Apa yang ku lakukan? Aku seharus nya tidak bersikap ramah pada pria baik. Fanny terus memikirkan pertemuan nya dengan Cam. Seandai nya keadaan nya berbeda, ia bersedia mengenal Cam lebih jauh, terutama setelah lelaki itu membuat jantung nya berdegup kencang. Fanny ingin tahu mengapa ia sampai berdebar karena pertanyaan sederhana dari Cam.
"Fanny, kau beruntung. Sepertinya calon klien mu sangat menyukai mu. Bahkan, belum resmi menjadi simpanan nya, kau sudah mendapatkan banyak hadiah." Miranda Johnson berkata sambil memerhatikan perhiasan yang ada.
"Miranda! Kau sudah kembali!" Fanny senang sekali melihat teman baik nya berdiri di ambang pintu kamar nya. Ia berdiri lalu memeluk nya.
Sudah hampir tiga bulan Fanny tidak melihat nya. Miranda pergi bersama klien nya ke Prancis untuk bekerja. Miranda berpura-pura menjadi penerjemah untuk klien nya demi menutupi tugas sebenar nya. Miranda adalah gadis yang sangat cantik. Suara nya indah dan memikat. Fanny tidak mengerti mengapa gadis secerdas itu memilih menjadi murid Madame Jasmine. Padahal, Fanny yakin Miranda mampu untuk memiliki pekerjaan lain yang lebih terhormat.
"Kau terlihat berbeda. Seperti nya Prancis cocok untuk mu," canda Fanny sambil mengajak Miranda duduk di sisi ranjang nya. Miranda adalah teman pertama yang di miliki Fanny di asrama Madame Jasmine.
"Aku lebih suka di Manchester. Aku sangat senang kontrak kerja ku dengan klien ku habis sehingga bisa kembali." Miranda melirik kembali pada hadiah yang diberikan Tuan Scott siang tadi. "Seperti nya aku melewatkan banyak hal selama pergi. Kapan kau akan bercerita pada ku bahwa kau akan segera debut?"
"Kau sudah mendengar nya," ujar Fanny hambar. Tidak heran jika berita itu menyebar dengan cepat, terutama ketika mereka melihat Fanny memerima banyak hadiah di saat belum resmi debut. Semua anak didik Madame penasaran dengan sponsor yang telah memilih Fanny. "Aku pun baru mengetahui nya."
"Seperti nya, klien mu ini aneh. Mengapa dia mengirimi mu banyak hadiah?" kata Miranda.
"Entahlah, aku pun bertanya-tanya." Fanny baru memikirkan nya. Mungkinkah ada tujuan tertentu di balik kemurahan hati Tuan Scott?
"Kuharap ini merupakan pertanda baik."
Fanny pun berharap demikian. Apa yang bisa ia lakukan selain berharap?
"Untuk merayakan kepulangan ku, bagaimana jika kita berbelanja?" seru Miranda semangat. Fanny tersenyum. Berbelanja adalah kesukaan Miranda.
***
"Aunty tidak mengerti, mengapa kau terus menolak gadis yang aunty kenalkan? Apa mereka tidak sesuai selera mu?" Hari ini Bibi Bell kembali mengganggu Cam di kantor nya. Begitu mendengar bahwa kencan buta Cam dengan Paula Carter berakhir tragis, Bibi Bell langsung datang menemui nya.
Cam mendesah lelah. "Mereka semua gadis yang baik, hanya saja aku masih belum berminat menjalin hubungan dengan gadis mana pun. Ku harap Aunty mengerti." Cam tidak mau lagi mengalami hal memalukan seperti kemarin.
Bibi Bell menatap Cam dengan sedih. Ia tahu alasan sebenar nya bukan itu. "Kau masih belum bisa melupakan mendiang istri mu."
Cam mengepalkan tangan erat hingga buku-buku jari nya memutih. Sungguh, ia tidak ingin di ingatkan pada kenyataan pahit yang coba ia lupakan.
"Tolong jangan seret Fiona dalam keputusan ku untuk tetap sendiri," ucap Cam rendah dan tenang. Dengan segenap tenaga ia menekan gejolak emosi agar tidak melakukan tindak kekerasan. Tidak boleh membentak Bibi Bell.
"Aunty hanya mencemaskan mu. Aunty berharap kau memilik seseorang yang akan menjaga dan mengurus mu. Aunty ingin kau kembali menikmati hidup, mencintai, dan membangun rumah tangga yang bahagia."
Di mata Cam, semua itu terlihat bagai mimpi. la juga menginginkan nya, tetapi takut akan kehilangan nya suatu hari nanti. Cam tidak mau kebahagiaan yang telah dicapai nya raib. Bibi Bell mungkin tidak menyadari nya, tetapi Cam tahu, semua orang yang di sayangi nya akan pergi.
Menyadari Cam tidak akan merespon nya, bibi Bell memutuskan menyudahi kunjungan nya hari ini. "Baiklah, sekarang aunty tidak akan memaksa mu. Tapi ingatlah, Nak, jika hingga hari ulang tahun mu kau belum juga mengenalkan calon istri, kau harus menerima siapa pun calon yang aunty pilihkan."
Apa? Cam terperangah. "Aunty, kau tak bisa...."
"Ini demi mu. Percayalah, kau tidak akan menyesal membuka hati mu lagi," ucap bibi Bell seraya berjalan keluar dari ruangan Cam.
Cam menatap pintu ruang kantor nya yang tertutup rapat. Seperti nya, Bibi Bell tidak main-main kali ini. Cam merasa tidak bertenaga. la benci membuka hati untuk wanita mana pun. la cukup puas dengan hidup nya sekarang.
Ah, tidak! Jika boleh jujur, sebenar nya Cam merasa kesepian. Rumah nya yang luas terlalu kosong jika di tinggali sendiri. Bukan berarti Cam menginginkan seorang istri, hanya seseorang yang mau menemani nya.
Apa ia ikuti keinginan bibi nya? Tidak! Jika ia menerima salah satu gadis yang di kenalkan Bibi Bell, sudah jelas hubungan itu akan berakhir di pelaminan. Lagi pula tidak ada gadis baik-baik yang bersedia menjalin hubungan tanpa status.
Omong-omong soal gadis, Cam teringat pada satu gadis yang hingga kini belum juga menghubungi nya. Fanny Blair tidak mungkin sengaja membiarkan Cam berutang, bukan? Selain itu, Cam tampak nya juga berutang maaf. la merasa telah menyinggung perasaan Fanny Blair. Cam menyesal mengapa ia tidak meminta nomor gadis itu.
***
"Kau boleh memilih baju mana pun, aku akan membelikan nya," ucap Miranda pada Fanny sambil memilih-milih baju di sebuah butik ternama di kawasan elit. Mereka akan belanja habis-habisan.
"Tidak perlu sok bermurah hati begitu. Aku juga memiliki uang yang harus ku habiskan," canda Fanny. Sebenar nya, Fanny tidak suka berbelanja baju di tempat ini, tetapi ia pura-pura memilih baju untuk menyenangkan teman nya.
"Ah, ya, aku lupa. Kau sekarang memiliki tambang emas yang siap menyediakan uang melimpah untuk mu."
"Miranda!" sentak Fanny dengan pipi memerah. Ia tidak suka di ingatkan telah menjadi wanita simpanan. "Ku mohon pelankan suara mu."
"Mereka tidak akan peduli," jawab nya cuek. la mengalihkan kekhawatiran Fanny dengan menunjuk satu gaun. "Bagaimana menurut mu gaun ini?"
"Bagus. Untuk apa kau membeli gaun? Bukankah kau sudah memiliki nya."
"Kau tidak dapat pemberitahuan nya, ya?"
"Pemberitahuan apa?" Fanny mengernyit, merasakan ada firasat buruk.
"Ada pesta malam ini. Madame Jasmine ingin kita semua datang."
"Oh, pesta rutin itu. Jadi, sekarang aku sudah bisa datang. Fanny tersenyum getir mengingat nya. Madame Jasmine selalu mengadakan pesta secara rutin setiap tiga bulan sekali hanya untuk murid-murid yang telah resmi menjadi Comfort Women. Selama ini, Fanny hanya mendengar mengenai pesta itu dari cerita-cerita senior nya. Pesta itu menyenangkan, karena selama satu malam mereka akan di perlakukan bak putri raja. Mereka akan melupakan fakta bahwa mereka hanya seorang wanita simpanan.
"Tentu saja kau harus datang," tegas Miranda dengan mata bersinar gembira. "Karena itu, setelah ini kita akan pergi ke salon."
Di sisi butik lain, Catherina Davis menekan amarah nya kuat-kuat hingga urat-urat di leher nya yang mulus tampak menonjol. la tidak suka melihat dua orang gadis berisik itu memasuki butik nya. Namun, ia tidak mungkin mengusir pelanggan, terlebih mereka termasuk pembeli berkantong tebal. Karena itu, ia hanya bisa berdiri di sudut tak terlihat sambil mengamati dengan mata menyipit.
"Seperti nya kau tidak senang. Apa ada masalah?"
Ivy Bailey menghampiri teman nya yang bermuka masam. la dan Catherina sudah berteman lama sejak sama-sama belajar untuk menjadi desainer di Esmod, Prancis. Kini, mereka telah menjadi desainer dengan merek fashion sendiri. la mengunjungi Catherina untuk mengajak nya makan siang dan terkejut kala menemukan teman nya itu sedang bermuram durja.
"Kau lihat mereka?" Dengan dagu, ia menunjuk Fanny dan Miranda yang asyik memilih gaun. "Aku tidak suka mereka memakai baju rancangan ku."
Ivy mengamati sejenak objek yang membuat suasana hati Catherina memburuk. "Apa yang salah dengan mereka? Seharus nya kau senang."
"Mereka itu orang-orang rendahan. Mereka tidak pantas memakai rancangan ku. Orang-orang seperti mereka hanya mencemarkan baju-baju ku."
"Apa maksud mu mencemarkan?" Kedua mata Ivy melebar bingung.
"Oh, kau tidak tahu?" Catherina berdecak sinis. "Mereka itu Comfort Women."
"Com-apa?" Ivy terkejut sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Dengan cepat ia mengatupkan bibir sebelum suara nya yang melengking terdengar semua orang, teru tama dua wanita yang menjadi subjek obrolan mereka.
"Comfort Women," ulang Catherina. Suara nya memelan. "Mereka wanita panggilan."
"Aku tahu Comfort Women itu apa. Tapi, dari mana kau tahu?"
"Aku memiliki sumber tepercaya." Catherina mendengkus. "Yah, meskipun keberatan, tak ada yang bisa ku lakukan karena mereka selalu berbelanja banyak."
"Huh, jadi harga diri mu tetap di kalahkan oleh uang rupa nya," ujar Ivy.
Catherina tersenyum. "Kau tidak bisa hidup hanya mengandalkan harga diri."
Bersambung ....
Sama marga itu hal yang biasa ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments