"Owek.... Owek."
Lidya menajamkan pendengarannya dan beradu pandang dengan ayahnya.
"Papa dengar itu?" tanya Lidya untuk meyakinkan bahwa pendengaran nya tak salah. Pak Citro pun mengangguk sambil menyunggingkan senyum.
"Apa itu suara bayi Rosa?" tanyanya lagi sambil menyeka air matanya.
"Mungkin." jawab pak Citro apa adanya.
Lidya sedikit menyunggingkan senyum. Ia berjalan dan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Tak sabar hatinya menunggu pintu itu terbuka sempurna. Sedangkan pak Citro berjalan menuju kantin untuk membelikan Lidya teh hangat, agar bisa tenang.
Bugh...
Arghhh....
Lidya mengerang kesakitan, karena tubuh rampingnya menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi itu.
Hampir saja ia terjatuh, dan dengan sigap dokter itu menahan tubuh Lidya hingga akhirnya dia berada di pelukan dokter muda itu. Kedua netra mereka sejenak saling beradu. Lidya segera tersadar dan berusaha melepaskan pelukan dokter muda yang sangat tampan itu.
"Ma_maafkan saya dokter." ucap Lidya sambil menyatukan kedua tangan di depan dadanya, sedangkan kepala nya menunduk menghadap ke bawah. Ia benar-benar takut akan di marahi oleh dokter itu karena sudah mengganggu jam kerjanya.
Melihat tingkah Lidya yang seperti itu malah membuat dokter muda itu menyunggingkan senyum.
"It's okay, kamu ngga perlu minta maaf." ucapnya lembut. Setelah mendengar hal itu, Lidya mendongakkan kepalanya dan menatap dokter itu lagi.
"Bagaimana keadaan Rosa dok? Apakah dia masih hidup? Terus tadi aku seperti mendengar suara owek owek, apakah itu suara anaknya Rosa? Apakah aku boleh menemui nya sekarang?" Lidya mencecar dokter itu dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Dan lagi-lagi hal itu membuat dokter kembali tersenyum.
"Sudah selesai bertanya?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Lidya, dokter itu justru melempar pertanyaan pada Lidya, yang membuat Lidya mengerutkan keningnya.
"Alhamdulillah, semua masa kritisnya telah lewat. Ia masih hidup dan selamat walaupun sempat mengalami banyak pendarahan. Bayi nya juga sehat. Sebentar lagi kita akan memindahkan nya menuju ruang rawat inap. Jadi, tenanglah gadis kecil."
Lidya mengerutkan keningnya mendengar ucapan terakhir dokter itu yang menyebut nya gadis kecil. Tapi ia tetap bersyukur dan jauh lebih tenang setelah mendengar penjelasannya.
Tak lama kemudian, kedua orang tuanya datang.
"Ayah ibu, alhamdulilah Rosa dan bayinya masih hidup." seru Lidya kegirangan lalu menghambur ke pelukan kedua orangtuanya.
"Alhamdulillah." balas kedua orangtuanya. Perasaan lega menghinggapi ketiganya yang saling berpelukan itu.
Tentu saja, dokter itu masih berdiri di situ dan melihat tingkah lucu Lidya yang mirip anak kecil.
"Maaf, dimana suami nyonya Rosa?" tanya dokter itu memecah keharuan keluarga Lidya.
"Memangnya ada apa dok?" Lidya memberanikan diri untuk bertanya.
"Bayi nya belum diadzankan, silahkan bisa di adzani dulu sebelum pindah ruang."
Penuturan dokter itu membuat ketiganya saling beradu pandang. Dan tidak mungkin pula jika harus mengatakan yang sebenarnya.
"Papa, kamu saja yang mengadzani anaknya Rosa. Dia sudah ku anggap seperti keponakan ku sendiri." celetuk Lidya.
Pak Citro mengernyitkan keningnya, lalu memandang istrinya seolah-olah meminta persetujuan. Dan untungnya bu Cici mengangguk sambil tersenyum yang artinya mengijinkan.
Pak Citro segera mengikuti dokter itu masuk ke ruangan operasi dan mengadzani bayi Rosa. Setelah itu, ia kembali keluar.
Setelah semua di bersihkan, Rosa di pindah menuju kamar rawat inap. Sedangkan bayinya memang di letakkan di kamar khusus untuk bayi. Lidya senantiasa berada di sampingnya menunggu nya sampai ia sadar.
Tak lama kemudian, setelah mendapat telepon dari bu Cici, ibunya Rosa juga segera datang membawa baju ganti untuk Rosa.
"Rosa."
Tiba-tiba bu Susi sudah berada di ambang pintu masuk kamar Rosa. Lidya sekeluarga menoleh ke arah bu Susi berdiri. Untuk pertama kalinya mereka bertemu. Karena selama ini mereka hanya saling kenal lewat penuturan Rosa.
Bu Cici bangkit dari duduknya dan menghampiri bu Susi. Ia memeluk bu Susi layaknya saudara sendiri sambil mengelus punggung nya untuk memberi dukungan.
"Yang sabar ya bu. Alhamdulillah Rosa sudah berhasil melewati masa kritisnya dan tinggal menunggu ia sadar." ucap bu Cici pada bu Susi.
"Terima kasih ya bu atas segala kebaikan dan bantuan yang selama ini ibu lakukan untuk Rosa." ucap bu Susi dengan suara bergetar menahan tangis, melihat wajah Rosa yang masih pucat. Ia mengelus wajah anak semata wayangnya itu dengan penuh kelembutan.
Mereka saling bercerita membahas soal Rosa. Walaupun bu Susi sudah mengikhlaskan kejadian itu dan tidak sedikitpun menyalahkan keluarga bu Cici, tetap saja hal itu membuat bu Cici merasa tak enak.
Hari sudah beranjak malam, pak Citro mengajak pulang karena sepulang kerja ia langsung mengurus Rosa dan akhirnya kecapekan. Lidya dengan berat hati harus meninggalkan Rosa. Ia teringat akan perkataan Rosa untuk bisa membahagiakan kedua orangtuanya.
"Tante, saya pamit dulu ya. Besok pasti aku balik kesini lagi." pamit Lidya sambil mencium punggung tangan ibunya Rosa.
"Iya nak, terima kasih ya sudah menjadi teman yang baik untuk Rosa. Dia selalu bercerita tentang mu di rumah." tutur ibu Rosa yang membuat Lidya sedikit menyunggingkan senyum.
Menurutnya itu terlalu berlebihan, karena Lidya merasa tidak banyak melakukan sesuatu untuk Rosa.
Setelah berpamitan akhirnya keluarga Lidya keluar dari ruang kamar Rosa.
"Lidya, bisa kamu ceritakan sama ayah, kenapa Rosa bisa terpleset?" celetuk ayahnya.
Lidya menengok ke arah ayahnya dan sejenak berpikir.
"Lidya tidak tahu pasti yah. Karena sewaktu Lidya mau ke kamar mandi karyawan, aku sudah menemukan Rosa tergeletak dengan bersimbah darah."
"Yah, tadi sewaktu ibu mau menolong Rosa juga hampir terpeleset. Sepertinya ibu melihat genangan air di sana." imbuh bu Cici. Dahinya juga berkerut seakan sedang berpikir.
"Berarti sama seperti ayah dong, tadi ayah juga hampir terpeleset. Apa mungkin....."
"Mungkin apa pa?" sahut Lidya cepat.
"Ah sudahlah, mungkin ini hanya dugaan ayah saja."
"Jangan buat kita penasaran yah. Ayo katakan yang sebenarnya." desak Lidya.
"Mungkin ada seseorang yang ingin mencelakai Rosa." jelas pak Citro yang membuat Lidya membulatkan matanya dan mulutnya menganga lebar. Bu Cici juga tampak syok mendengar penjelasan suaminya.
"Papa, jangan ngawur deh. Bikin ibu jadi parno. Masa di rumah kita ada orang jahat." bu Cici seketika merasa panik karena selama ini keadaan rumah nya selalu baik baik saja. Dan baru ada kejadian seperti ini seumur hidupnya.
"Papa ngga ada maksud seperti itu. Tapi lihat saja, masa iya ada genangan air sebanyak itu di luar kamar mandi. Biasanya juga ada kain keset, tapi kenapa tadi ngga ada? Apa baru di cuci?"
"Enak saja, memang mama ngga nyiapin keset pengganti kalau keset yang satunya baru di cuci. Ibu sendiri kok yang naruh keset pengganti tadi pagi." balas bu Cici tak mau kalah.
"Daripada papa sama mama terus menerus berdebat, mending kita cek cctv-nya saja." cetus Lidya yang membungkam perdebatan di antara kedua orang tuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments