Baru kali ini Jenna merasakan marah yang paling marah! Dia sangat tersinggung karena mendapat perlakukan kurang layak pada seorang tamu yang dilakukan pria itu. Huh!
Terutama pada wajah Marvin yang menyerupai aktor Burak Deniz itu. Mungkin agak sayang ya, kalau wajah rupawan itu tersayat karena cakaran kuku jari Jenna yang lumayan tajam. Semenjak dia bekerja dan melupakan hobi bermain basketnya, Jenna mulai membiarkan kukunya tumbuh agak panjang dan runcing.
Atau si Harimau Siberia itu perlu diberi tendangan lurusnya yang dilatih dalam taekwondo. Mungkin juga Jenna akan mendapat perlawanan, bila dia dapat menghajar si pria arogan itu! Masak sih badan sebesar itu tidak punya ilmu bela diri?
Jika perlu mereka nanti akan bertanding gaya bebas. Sebab selama bertahun- tahun, Jenna mengikuti berbagai ilmu bela diri yang disetujui Opanya. Namun belum pernah praktek langsung. Dia selalu berhati - hati dan waspada saat? menggunakan transportasi umum. Apalagi tubuhnya hanya setinggi 160 cm, dan terlihat kurus dan ringkih.
Pria arogan dan sedingin Marvin pasti akan bertekuk lutut, bila masalah ini sampai ke telinga Opa.
"Apa ada masalah, tentang pengiriman santunan itu, Nana?"
Itulah salam pagi dari dokter Arunika Fitri Jelita yang terhormat, saat bertemu Jenna di meja makan.
" Semua baik- baik aja, kok. Ma! " Ucap Jenna sambil menghabiskan sarapannya berupa setangkup roti panggang dengan olesan margarin dan selai nanas.
" Non, ini nasi gorengnya!" Ujar Bik Isah, sambil menyerahkan sebuah wadah plastik Tupperware.
" Tumben bawa bekal ?" tanya wanita itu lagi.
"Lapak di depan kantor banyak yang mulai tutup, Ma! Katanya wabah virus Corona itu meningkat lagi! "
" Mungkin, nanti biar Mama ngomong sama si Jhon agar sementara kamu kerja di rumah lagi!"
" Sudahlah, Ma... Jenna pasti mematuhi semua peraturan dari mama, kok. Om Jhon juga paham lah permasalahan itu!"
"Ya, lain, Jenna! Om kamu memang dokter tetapi dia sudah menggunakan hukum ekonomi di perusahaan. Nggak mau rugi lah, kalau ada peraturan yang memberatkan keuangan perusahaan!"
" Ampun si Mama, yang dihina-dina itu adik kandung sendiri, lho!"
" Biar... Mama mengkritik sebagai orang yang ada di praktisi kesehatan. Wajar dong? "
" Iya deh, Kali ini dokter Arunika Fitri benar. Seratus nilainya!"
Wanita hanya geleng-geleng kepala. Selalu pendapatnya ditentang oleh Jenna. Lain halnya omongan si Papa, selembut apa pun pasti Jenna akan menurut. Termasuk harus membawa mobil sendiri ke kantornya waktu pertengahan tahun kemarin, ketika wabah semakin meluas.
Padahal si Jenna ini sangat menikmati naik busway, mikrolet ataupun ojek bila bepergian, mau ke kantor atau mengunjungi rumah Opanya. Bukan takut adanya tindakan kriminal yang menyerang Jenna. Tetapi meminimalisir penyebaran virus itu di mulai dari diri sendiri.
Akibatnya, Jenna suka mengeluh kecapaian karena membawa mobil dengan jarak tempuh separuh dari Kota Jakarta. Belum lagi, kalau ikut memantau beberapa pabrik di daerah Jabodetabek, untuk mendata beberapa pegawai yang mengalami kendala di lapangan.
"Jenna, hapemu bunyi, Neng!" tegur Om Jhon yang cukup terganggu juga dengan dering hape keponakannya itu. Padahal mereka sedang membahas jadwal yang cocok untuk pegawai di bagian packing barang.
Mata Jenna menyipit ketika ada nomor baru terpampang di layar hapenya." Iya, Halo. Oh, walaikum Salam!"
Pria itu mengamati interaksi Jenna dengan orang yang menelponnya siang ini. Tampaknya dari seorang pria, karena suaranya agak berat. Tetapi mengapa jawaban keponakannya itu hanya pendek saja dan terlihat ketus!
"Siapa, Nana?" tanya Om Jhon penasaran.
" Pria nggak jelas. Salah sambung, Om! "
Pria yang merupakan adik bungsu Mamanya Jenna itu agak kaget, ketika dia melihat Jenna memblokir nomor si penelpon tadi. Walaupun agak terhambat, akhirnya Jenna dapat menemukan solusi dari kesulitan tersebut.
Pria itu menatap wajah cantik Jenna yang agak cerah. Bisa dibilang Jenna dengan cepat beradaptasi dengan pekerjaannya ini. Hanya dalam setahun, segala urusan HRD dapat dikuasainya . Padahal jurusan kuliah Jenna sangar berbeda. Dia memilih jurusan bahasa asing karena niatnya semula adalah menggunakan bahasa Internasional itu untuk berkeliling dunia.
Karolina merasakan keanehan sikap Jenna sejak acara tujuh bulanannya itu. Sepupunya itu jarang menelponnya kalau tidak dihubunginya. Bahkan sudah hampir sebulan lebih dia tidak main ke Sentul. Si Opa sampai menanyakan ketidakhadiran cucu tersayangnya itu pada anggota keluarga yang lain.
" Manda, nggak tanya pada Feri apa Jenna dilarang main ke sini?"
" Ya, ampun, Papa! Mas Feri nggak gitu-gitu amat sampai ngelarang Jenna ke rumah kakeknya, kali"
Tante Amanda juga bingung. Maklum si lincah itu kalau sudah nggak mau ngomong, pasti membuat semua keluarga merasa bersalah.
" Pasti ada kejadian di acara Karolina, nih..." Tebak si Opa yakin.
Biasanya, Jenna selalu menceritakan segala kegiatan yang telah dilakukan bersama kelompok remaja dalam kegiatan sosial mereka dengan menyantuni anak yatim itu. Sebagian dari anggota yang masih remaja itu dikenal Jenna dalam keseharian mereka. Sebab orang tua atau kakek mereka adalah rekan bisnis Opa Damash.
Mereka belajar arti berbagi dalam skala yang lebih kecil. Biasanya kegiatan itu dilaksanakan di hari Sabtu atau libur semester sekolah yang lebih panjang. Kelompok mereka mengikuti berbagai bazar dan pameran yang hasilnya digunakan untuk memberi bantuan pada anak- anak yatim, baik yang ada di panti atau berada di jalanan.
Sampai beberapa bulan yang lalu, ajudan si Opa memberitahu, kalau ada sekelompok preman di suatu jalan kurang menyukai kegiatan mereka. Kelompok itu melindungi beberapa anak pengamen dan pengemis di wilayah itu. Padahal tujuan remaja itu hanya memberi bingkisan dan makan siang.
Sekarang, kelompok remaja itu hanya fokus pada santunan anak- anak yatim -piatu yang ditempatkan di beberapa panti saja. Hanya saja, Jenna tetap membantu dua anak pengamen kecil di suatu perempatan jalan, dekat wilayah rumahnya karena walaupun mengamen mereka tetap bersekolah.
"Si kecil menghilang...." Bisik Tommy, adik Karolina yang usianya sepantaran dengan Jenna. Namun baru kemarin pemuda itu selesai diwisuda.
" Pa, kita tanya Farhan baik- baik masalah ini. Sabtu ini dia mau mampir bersama Karolina! " Usul Amanda.
Opa Damash mengangguk setuju. Jenna selalu diam kalau mengalami suatu masalah. Seperti perjodohan itu yang membuat jantung kakeknya itu hampir copot, karena Ramadhan bukan lelaki yang baik untuk cucunya. Dulu masih ada Karolina dan Tante Amanda yang akhirnya membantu mengatasi persoalan itu.
" Marvin, Sabtu besok kita dipanggil ke Sentul! " Ujar Farhan. Saat mereka mau keluar kantor untuk makan siang.
" Saya ikut, Bos?" ujar Marvin agak ketar-ketir.
" Lha iya , kamu. Kan yang buat masalah kamu!"
Aduh, Marvin nervous juga harus berhadapan dengan kakek Jenna. Dia sudah sering mendengar kehebatan mantan tentara yang cukup tinggi juga pangkatnya sebelum pensiun.
Farhan agak geli juga melihat cara makan Marvin yang tak berselera. Biar saja, Marvin kena batunya kali ini. Nggak semua perempuan muda sama sifatnya, penggoda!
Jenna saja sudah sanggup berdiri di kakinya sendiri. Namun sepupu istrinya itu jarang memanfaatkan kebesaran nama kakek dan ayahnya untuk kepentingannya pribadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 292 Episodes
Comments