya."
"Beraninya kau memerintah ku! berikan saja dia susu formula, aku tak sudi memberikan asi padanya."
Nampak Raymond juga tak perduli dengan darah dagingnya sendiri. Ia tersenyum melalui sudut bibirnya lalu meminta Mbok Itoh membuatkan nya makanan.
"Lebih baik kau siapkan makan untuk kami berdua. Jika lelah menangis, bayi itu pasti akan diam dengan sendirinya. Letakkan saja dia bok bayi!" seru Raymond acuh.
Mbok Itoh hanya bisa menghembuskan nafas panjang seraya melangkah pergi. Ia menyiapkan makanan dengan sesekali melihat Stefani di bok bayi. Bayi itu mulai terlelap setelah lelah menangis dan diberikan susu formula. Meski Mbok Itoh sudah menduga, jika bayi itu bukanlah darah daging Tuanya, ia tak akan tega melihat bayi tak berdosa itu di sia-siakan. Perempuan tua itu pontang panting membereskan semua pekerjaan rumah dan mengurus bayi itu.
Tak lama terdengar suara bel pintu berbunyi, dengan tergopoh-gopoh Mbok Itoh bergegas membuka pintu. Ia meneteskan air mata begitu tahu yang datang adalah Sebastian. Ia duduk di atas kursi roda tanpa ekspresi apa-apa di raut wajahnya. Clarissa yang menyadari kedatangan Rafael yang membawa Sebastian segera berakting sedih. Ia berlari memeluk Sebastian yang hanya diam di atas kursi rodanya.
"Perkenalkan, ini Suster Nandini yang akan membantu mengurus Sebastian. Ia hanya akan bekerja delapan jam dalam sehari, dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Waktunya istirahat siang hanya satu jam, karena itulah ia akan pulang jam lima sore. Setelah itu lu bisa mengurus Sebastian sendiri. Gue akan bantu lu ngurus bisnis Tian, tapi lu juga harus turun tangan langsung."
Nandini berjabat tangan dengan Clarissa, mereka saling berkenalan satu sama lain. Nampak Raymond memandang Nandini dengan sorot mata tertarik. Melihat tubuh molek dan wajah cantik perawat itu, Raymond jadi membayangkan sesuatu yang membuat darahnya berdesir. Seakan menyadari gelagat mata keranjang Raymond, Clarissa jadi kesal lalu menghempaskan tangan Nandini begitu saja.
"Tapi Fa, kalau gue ikut turun tangan mengurus bisnis Mas Tian. Siapa yang akan mengurus Stefani di rumah, gak mungkin kan Mbok Itoh mengurus rumah sekaligus menjaga Stefani? ia sudah tua, kasihan kalau banyak diberikan tanggung jawab."
"Bukankah Raymond itu multifungsi? jika ia sedang tak bertugas menjadi supir, minta ia membantu mengurus pekerjaan rumah. Karena gak mungkin Mbok Itoh bisa mengurus semuanya sendiri. Atau kalau dia gak bisa bantu beresin rumah, ya setidaknya dia bisa membantu mengurus Stefani."
"Tapi kan kita bisa membayar baby sitter Fa? bukannya lu udah atur jadwal supaya Stefani segera di operasi?"
"Karena itulah Risa, gue gak mau lu ngehamburin uang begitu aja. Kondisi keuangan kalian sedang gak baik-baik aja, kita harus pandai-pandai mengatur keuangan. Biaya pengobatan Sebastian gak sedikit, belum lagi biaya operasi Stefani. Dan kebutuhan kalian yang lainnya, atau lu gak usah pakai supir lagi aja. Toh lu udah bisa kemana-mana sendiri, dan itu akan menghemat biaya kalian."
Degh.
Clarissa terkejut lalu memandang Raymond yang hanya diam mendengar perkataan Rafael. Dengan tegas Clarissa menolak, karena ia beralasan masih membutuhkan tenaga Raymond. Karena banyak urusan rumah yang tak bisa di urus Mbok Itoh.
"Udah gue duga Clarissa akan menolak usulan ini. Gue sengaja ngomong gini buat ngelihat reaksinya. Sayangnya gue gak punya bukti apa-apa buat nuduh Clarissa." batin Rafael di dalam hatinya.
Nampak Sebastian meneteskan air mata, ia hanya bisa mengedipkan kelopak matanya. Tak ada yang tahu apa yang dirasakan Sebastian saat ini. Dengan cepat Nandini mengambil tisu lalu menyeka air matanya.
"Maaf tolong jangan berdebat di depan Pak Tian. Meski beliau tak bisa mengatakan apa-apa, ia bisa mendengar dan mengerti pembicaraan kita semua. Dengan memperdebatkan masalah seperti ini di hadapannya hanya akan menambah beban pikiran nya saja." jelas Nandini dengan sopan.
"Maaf bro, gue gak maksud buat lu kepikiran. Mulai sekarang lu tenang aja, masalah keluarga lu biar gue yang urus. Lu percaya sama gue kan." ucap Rafael menepuk pundak Sebastian.
Tak ada tanggapan apapun dari Tian, dan Rafael hanya bisa menundukan kepala nya. Merasa berat melihat sahabatnya jadi lumpuh seperti itu.
"Risa lu tunjukin dimana kamar kalian, biar Suster Nandini yang akan mengurus Sebastian."
Clarissa mendorong kursi roda Sebastian dengan berpura-pura sedih. Ia menunjukan ruang istirahat yang bisa digunakan Nandini, letaknya ada di samping kamar utama.
"Kalau Suster butuh apa-apa bilang saja pada Mbok Itoh, kamarnya ada di belakang dapur. Saya harus mengurus sesuatu dulu, permisi."
Clarissa mendatangi Rafael, ia masih melihat kondisi Stefani. Bayi mungil kedua sahabatnya, yang terlihat lesu.
"Kenapa Stefani minum susu dari botol ini, apa lu tetep gak mau kasih dia asi?"
Pertanyaan Rafael membuatnya canggung, entah kenapa Rafael terlalu ikut campur dalam hidupnya. Dengan kasar Clarissa membentak Rafael, dan memintanya tak terlalu ikut campur dalam kehidupan nya.
...Bersambung....
Hai othor punya rekomendasi novel yang bagus buat kalian loh.
Duda Casanova Terjerat Cinta Gadis Bar-bar
Author: Oktavia Hamda Zakhia
Apa jadinya seorang casanova berstatus duda itu terjerat cinta pada seorang gadis bar-bar dengan potongan rambut ala mullet.
Pertemuannya itu terjadi saat ia sedang melakukan suatu hal di ruangan kerja kantor miliknya. Namun, sialnya kepergok oleh seseorang yang bekerja di kantornya.
Bahkan gadis tersebut mampu membuat putranya yang berhati dingin bisa tertawa lepas. Setelah tujuh tahun ia mengabaikannya.
Yang mana ia di hadapan kenyataan bahwa gadis yang bekerja di kantornya itu tak mudah ditaklukkan. Mengingat ia sendiri yang mendapat julukan duda casanova.
Bisakah ia mendapatkan hati dari gadis bar-bar yang telah berhasil membuat putranya tersenyum kembali.
Kisah perjalanan mereka di warnai dengan tingkah laku dari gadis bar-bar yang melekat di dalam dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments