Daniel menatap Dona dengan tatapan sedih, selalu seperti ini jika dia akan kembali pulang, menangi bahkan sampai tak mau keluar kamar karena Daniel memutuskan kembali.
"Ma, setiap Sabtu malam aku dan Vanye pasti pulang kok. Jangan menangis lagi, kan nanti juga bertemu." Daniel berusaha membuat Dona mengerti. Sedih sekali rasanya jika melihat orang tuanya mulai menangis, tapi ini sudah jadi keputusannya dari sebelum menikah.
"Bohong, kamu dulu juga bilang gini, tapi apa?"
Daniel paham yang dimaksud mamanya, bukan dia ingkar tapi Daniel malas bertemu dengan papanya. Karena setiap pulang, Doni selalu menghina pekerjaannya dan penghasilannya.
"Semua tergantung Papa, jika Papa nggak membanding-bandingkan aku dengan kakak, mungkin ...." Daniel tak melanjutkan ucapannya, dia hanya menatap Doni dari kejauhan.
"Jangan pedulikan papamu, Daniel! Dia memang seperti itu, nggak pernah bangga punya anak sepertimu. Tapi, jangan karena satu orang, kamu melupakan Mama, Nak. Pokoknya Mama mau kalian ada disini!" tegas Dona.
Vanye pun sedih melihat pemandangan seperti ini, dia jadi ingat kedua orang tuanya. Sebelum dia benar-benar menjadi istri Daniel, mereka meminta tidur bersama seperti waktu dia masih kecil.
Banyak sekali nasihat-nasihat dari kedua orang tuanya malam itu, bahkan mereka juga mengajarkan agar bisa mengimbangi Daniel dan berdamai dengan keadaan.
"Ma, Vanye janji akan selalu mengingatkan Daniel untuk pulang kok nanti. Mama jangan khawatir, sekarang ada aku dan Daniel nggak mungkin menolak, iya kan Daniel?" Vanye menatap suaminya agar mengiyakan ucapannya.
"Iya, benar kata Mbak Vanye. Dia yang akan mengingatkanku nanti, jadi Mama jangan khawatir." Daniel menuruti rencana Vanye.
"Kamu nggak bohong kan, Nak?" Dona menggenggam erat jemari-jemari Vanye.
"Nggak, Ma. Vanye janji, setiap hari Sabtu akan mengingatkan Daniel agar pulang."
Dona pun memeluk erat Vanye, dia sangat berharap pada menantunya kali ini. "Baiklah, kalian boleh pergi. Tapi awas kalau bohong, Mama akan datangi kalian langsung ke Bandung!"
Akhirnya Daniel merasa lega mendapat izin pergi. Karena semua masalah sudah beres, mereka pun segera pamit pergi.
"Ma, Pa, aku pulang dulu. Jaga kesehatan kalian, jangan terlalu capek," ucap Daniel sambil mencium punggung tangan Dona.
"Daniel apa kamu nggak tinggal di sini saja, Mama sangat kesepian di rumah kalau kamu pergi, Nak." Dona terlihat berubah pikiran, dia masih ragu untuk melepaskan anaknya kembali ke Bandung.
Dona ingin sekali di masa tuanya, Daniel menemaninya. Apalagi yang bisa diandalkan hanya Daniel, sedangkan Satria tak ada harapan sama sekali.
"Ma ... Aku sudah berkeluarga, tak sepantasnya Daniel masih bergantung dengan kalian. Aku ingin hidup mandiri dan merasakan hasil usaha sendiri," balas Daniel.
"Oh ya satu lagi, aku ingin mbak Vanye belajar mandiri. Nggak selalu bergantung dengan kekayaan orang tuanya saja, Daniel tak mau sampai itu terjadi," katanya lagi.
Dona hanya bisa terdiam dengan keputusan Daniel. Saat ini, dia hanya bisa mendukung anaknya agar bisa membimbing istrinya kelak.
"Baiklah jika itu maumu, Nak. Mama hanya bisa mendoakan agar kamu bisa sukses dan selalu langgeng sampai maut memisahkan," ujar Dona.
Rela tak rela, Dona harus melepaskan kepergian Daniel. Meski berat, tapi Dona hargai keputusan anaknya. Dengan perasaan campur aduk, dia melambaikan tangan mengiringi kepergian Daniel
"Semoga kalian selalu sukses, Nak. Mama selalu mendoakanmu dari sini dan Mama harap, kamu bisa langgeng dengan Vanye."
***
Mobil Daniel kini berhenti tepat di depan rumah minimalis modern miliknya. Rumah yang sangat sederhana dan tak bertingkat seperti rumah mamanya maupun orang tua Vanye, tapi rumah ini sangat nyaman bagi siapapun yang menepatinya.
Daniel melirik istrinya, dia genggam tangan Vanye dan mengajaknya turun dari mobil. Mereka berdua berjalan bersama, sambil memasuki rumah tersebut.
"Selamat datang di gubuk deritaku, Mbak. Maaf jika rumahnya kecil tak seperti rumah papa Dimas, tapi aku jamin nyaman kok," ucap Daniel mempersilahkan Vanye masuk.
"Aku membeli rumah ini dengan uang hasil kerja kerasku selama mendirikan rumah makan, jadi maaf jika belum bisa kasih yang lebih," ucap Daniel lagi. Jujur Daniel takut jika Vanye tidak suka rumah ini, apalagi rumahnya tak semewah rumah Vanye.
"Ini sudah lebih dari cukup, Daniel. Aku suka rumah ini, kecil tapi nyaman," jawab Vanye terlihat bahagia.
Hembusan nafas lega pun keluar dari mulut Daniel. "Syukurlah kalau kamu senang, ayo kita masuk," ajak Daniel.
Namun saat Daniel akan melangkah masuk, tiba-tiba Vanye mencekal tangannya dan menatapnya penuh kegelisahan. "Ada apa, Mbak?" tanya Daniel.
"Sebelum kita masuk, bisa kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang harus kita bahas, mengingat pernikahan ini terjadi begitu saja, tanpa adanya pendekatan. Apa boleh?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Saling menghargain,Walaupun didasari oleh pernikahan yg gak diinginin,Tapi belajar ikhlas itu lebih baik..
2024-04-12
0
𝓐𝔂𝔂🖤
enak nya yg punya suami mandiri😌😌
2022-12-13
3
Chacha Nunuy Chasanah
sprti y ada yg dag dig dug dehhh😄😄😄
2022-11-18
0