Sesampainya di sekolah, pintu gerbang sudah tertutup rapat.
"Pak. Bukain pintu nya." ucap Lidya pada satpam yang berjaga.
"Tidak bisa! Peraturan tetap peraturan. Yang telat tidak boleh masuk." ucap satpam itu lantang.
Lidya mendengus kesal karena ucapan satpam itu. Jika pulang tentu saja akan membuat orang tuanya curiga dan justru mengkhawatirkan nya. Ia memutar otak mencari ide.
"Iya memang peraturan tetap peraturan pak. Tapi, tidak bisa kah bapak melihat ku yang terluka parah seperti ini karena di tabrak orang. Dan aku masih semangat untuk berangkat ke sekolah menimba ilmu agar kelak bisa jadi orang yang sukses." ucap Lidya memasang wajah yang sendu agar di kasihani oleh satpam.
Dan akhirnya rencananya itu berhasil membuat satpam itu tersentuh.
"Ya sudah ayo masuk." kata satpam itu sambil membuka pintu gerbang.
Lidya menghela nafas panjang, karena lega sudah di ijinkan masuk sekolah. Selama sekolah ia berusaha konsentrasi memperhatikan guru yang sedang menerangkan materi. Pesan Rosa agar semangat belajar dan bisa menjadi anak yang dibanggakan kedua orang tua menjadi pemacu semangat Lidya, walaupun seluruh badannya merasa kesakitan akibat kecelakaan tadi.
Sementara itu di waktu yang sama, Rosa mulai terbangun. Sakit yang ia rasakan sedikit berkurang. Ia di suapi ibunya makan.
Ia bersemangat menghabiskan makanannya itu, karena sebentar lagi akan menyusui bayinya. Sejak kemarin, ia belum melihat wajah bayi yang sudah di lahirkan tanpa sepengetahuannya itu.
Seorang dokter datang saat ia telah selesai menghabiskan sarapannya.
"Selamat pagi nyonya Rosa, saya cek kondisi ibu dulu ya." sapa dokter jaga.
Ia mulai melakukan serangkaian cek, mulai dari tensi darah sampai jahitan bekas operasi.
"Semuanya bagus. Semoga cepat sembuh ya." kata dokter itu setelah selesai mengecek.
"Terima kasih dok. boleh kah saya melihat bayi saya." tanya Rosa dengan ragu-ragu.
"Tentu saja boleh nyonya. Suster nanti tolong antarkan bayi nyonya Rosa kesini ya." titah dokter itu. Suster pun mengangguk mengiyakan.
Setelah pemeriksaan itu selesai, seorang perawat mengantar bayi mungil yang berwajah sangat tampan.
"Ini nyonya bayinya." kata suster itu sambil menyerahkan bayi mungil itu pelan pelan. Setelah itu, bergegas suster itu meninggalkan ruangan Rosa.
'Ya Allah, kenapa ia begitu mirip dengan Rico?' satu kalimat yang seketika muncul di pikiran Rosa ketika menatap bayi itu.
"Ya Allah, ganteng banget Ros." celetuk bu Susi sambil mengusap pelan pipi bayi yang masih terlihat merah itu. Rosa pun hanya mengangguk menanggapi celetukan ibunya.
'Bahkan ibu pun juga berkata seperti itu.' batin Rosa lagi.
"Sini Ros, ibu ngga sabar pengen gendong cucu ibu." ucap ibunya sambil mengambil alih pelan-pelan tubuh mungil bayi itu.
Hilang sudah kesedihan mereka ketika melihat bayi itu. Memang benar, anak itu adalah anugerah. Jangan pernah menolak kehadirannya. Karena ia bisa jadi obat pelipur lara bagi orang tua nya.
"Rosa, sepertinya ia kehausan. Ayo cepat kasih asi." ucap ibunya setelah melihat mulut bayi itu komat kamit dan sedikit menggeliat.
Rosa pun segera membuka kancing bajunya. Perlahan lahan ia mulai mendekatkan asi itu ke bibir bayi.
Sensasi pertama yang di rasakan Rosa ketika kulitnya menempel di mulut bayinya, adalah geli. Seperti hal yang pernah Rico lakukan dulu padanya.
Dulu Rosa membiarkan Rico melakukan semuanya karena ia sangat mencintainya. Tapi sekarang, Rosa membiarkan ASI-nya di hisap oleh anaknya, juga karena rasa sayangnya.
Rosa berjanji dalam hatinya, akan merawat bayinya dengan sepenuh hati, meskipun Rico sebagai ayah tak menginginkan nya.
Beruntung sekali, asi Rosa langsung keluar banyak, sehingga membuat bayi nya langsung kenyang, dan kini kembali tertidur.
"Ya ampun, pinter nya cucu nenek." bu Susi terkekeh sambil mengusap pelan kening bayi itu yang sudah tertidur pulas.
______
Siang yang terik itu, Lidya nekad menjenguk Rosa di rumah sakit. Ia tak sabar ingin melihat anak Rosa.
Ia sangat ingin memiliki adik kecil, tapi sayangnya ibunya tak kan pernah bisa memilik anak lagi, karena rahimnya harus di angkat karena pernah menderita kanker ovarium.
Sesampainya di rumah sakit, ia segera memarkirkan motornya, dan mempercepat langkahnya agar segera sampai di kamar Rosa.
"Rosa." seru Lidya.
Mata Lidya kian berbinar ketika melihat Rosa yang tengah memangku bayi nya. Ia pun mendekat ke arah Rosa.
Setelah bertegur sapa dan meluapkan kebahagiaan, Lidya berniat menggendong bayi tampan itu.
"Ros, boleh kah aku gendong bayi mu?"
"Tentu saja boleh." Rosa pun mengangguk mengiyakan.
"Lhoh, tangan mu kenapa Lidya?"
Rosa terkejut ketika hendak menyerahkan bayinya, ia melihat tangan Lidya yang lecet dan berdarah, bahkan ada beberapa memar.
"Oh, ini ngga apa-apa kok Ros. Cuma lecet sedikit, nanti juga sembuh." ucap Lidya tak menghiraukan sakitnya. Dan kini ia justru menimang bayi kecil itu.
Ketiganya asyik bercerita hingga tiba-tiba Lidya memekik.
"Arghhh......"
Hup...
Dengan sigap, dokter itu menangkap bayi Rosa yang hampir saja jatuh, karena tiba-tiba Lidya berteriak sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Rosa dan ibunya yang melihat hal itu hanya bisa membulatkan matanya. Jantung keduanya seakan hendak lompat, ketika melihat bayi itu hampir saja jatuh.
"Hati-hati dek, kamu bisa melukai bayi ini." ucap dokter setelah berhasil menangkap bayi itu. Untung saja dia datang tepat waktu. Jika tidak, mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada bayi itu.
Lidya membulatkan mata, mulutnya terbuka lebar, dan ia segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya, menyadari kesalahannya.
"R_Ros, ma_afkan, aku tak sengaja, tangan ku perih terkena pipis anak mu." ucap Lidya dengan terbata-bata. Tapi hal itu justru membuat dokter itu menyunggingkan senyum.
"Ngga apa-apa Lid, alhamdulillah bayi ku juga masih selamat." ucap Rosa sambil tersenyum, walaupun hatinya juga masih berdegup kencang.
Dokter segera menyerahkan bayi itu pada Rosa. Lalu segera mengecek kondisi keduanya.
"Semuanya semakin menunjukkan kondisi yang bagus nyonya. Jika besok keadaan kalian lebih baik lagi, saya ijinkan untuk pulang." ucap dokter yang membuat mereka tersenyum lega.
Lidya kembali mengusap wajah bayi tampan itu. Ia merasa bersalah karena hampir saja mencelakakan nya. Dokter mengernyitkan dahi ketika melihat tangan Lidya yang penuh luka.
"Sepertinya tangan adik harus di obati, agar lekas sembuh juga." imbuh dokter itu.
"Oh, tidak perlu pak. Nanti juga sembuh sendiri."
"Nak Lidya, ikuti saran dokter saja, agar lekas sembuh dan bisa menggendong bayi nya Rosa lagi." ucap bu Susi, yang membuat Lidya menunduk tak dapat membantah.
"Ya sudah bu, Ros, Lidya sekalian pamit pulang ya. Kabari aku ya kalau ada apa-apa."
Setelah berkata seperti itu, Lidya memeluk Rosa, mengecup bayinya, dan juga mencium punggung tangan bu Susi.
"Ayo ikut dengan saya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments