Lidya mengekor dokter muda itu. Walaupun dokter itu masih muda, ia harus memanggil nya dengan sebutan bapak, sebagai tanda menghormati. Karena itu adalah ajaran kedua orangtuanya.
Dugh...
Lidya menubruk dokter itu dari belakang, karena sejak tadi ia berjalan menunduk. Ia juga tak sadar jika dokter itu hendak membuka pintu.
"Maafkan saya dok." ucap Lidya sambil meringis, tangan kirinya mengelus keningnya sendiri.
Dokter itu tak mengatakan apapun selain menyunggingkan senyum tipis, lalu memasuki ruangannya. Lidya kembali mengekornya.
"Silahkan duduk dek."
Dokter itu mempersilahkan Lidya duduk, sedangkan ia mengambil beberapa peralatan yang ia butuhkan untuk mengobati luka Lidya. Setelahnya ia duduk di dekat Lidya.
"Ulurkan tangan nya dek." Dengan patuh Lidya mengulurkan tangannya.
Dokter itu segera membersihkan luka Lidya dengan alkohol terlebih dulu.
"Arghhh..... sakit." Lidya menyentak kan tangannya, lalu mengibas-ngibaskan. Ia meringis menahan sakit.
"Sepertinya tidak usah di obati saja lukanya pak, tangan saya jadi sakit begini." rintih Lidya.
"Kalau ngga segera di obati, bisa semakin lama sembuhnya."
Dokter itu menarik tangan Lidya lalu kembali membersihkan lukanya dengan alkohol. Ia memegang kuat tangan Lidya, sehingga tidak bisa memberontak.
"Jatuh dimana memangnya dek?"
Bukannya menjawab, Lidya justru menatap dokter itu sambil membatin.
'Dari kemarin, selalu saja di panggil dek. Memangnya aku ini adiknya apa.' batin Lidya dengan kesal.
"Hei, di tanya kok malah melamun. Pantas saja jatuh sampai luka seperti ini, kebanyakan melamun sih." ucap dokter itu sambil terkekeh, dan memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.
"Enak saja pak dokter bilang seperti itu. Ini tuh karena tadi berangkat sekolah di tabrak sama anak sekolah lain pak." Lidya menjawab dengan ketus yang membuat dokter itu kembali terkekeh.
"Kamu itu sama dokter berani ya membentak. Nanti kalau aku suntik gimana?"
"Jangan!" ucap Lidya dengan panik. Sejujurnya ia sangat takut jarum suntik. Melihat Rosa yang kemarin berdarah saja, seketika membuatnya lemas.
Dokter yang melihat Lidya ketakutan segera meminta maaf atas candaan nya tadi, dan Lidya pun mengangguk memaafkan.
"Eh, pak dokter mau ngapain?" Lidya seketika merapatkan kedua kakinya, karena melihat dokter itu berjongkok di hadapannya.
"Ya mau mengobati luka di lutut mu lah. Memang mau ngapain?"
Seketika Lidya bernafas lega, padahal pikiran nya tadi sudah kemana-mana. Ia tak ingin di lecehkan laki-laki, sebagaimana yang terjadi pada Rosa. Apalagi di ruangan itu hanya ada mereka berdua.
"Berapa biayanya pak?" tanya Lidya sambil membuka tasnya hendak merogoh dompet. Namun berulang kali ia mengobrak abrik tas nya, ia tak menemukan dompetnya.
"Lhoh, dimana dompet ku? Kok ngga ada." gumam Lidya dengan lirih, namun dokter itu bisa mendengarnya.
"Saya tidak menyuruh kamu untuk membayar. Uangnya di simpan saja untuk jajan besok."
"Jangan begitu pak, nanti pak dokter bisa rugi." Lidya terus saja mengobrak abrik tas nya.
Dokter yang melihat nya semakin geleng-geleng kepala dengan kelakuan Lidya yang absturd itu.
"Terus, apakah kamu ada uang untuk membayar ku?" kata dokter itu akhirnya, menimpali perkataan gadis ceroboh di hadapan nya.
"Sudah tidak apa-apa. Segera pulang dan beristirahat lah. Sudah sore pasti orang tua mu mencari mu. Lagian anak sekolah, bukannya pulang dulu, ini main mampir mampir saja."
"Rosa kan saudara saya pak, masa tidak boleh menjenguk saudara sendiri?" Lidya mengerucutkan bibirnya.
"Cuma kamu pasien yang berani membentak dan membantah setiap ucapan dokter dek Lidya."
"Apa!" seru Lidya lagi ketika dokter itu menyebut namanya.
"Jangan ge-er. Bukankah ibu tadi memanggil mu Lidya." ucap dokter itu agar tak ada salah paham.
Huft...
"Maafkan saya pak, dompet saya hilang ngga tahu di mana. Besok kalau kesini saya janji akan bayar hutangnya."
Setelah berkata seperti itu, Lidya keluar dari ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata terima kasih.
Ia segera melajukan motornya membelah jalanan yang selalu ramai itu.
"Dasar gadis keras kepala dan angkuh, sudah di tolong bukannya mengucapkan terima kasih, eh malah nyelonong pergi begitu saja."
Setelah bergumam seperti itu, dokter tadi segera merapikan peralatan dan segera pulang, karena jam kerjanya sudah habis.
Langkahnya terhenti ketika kakinya terasa menginjak sesuatu. Ia pun menundukkan kepalanya, melihat benda yang ada di bawahnya.
"Astaghfirullah, jangan-jangan ini buku pelajaran gadis kecil itu. Dasar gadis ceroboh." bergegas ia membolak balik buku itu.
"Apa-apaan ini, masa nilainya 5, 6. Ternyata selain gadis angkuh, ceroboh, ia juga gadis yang bodoh." gumamnya lagi ketika melihat nilai Lidya yang mengenaskan tertera di bukunya.
Ia pun memasukkan buku itu ke dalam tas kerjanya dan berniat segera mengembalikan nya.
Sesampainya di tempat parkir, dokter itu mengedarkan pandangannya ke setiap sudut, tapi tak menemukannya.
Akhirnya, ia kembali ke mobil dan melajukannya.
______
Bu Cici sangat histeris ketika melihat luka di tangan dan kaki Lidya, sesampainya ia di rumah.
"Mama, cuma luka kecil kok, jangan histeris gitu, nanti Lidya semakin takut. Ini juga sudah di obati pak dokter, mama tenang saja." ucap Lidya menenangkan mamanya.
Lidya bangkit berdiri setelah sekian panjang mamanya memberondong nya dengan banyak pertanyaan. Bergegas ia ke kamarnya untuk segera mandi sore. Tak tahan dengan rasa lengket di sekujur tubuhnya karena aktifitas nya seharian.
Lidya duduk di tepi tempat tidur, setelah ia mandi. Luka-luka nya kian terasa perih karena siraman air.
"Semoga saja beneran cepat sembuh, awas tuh pak dokter kalau sampai bohongin aku." gerutu Lidya kesal.
Lidya pun segera mencari dompetnya yang ia yakini selalu berada di dalam tas, tapi nyatanya hari itu justru tidak ada. Setelah mencarinya, akhirnya ia menemukan nya di bawah kursi. Seketika ia pun merasa lega.
"Hem, sepertinya besok aku harus ke rumah sakit lagi untuk membayar hutang ku sama dokter itu."
______
Hari esoknya, Lidya di antar papanya ke sekolah. Karena mamanya khawatir ia akan kembali mengalami kecelakaan.
Dan siang harinya, sepulang sekolah Lidya harus menaiki ojek untuk kembali ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Lidya berusaha mencari dokter yang kemarin mengobati nya. Namun hasilnya nihil. Akhirnya ia dengan langkah gontai, pergi ke ruangan Rosa.
"Lidya, kamu sudah sembuh?"
"Seperti yang kamu lihat Ros." jawab Lidya dengan senyum mengembang.
Lidya hanya menggoda bayi Rosa, kejadian kemarin membuat ia takut akan mencelakakan bayi tampan itu lagi.
"Kapan kamu diijinkan pulang Ros?"
"Sekarang Lid." Lidya membulatkan matanya, tak menyangka secepatnya itu sahabat nya akan diijinkan pulang.
"Alhamdulillah. Ayo aku bantu siap siap." Ajak Lidya dengan bersemangat.
Akhirnya mereka selesai bersiap-siap, karena barang bawaan mereka tidak banyak.
Setelah selesai bersiap-siap, Lidya dan bu Susi membawa barang bawaan, sedangkan Rosa menggendong bayinya.
Ketiganya berjalan ke depan rumah sakit untuk mencari angkutan. Baru separuh perjalanan, tiba-tiba ada yang membunyikan klakson dari belakang. Mereka pun menoleh bersamaan, dan melihat mobil warna putih berhenti di belakang mereka.
"Pak dokter."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments