Part 4

Fanny terhuyung dan tubuh nya jatuh menubruk tembok. "Bukan begitu caranya memperlakukan wanita." Sebuah suara terdengar tepat di belakang Fanny. Sejenak. Fanny kebingungan, bagaimana mungkin tembok bisa mengeluarkan suara? Sedetik kemudian, Fanny sadar ia bukan menubruk tembok, melainkan dada bidang dan kokoh seorang pria.

***

Bukankah dia adalah gadis yang menolong ku tadi?

Cam bersyukur telah memutuskan untuk mendekat ketika tanpa sengaja ia melihat pertengkaran gadis itu dengan seorang pria. Jika tidak, ia tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk mengucapkan terima kasih pada gadis yang sudah menolong nya.

Gadis itu kelihatan nya sedang berusaha menyelamatkan teman nya dari ancaman pria itu. Cam lega ia tiba di sana pada waktu yang tepat sehingga ia bisa menangkap tubuh gadis itu yang terdorong dan nyaris terjatuh.

"Dasar laki-laki tidak berperasaan! Bagaimana bisa dia memperlakukan wanita dengan kasar? Sungguh perbuatan tercela dan pantas mendapatkan sepuluh pukulan!" Laki-laki itu menoleh dan tersinggung mendengar teguran Cam.

"Siapa kau?! Berani-berani nya ikut campur urusan ku!" Pria Itu marah. Tangan nya semakin kuat mencengkeram pergelangan gadis yang di seret nya.

Cam mendengar suara tarikan napas tajam dari gadis yang tadi menabrak tubuh nya. Cam langsung tahu bahwa pria kasar di hadapan nya itu sudah menyakiti gadis yang sedang di genggam nya. "Aku tidak peduli dengan urusan mu. Aku hanya tidak suka cara mu memperlakukan wanita. Lepaskan dia."

"Apa kata mu?"

Lirikan mata Cam mengarah pada gadis yang berdiri ketakutan di samping pria itu. "Lepaskan dia. Kau sudah menyakiti gadis itu."

"Menyakiti?" Pria itu mencibir lalu menoleh ke arah gadis yang sudah pucat pasi di samping nya dengan pandangan merendah kan. "Sudah kewajiban wanita seperti nya menerima apa pun perlakuan ku. Aku berhak melakukan nya. Aku...."

Kata-kata pria itu terpotong oleh pukulan Cam. Pria itu bahkan tidak diberikan kesempatan untuk menghindar. Sedetik sebelum nya, ia masih menghina, sedetik kemudian ia sudah terjerembab di lantai berkat pukulan keras.

Jeritan kaget diiringi pekikan kesakitan menggema di lorong itu. Pria itu mengerang di lantai sambil memegangi pipi nya. Darah keluar dari sudut bibir nya.

"Apa masalah mu sampai memukul ku tanpa sebab seperti ini?!" caci pria itu marah. Dengan susah payah, ia berusaha bangkit.

Cam tampak tak terintimidasi sedikit pun oleh pelototan murka pria itu. Dengan tenang, ia malah balas mengancam nya. "Kau pantas mendapatkan nya. Selain itu, dari pada pergi ke rumah sakit, ku sarankan kau memeriksakan diri ke psikiater. Kejiwaan mu jelas terganggu. Jika kau memiliki akal sehat, kau tidak akan berlaku sekasar itu pada wanita. Kali ini, aku akan membiarkan mu pergi. Jika lain kali aku melihat mu bersikap kasar pada wanita lagi, akan ku pastikan kau masuk penjara." Cam, kemudian berbalik.

"Aku tidak terima ini! Aku akan memanggil pengacara ku! Aku akan membawa perkara ini sampai ke pengadilan!" Sambil memegang pipi nya yang memar, pria itu memanggil seseorang lewat ponsel nya. Pria itu menyeringai setelah puas mengeluh pada pengacara nya, "Kau akan tamat. Salah mu tidak mengetahui dengan siapa kau berhadapan. Dan, kalian, dua wanita bodoh, aku akan membuat perhitungan! Ingat itu!"

Cam bisa merasakan ketegangan terbentuk di wajah kedua gadis di samping nya. Ancaman laki-laki barbar itu jelas berhasil menakuti mereka.

"Kau pikir kau bisa menakuti ku? Silakan, lakukan apa yang kau inginkan," tantang Fanny dengan lugas.

Keberanian Fanny dalam memberikan serangan balasan untuk klien kasar itu mengejutkan Cam, teman nya, juga klien itu sendiri. Fanny tak memedulikan konsekuensi yang mungkin akan di dapat jika membuat klien kesal.

"Fanny ...." Camilla membelalak, wajah nya semakin pucat pasi.

Klien itu pergi sambil mengumpat kasar. Sejenak, tidak ada yang bicara. Fanny berbalik menghadap Camilla. la cemas melihat wajah gadis itu. "Kau tidak apa-apa?" Fanny hendak merangkul nya, tetapi Camilla menepisnya.

"Jangan sentuh aku!" bentak nya membuat Fanny serta Cam membelalak kan mata. "Kau tidak tahu apa yang kau lakukan tadi!"

"Aku hanya ingin membantu mu." Fanny tak mengerti mengapa Camilla marah setelah ia membantu mengeluarkan nya dari bahaya.

"Membantu?! Ulah mu tadi justru memperparah keadaan!" Camilla histeris, lalu memeluk tubuh nya yang gemetar. Pandangan nya tidak fokus. "Aku tidak ingin membuat nya marah. Aku tidak mau mendapatkan hukuman karena ini."

Fanny tercekat. Camilla menyadarkan nya pada komponen penting yang di lupakan nya. Madame Jasmine. la yakin wanita itu akan marah jika anak didik nya sampai membuat klien marah atau tidak puas. Sekarang, Fanny paham mengapa Camilla begitu ketakutan. Entah hukuman macam apa yang akan diberikan Madame Jasmine saat dia tahu kejadian hari ini.

"Camilla ... maafkan aku."

Camilla menepis kembali tangan Fanny, kemudian pergi dengan linangan air mata. Fanny tercenung menatap tangan nya. la mempertanyakan mengapa Tuhan menempatkan nya di kehidupan seperti ini.

"Apa kau baik-baik saja? Teman mu tadi seperti nya tidak begitu baik."

Nyaris saja Fanny melupakan keberadaan laki-laki yang menolong nya. la menghadapi Cam. Ingin sekali ia mengucapkan terima kasih kepada nya. Namun, ia sadar bantuan pria ini tidak ada guna nya dalam situasi nya ini. Sehingga, Fanny merasa tidak harus berterima kasih. Ia hanya menunduk.

"Maaf sudah membuat mu terlibat dalam masalah kami."

Cam mengerjap. Gadis ini tidak tersenyum saat mengatakan nya, apalagi berterima kasih. "Tidak masalah. Aku hanya kebetulan lewat."

"Kalau begitu, aku permisi. Sekali lagi, maaf sudah merepotkan mu," potong Fanny, lalu pergi tanpa memberikan Cam kesempatan untuk membalas.

Apa yang baru saja terjadi? Cam memandang punggung Fanny dengan bingung. la baru saja menolong gadis itu, bukan? Namun, mengapa ia merasa seakan baru saja menjerumuskan gadis itu ke dalam sebuah bencana?

***

Insiden yang terjadi di bar masih terngiang dalam benak Cam, bahkan hingga di rumah dan bersiap tidur. Cam mencoba mengenyahkan nya, tetapi bayangan raut pasrah gadis itu terus menghantui. Aneh, ekspresi itu mengusik ketenangan Cam. Seakan, sesuatu yang buruk sedang menanti nya. Cam tidak tahu harus melakukan apa untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.

Cam tersentak oleh suara bel. la meletak kan gelas kopi nya di meja bar lalu membuka pintu tanpa melihat siapa yang datang di layar interkom.

"Mengapa membuka pintu sendiri?" Sosok Ivy Bailey yang berdiri di balik pintu cukup mengejutkan Cam.

"Aku belum tidur," jawab Cam. la selalu menyuruh pembantu di rumah nya pulang sebelum malam. la suka tinggal sendiri.

"Kau seharus nya mempekerjakan seorang pelayan agar tidak sendirian di rumah sebesar ini." Ivy Bailey mendesah, lalu masuk.

"Ada perlu apa kau kemari?" Cam tidak tahu gadis itu akan datang.

Ivy Bailey adalah adik Fiona, mantan istri nya. Usia nya empat tahun lebih muda dari Fiona dan lima tahun lebih muda dari Cam. Sekarang, gadis itu bekerja sebagai desainer mode. Biasa nya, Ivy selalu memberitahu nya jika akan berkunjung. Atau, mungkin ia melupakan nya?

"Aku mengantarkan beberapa makanan untuk mu. Mama yang menyuruh ku. Mama khawatir kau tidak makan dengan layak walaupun sebenar nya pikiran mama itu konyol sekali. Kau tidak mungkin kelaparan. Bukankah selalu ada pembantu yang menyiapkan makan untuk mu setiap hari nya." Ivy terus berkata sambil berjalan menuju ruang makan. Cam mengikuti nya.

"Katakan pada mama, jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja." Cam senang diperhatikan, tetapi ia tidak mau merepotkan mantan ibu mertua nya.

Ivy tidak mendengarkan nya. la meletakkan kotak besar berisi makanan di atas meja makan, lalu memandang Cam dengan lembut. "Mama selalu mencemaskan mu, terutama sejak Fiona ...." Ivy terdiam, berusaha keras menahan kesedihan. "Begitulah. Mama sudah menganggap mu seperti anak nya sendiri. Jadi, terima saja rasa khawatir dan perhatian nya."

Cam tiba-tiba teringat pada mendiang istri nya. Mengingat Fiona, otomatis mengingatkan nya pada kecelakaan yang telah merenggut nyawa istri nya itu. Dada Cam kembali disesaki rasa bersalah. Ia telah membunuh Fiona. Kematian Fiona merupakan kesalahan nya. Andai saja saat itu Cam lebih menjaga emosi nya dan memerhatikan jalan, kecelakaan itu tidak mungkin terjadi.

Ivy bisa melihat pergolakan emosi dari ekspresi Cam. Entah sudah berapa kali ia maupun keluarga nya menegaskan pada Cam hal itu. Lagi pula Cam pun menderita luka dan harus di rawat di rumah sakit selama dua bulan. Beberapa tulang rusuknya retak. Hasil penyelidikan polisi menyimpulkan insiden itu murni kecelakaan sehingga Cam tidak dihukum.

"Apakah kau atau keluarga mu tidak pernah berpikir bahwa seandai nya Fiona tidak menikah dengan ku, dia tidak akan mati? Tidak kah kalian pernah menyalahkan ku atas kepergian nya?" Cam tidak menatap Fiona.

"Kau tidak boleh berpikir seperti itu!" Ivy mengerjapkan mata. "Kami mungkin akan menyalahkan mu seandai nya kami tidak tahu bahwa kau adalah pria baik. Kau telah membuat kakak ku bahagia. Kenyataan itulah yang membuat kami tidak bisa menyalahkan mu atau menyesali kepergian nya."

Cam tertegun oleh kata-kata Ivy. Ia tersenyum samar. "Begitu. Terima kasih." Senyuman nya hanya bertahan sesaat karena ia kembali merenung.

Ivy sedih melihat Cam menderita oleh rasa bersalah nya. Sesungguh nya, Ivy ingin sekali melihat Cam kembali seperti dulu, saat senyum dan tawa masih menghiasi wajah nya. Ivy berharap bisa mengembalikan Cam yang dikenal nya, jauh sebelum kakak nya, Fiona memperkenalkan Cam sebagai kekasih nya dan kemudian mereka menikah.

Ivy merindukan Cam yang dulu. la merindukan laki laki yang diam-diam dicintai nya, bahkan hingga saat ini. Ivy memilih memendam perasaan itu karena ia tahu Cam masih belum melupakan kakak nya. Cinta nya pada Fiona belum hilang. Ivy bertekad untuk membuat Cam beralih mencintai nya, secara perlahan. la pasti bisa menggantikan posisi kakak nya di hati Cam. la yakin bisa membahagiakan Cam lebih dari Fiona.

"Aku datang hanya untuk mengantarkan ini dan melihat keadaan mu, untuk kemudian ku laporkan pada mama. Kalau begitu, aku pulang." Ivy tidak ingin membuat Cam risih oleh kehadiran nya.

"Sudah malam. Kau yakin tidak masalah pulang sendiri?" Cam mengantarkan Ivy hingga ke depan pintu. "Aku membawa mobil." Ivy tersenyum.

"Maaf, aku tidak bisa mengantar. Masih ada dokumen kantor yang harus ku periksa." Cam baru teringat pada tumpukan map yang dikirim Edward.

"Tidak masalah. Jangan terlalu sibuk bekerja dan jaga kesehatan. Jangan lupa juga habiskan makanan buatan mama. Rasanya enak sekali." Cam hanya mengangguk. la diam di teras rumah nya mengawasi Ivy hingga mobil yang dikemudikan gadis itu menghilang. Kunjungan Ivy malam ini semakin membuat nya menyadari kekosongan di hidup nya.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!