"Bagus kau tahu dimana letak kesalahanmu! Sekarang katakan padaku, kenapa kau melakukannya!? Bukankah aku sudah memintamu untuk beristirahat di rumah?" tanya Sorn tanpa peduli raut wajah ketakutan Lew.
"Aku hanya ingin melihat keluar," jawab Lew pelan.
"Jika kau ingin melihat keluar, tidak bisakah kau memberitahuku terlebih dulu!? Kau belum mengenal kawasan ini. Lihat bagaimana kalau tadi aku tidak datang tadi? Kau pasti sudah celaka di tangan mereka. Luka lama belum sembuh dan kau justru ingin menambahnya lagi? Apa kau bodoh heh!?" Sorn meluapkan kemarahannya terhadap laki-laki itu.
Bukan apa-apa, ia hanya merasa bertanggung jawab selama Lew berada di rumahnya. Jika terjadi sesuatu pada laki-laki itu, maka ia akan merasa bersalah. Terlebih lagi Lew ada di rumahnya atas keputusannya sendiri. Tidak heran kalau dirinya panik saat laki-laki itu tidak tahu pergi ke mana.
"Maaf. Aku lupa," balas Lew dengan tatapan menyesal.
"Maaf? Kau tahu seberapa paniknya aku saat pulang kuliah dan tidak menemukan keberadaanmu dimana pun? Apa kau tahu!?" tampaknya Sorn benar-benar marah. Bahkan tidak memedulikan permintaan maaf dari laki-laki itu.
"Maaf," sekali lagi Lew berucap maaf. Kini tatapannya begitu menyedihkan. Seperti seorang anak yang menyesali perbuatannya pada sang ibu.
Sontak Sorn terkesiap melihatnya. Ia merasa terlalu berlebihan pada Lew sampai tampak begitu menyedihkan.
"Huffft..." Sorn menghembuskan nafasnya dengan kasar, seraya berusaha menenangkan amarah di dalam dirinya.
"Baiklah, Lew. Dengarkan aku! Selama kau berada di rumahku, kau telah menjadi tanggung jawabku. Aku marah seperti ini karena khawatir terjadi sesuatu padamu. Apalagi kau belum mengenal kawasan ini. Coba lihat kejadian tadi? Jika aku tidak datang, kau pasti sudah celaka. Jika sampai itu terjadi, siapa yang akan merasa bersalah? Aku. Jadi tolong mengertilah! Aku melarangmu melakukan sesuatu adalah demi kebaikanmu sendiri," sambungnya. Kali ini nada bicaranya perlahan merendah tapi terdengar tegas.
"Aku mengerti. Maaf. Lain kali aku tidak akan melanggar ucapanmu!" sahut Lew bersungguh-sungguh.
"Pegang ucapanmu, Lew! Jangan sampai kejadian ini terulang lagi!" seru Sorn memperingatkan.
"Baik. Aku berjanji,"
Sorn tersenyum tipis. Seolah amarah yang ada di dalam dirinya telah menghilang. Ya, begitulah sosok Sorn. Dimana dirinya tidak pernah bisa marah berlama-lama pada seseorang. Terkecuali orang itu melakukan kesalahan fatal dan hampir tidak bisa di maafkan.
"Apa kau lapar?" tanyanya.
Lew menganggukkan kepala.
"Iya,"
"Ayo makan! Aku bawa makanan untuk kita," ajak Sorn pada laki-laki itu.
Lew kembali menganggukkan kepalanya. Kemudian ia dan Sorn segera menuju dapur. Sorn membuka semua makanan yang tadi sempat di belinya saat di perjalanan pulang. Tenang saja. Semua makanan itu baik untuk pemulihan tubuh Lew.
"Beruntung tadi aku membeli cukup banyak makanan. Ini bisa membuat tenagaku kembali terisi. Setelah tenagaku terkuras karena bertarung dengan para gangster itu," celetuk Sorn sembari menyuap makanan dengan begitu lahapnya.
Kedua mata Lew menatap intens gadis itu, di sela makan. Ada pertanyaan yang ingin di ajukannya tapi ia ragu.
"Ada apa?" sambungnya.
"Bolehkan aku bertanya?" tanya Lew balik.
"Soal apa?"
"Bagaimana bisa kau sehebat itu bertarung melawan mereka? Aku tidak menduga seorang gadis sepertimu, ternyata pintar beladiri. Ku pikir kau sama seperti gadis lain yang hanya bisa mengandalkan orang lain sebagai perlindungan," itulah pertanyaan yang Lew ingin ajukan tadi.
Sorn mengerjapkan matanya beberapa kali. Telinganya tidak salah dengarkan? Ini kali pertamanya laki-laki itu berucap cukup panjang, meski di akhirnya sedikit meremehkan dirinya.
"Aku sudah berlatih beladiri sejak lama untuk perlindungan diri. Kau tahu kenapa? Karena aku hidup seorang diri tanpa ada satu pun keluarga. Sehingga aku harus bisa dalam segala hal. Termasuk bertahan hidup dan menjaga diri sendiri. Jika mengandalkan orang lain, lantas siapa yang bisa ku andalkan? Tidak ada satu pun. Jadi jangan pernah berpikir lagi bahwa semua gadis hanya bisa mengandalkan perlindungan orang lain!"
Entah mengapa ucapan Sorn tiba-tiba menimbulkan perasaan sedih di hati Lew. Benarkah gadis itu tidak mempunyai siapapun? Tetapi kenapa tidak terlihat sedikitpun sorot kesedihan, maupun kesepian dari matanya? Sejak pertama kali mereka bertemu, Lew hanya melihat sorot kebaikan, hangat, tulus dan rasa bahagia seolah tidak ada beban apapun dalam dirinya. Mungkinkah Sorn menyembunyikan kesedihannya? Lew tidak tahu.
"Apa kau tidak sedih?" tanya laki-laki itu spontan.
Sorn mengernyitkan dahinya. "Sedih untuk apa?"
"Sedih untuk kehidupanmu yang tidak mempunyai satupun keluarga,"
Mendengar itu, Sorn justru terkekeh pelan. "Sedih kenapa? Hidupku tetap berjalan sampai saat ini, meski tidak mempunyai satu pun keluarga,"
"Bagaimana dengan kesepian? Apa kau tidak merasa kesepian selama ini?" Lew masih belum puas bertanya.
"Tidak. Di dunia ini mungkin aku tidak punya keluarga tapi masih banyak orang lain yang ku anggap seperti keluargaku sendiri. Jadi aku tidak pernah merasa kesepian," sahut Sorn apa adanya. Gadis itu berucap dengan yakin. Bahkan tidak tampak keraguan dari sorot matanya.
Lew terdiam sesaat untuk mencerna ucapan Sorn barusan. Bagaimana jika ia juga hidup seorang diri? Apakah dirinya juga bisa sebijak Sorn dalam menjawab pertanyaannya dan menjalani kehidupan di dunia yang luas ini?
"Jika aku sama sepertimu, bisakah aku menganggapmu juga sebagai keluargaku?"
Pertanyaan Lew mengejutkan Sorn untuk beberapa saat. Sebelum gadis itu tersenyum manis ke arahnya.
"Tentu saja. Aku pasti akan senang bisa menambah anggota keluarga baru,"
"Terima kasih," ungkap Lew singkat.
"Sama-sama," balas Sorn masih dengan senyuman manis.
Kemudian pembicaraan mereka berakhir dan berlanjut hening sampai akhirnya mereka selesai makan.
"Aku ke kamar dulu! Ingat untuk tidak pergi keluar rumah lagi tanpa memberitahuku!" seru Sorn usai membereskan bekas alat makanbya dan Lew.
"Baik,"
Sorn pun berjalan pergi meninggalkan Lew seorang diri di dapur. Tidak berselang lama, laki-laki itu juga beranjak pergi. Lew pergi ke kamarnya dan mendudukkan diri di dekat jendela kamar. Langit sudah mulai gelap. Matanya mungkin menatap langit tapi tidak dengan pikirannya. Lew tengah memikirkan semua yang terjadi pada dirinya belakangan ini. Di temukan dalam keadaan mengenaskan oleh Sorn, di bawa pulang gadis itu, hingga kejadian hari ini. Andai tidak bertemu dengan Sorn, entah bagaimana nasib dirinya sekarang.
"Aku beruntung bisa bertemu gadis sebaik dirinya," gumam Lew tersenyum tipis melihat ke arah langit.
Ya, Lew merasa beruntung karena bertemu gadis sebaik Sorn. Jika itu orang lain, mungkin hari itu ia sudah mati mengenaskan di pinggiran pantai. Jarang ada orang seperti Sorn, pikirnya. Mungkin takdir memang sengaja mempertemukannya dengan Sorn. Meski tidak mengerti maksud dari takdir melakukan itu.
"Aku tidak mengerti maksud dari pertemuan ini. Tetapi aku yakin bahwa takdir memiliki maksud tersembunyi,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments