Bugh...
Arghhh.....
Rosa berteriak kesakitan karena terpeleset saat keluar kamar mandi.
"Tolong... Tolong.."
Suara Rosa terdengar begitu menyayat hati, tapi tak ada siapapun juga yang datang untuk segera menolong nya. Sampai ia pingsan dan kehilangan banyak darah.
"Rasain tuh, anak kecil saja belagu. Makanya jangan macam-macam sama aku." gumam Anita pelan.
Senyum sinis nya melengkung sempurna di wajahnya. Ia segera menuju ke depan untuk melayani pembeli.
Sedangkan dari lantai atas, Lidya turun dengan tergesa-gesa menuju kamar mandi untuk karyawan karena air di kamar mandi nya kebetulan mati.
"ROSA!"
Seru Lidya karena terkejut melihat Rosa yang tergeletak di lantai, ada genangan darah segar di sekitar kaki Rosa.
Lidya bergetar hebat menyaksikan keadaan Rosa yang seperti itu. Tulang persendian nya bagai rontok sehingga sangat sulit untuk di gerakkan.
Namun, hati kecil nya terus berkata untuk segera membantu Rosa. Setelah menghembuskan nafas panjang berulang kali, barulah ia bisa berjalan sambil berteriak minta tolong.
"Tolong... Tolong..."
Teriak Lidya sampai berulang kali.
"Ada apa sayang?" bu Cici segera menghampiri anaknya setelah mengunci laci kasir.
"Ros... Rosa... Ada darah." Lidya berbicara dengan suara yang tercekat sambil telunjuk tangan nya mengarah pada kamar mandi karyawan.
Mendengar penjelasan anaknya yang tak jelas itu membuat bu Cici seketika merasa tak tenang dan langsung berlari ke arah kamar mandi karyawan di ikuti Anita.
"ROSA!"
Seru bu Cici yang terkejut melihat keadaan Rosa. Sedangkan Anita berpura pura terkejut agar tidak di curigai jika ia yang sudah melakukan hal itu.
Sementara itu, pak Citro yang baru saja pulang kerja dan seperti mendengar suara teriakan, segera berlari ke sumber suara. Ia tergopoh-gopoh datang menghampiri Lidya yang terduduk lemas di meja kasir.
"Ada apa sayang?" pak Citro mengelus kepala Lidya yang justru membuat ia terkejut.
"Rosa yah." Lidya tak mampu meneruskan kata-katanya dan ia menunjuk ke kamar mandi.
Bergegas pak Citro menuju kamar mandi. Ia membelalakkan matanya tak percaya dengan pemandangan yang ada di depan nya saat ini.
"Ayo segera kita bawa ke rumah sakit bu. Siap kan mobilnya, biar ayah yang gendong." Dengan sigap pak Citro menggendong tubuh Rosa yang semakin gendut itu.
Bu Cici segera berjalan mendahului untuk menyiapkan mobil. Di ikuti pak Citro yang berada di belakang nya sedang menggendong Rosa. Melihat kedua orang tuanya keluar dari kamar mandi dan membawa Rosa, Lidya segera mengikuti langkah mereka dengan tertatih dan menangis sesenggukan.
"Lidya ikut yah." teriak Lidya, ia segera naik di bagian belakang mobil di susul oleh bu Cici.
"Sini yah." seru Lidya menunjuk ke pahanya. Ia menyuruh ayahnya untuk meletakkan kepala Rosa di pangkuan nya. Sedangkan badan Rosa bertumpu di pangkuan bu Cici.
Setelah semua siap, bergegas pak Citro melajukan mobil nya, membelah keramaian jalan kota karena lalu lalang kendaraan orang yang pulang kerja.
Sementara itu, Lidya menangis sesenggukan sambil mengelus wajah Rosa.
"Rosa, cepat bangun. Ayo ajari aku belajar lagi." Lidya meracau sambil terus mengusap dan memandangi wajah Rosa yang pucat.
"Ma, kenapa Rosa mengeluarkan banyak darah? Apa bayi nya akan segera lahir?" tanya Lidya di sela-sela isak tangisnya.
"Mama juga tidak tahu Lid. Kita doakan saja semoga Rosa dan bayi nya ngga apa-apa." bu Cici mengelus dan mengecup kening Lidya.
"Apa kalian sudah menghubungi ibunya." celetuk pak Citro kemudian.
Lidya membelalakkan matanya, seakan baru saja tersadar. Ia menangis sejak tadi sampai lupa mengabari ibunya Rosa.
"Aku belum mengabari nya pa, aku pinjam handphone ayah sebentar ya untuk memberi kabar." lalu pak Citro merogoh dan menyerahkan handphone pada Lidya.
"Astaghfirullah. Lidya kan ngga tahu nomor telepon ibunya Rosa ma." Lidya mendengus kesal.
Ia merutuk dalam hati, kenapa terlalu lama menangis, sehingga tidak bisa membantu Rosa semaksimal mungkin.
Akhirnya mobil pun sampai di rumah sakit terdekat. Pak Citro segera menghampiri petugas rumah sakit. Dan tak lama kemudian, ia sudah kembali dengan beberapa perawat yang mengekor di belakangnya sambil mendorong brankar.
Para perawat segera memindahkan Rosa ke brankar dam mendorong nya secepat mungkin agar segera mendapat pertolongan.
"Tunggu saja di luar mbak. Kami akan melakukan tindakan medis untuk menyelamatkan nyawa pasien." kata seorang perawat mencegah Lidya yang hendak ikut masuk ke ruang IGD. Perawat itu segera menutup pintunya.
"Sabar sayang, ayo kita duduk dulu." ucap bu Cici sambil memapah Lidya menuju kursi terdekat di mana ayah nya sedang duduk.
Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruang IGD itu. Lidya yang melihat perawat itu keluar segera menghampirinya di susul oleh kedua orang tuanya.
"Gimana keadaan nya sus?" tanya Lidya yang tak sabar.
"Pasien kehilangan banyak darah, kita harus segera melakukan tindakan operasi untuk menyelamatkan nyawa keduanya."
"Operasi?" kata Lidya dan kedua orangtuanya serempak. Suster pun mengangguk.
"Bagaimana ini ma?" tanya Lidya yang tak paham.
"Keluarga pasien harus menandatangani surat persetujuan dulu sebelum operasi di lakukan." Suster itu menyerahkan selembar surat.
Ketiganya saling beradu pandang. Di satu sisi, mereka ingin agar Rosa cepat di tangani. Sedangkan di sisi yang lain, mereka bukanlah keluarga kandungnya. Tentu saja mereka takut jika terjadi apa-apa dengan Rosa dan bayinya, akan di salahkan oleh ibu Rosa.
"Baiklah saya akan tanda tangani." ucap pak Citro setelah menarik nafas panjang. Bu Cici pun mengangguk sambil tersenyum ke arah suami nya yang sangat bertanggung jawab itu. Sedangkan Lidya langsung memeluk ayahnya.
"Terima kasih pa." ucapnya berulang kali setelah ayahnya menyerahkan selembar kertas itu pada suster.
Lidya tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Rosa dan bayinya. Sedangkan bu Cici berpikir bagaimana cara mengabari ibunya Rosa.
"Yah, kalau mama pulang dulu gimana? ambil handphone dan uang untuk biaya Rosa." pak Citro hanya bisa mengangguk menuruti kemauan istrinya.
"Sayang, mama tinggal sebentar ya." ucap bu Cici pada Lidya sambil mengelus kepala anak kesayangannya itu.
Bu Cici dengan langkah tergopoh-gopoh segera menuju ke parkiran di mana mobilnya berada. Sedangkan Lidya kembali menunjukkan kepalanya sambil terus merapalkan doa. Pak Citro yang melihat anaknya seperti itu segera merengkuh dan memeluk nya erat.
"Sabar sayang, Rosa pasti bisa melewati semuanya." lirih pak Citro tapi masih mampu di dengar Lidya.
Tangan kiri pak Citro mengelus pucuk kepala Lidya dengan penuh kasih sayang. Selama ini ia bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Apa yang menjadi permintaan Lidya selalu di turuti sehingga ia selalu bisa melihat senyum anak gadisnya yang cantik itu.
Tapi kini, untuk pertama kalinya ia melihat anak gadisnya yang cantik jelita menangis sesenggukan karena seseorang yang jelas-jelas tidak ada hubungan darah nya dengan nya. Dan itu membuat pak Citro sangat bersedih.
Dalam hati pak Citro berjanji, akan melakukan apa saja agar senyum di wajah Lidya bersinar lagi. Termasuk membayar total tagihan rumah sakit Rosa, karena ia sudah terlanjur menandatangani surat persetujuan itu.
"Owek.... Owek."
Lidya menajamkan pendengarannya dan beradu pandang dengan ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments