"Tia, ada yang ingin Ibu sampaikan, namun sebelumnya ibu minta maaf padamu, jika keputusan Hans dan Ibu membuatmu menderita."
Tia mendongak dan menatap Bu Ningsih dengan kepala yang dipenuhi pertanyaan.
"Bu, semua ini sudah jadi takdirku, tidaklah mungkin aku menyalahkan Kak Hans dan Ibu atas penderitaan yang aku alami, aku bersyukur mengetahui sekarang daripada nanti maka aku lebih kecewa lagi,"ucap Tia membuat Bu Ningsih dan Hans tercengang. Sungguh luar biasa akhlak Tia begitu mulia.
"Baiklah, Ibu, akan bercerita dan ibu harap kamu akan memaafkan kami," ucap Bu Ningsih.
"Dua tahun lalu ...." Ningsih mulai menceritakan bagaimana Hans memutuskan untuk menceraikan Wulan.
Flashback 2 tahun lalu.
Waktu itu saat Hans tiba-tiba tidak enak badan, Wulan sengaja meninggalkan Hans sendirian hanya untuk berkumpul dengan teman-teman sosialitanya.
"Wulan, tidak kah kau lihat jika Hans sedang sakit? Dia membutuhkan mu, Nak. Karena kamu istrinya," ucap Ningsih menghalangi kepergian Wulan.
"Bu, Ibu bisa kan urusin mas Hans sebentar? Aku tidak mungkin meninggalkan begitu saja arisan teman-teman sosialitaku. Mau ditaruh dimana harga diriku, Bu? Toh, dia juga anak ibu, sudah sepatutnya ibu juga merawatnya!" ucap Wulan sambil memakai sepatu high heels nya yang memiliki tinggi sembilan sentimeter.
Ningsih mengelus dada mendengar jawaban dari Wulan. Tidak disangka jika menantu satu-satunya yang dia harapkan bisa menjadi istri yang baik untuk Hans, ternyata begitu tega membiarkan Hans yang sedang sakit.
"Wulan, permisi dulu, Bu," pamit Wulan. Wulan menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja tamu.
Ningsih menatap hampa punggung Wulan yang terbuka hingga menghilang dari balik pintu masuk. Ningsih mengambil nafas panjang lalu mengembuskannya pelan. Berharap dadanya sedikit lega. Ningsih pun kembali masuk ke dalam kamar Hans. Dilihatnya sang putra yang tengah terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya.
Kasih sayang seorang ibu tidak lah ada batasnya walau sang anak sudah memiliki pelabuhan sendiri untuk menambatkan hatinya.
"Hans, waktunya makan, ibu akan mengambilkan nasi untukmu," ucap Ningsih sembari mengusap kepala Hans yang masih demam.
"Buu ... Wulan kemana? Biarkan dia yang mengambilkan makan untuk Hans. Ibu istirahat saja, agar penyakit ini tidak kambuh lagi," ucap Hans dengan mata masih terpejam.
Ningsih berlinang air mata melihat anaknya sakit masih mengingat kesehatan ibunya. Ningsih menyeka air matanya dengan lembut dia membalas perkataan Hans. "Hans, ibu sudah makan tadi, ini ibu bawakan makan untukmu. Makanlah lalu minum obat agar kamu cepat sembuh, Nak." ucap Ningsih.
"Memang Wulan kemana, Bu?" tanya Hans dengan lemah.
"Wulan keluar sebentar untuk membeli keperluan dapur yang sudah mau habis. Dia berpesan pada ibu untuk menggantikannya mengantar makanan dan obat untukmu. Sekarang kamu makan ya, biar cepat sehat dan bisa bekerja kembali." Ningsih terpaksa berbohong agar anaknya bisa kembali bersemangat untuk cepat sembuh.
Seorang ibu kadang rela dirinya berbohong demi kebaikan anaknya walau kenyataan buang diterima membuatnya sakit. Hans perlahan bangun, dia menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Ningsih mulai menyuapi anaknya dari kursi roda. Dia berusaha untuk menyuapi anaknya dengan pelan. Hans berusaha mengunyah sesuap demi sesuap karena tenggorokannya masih sakit untuk menelan. Ki
Dengan telaten Ningsih menyuapi anaknya, di dalam hatinya terbesit rasa khawatir. Dulu dia meminta Hans untuk menikah agar ada yang merawat Hans dikala sakit. Tubuh Hans agak lemah, jika kelelahan maka dia akan demam dan kambuh tipesnya. Namun realita tidaklah semanis ekspetasinya. Menantu yang dia harapkan karena melihat Wulan yang kelihatan lugu waktu itu membuat Ningsih menaruh harapan pada Wulan.
Tiga hari kemudian ...
"Mas! Uang jatah bulananku mengapa berkurang?" Protes Wulan saat dia menghitung uang belanja bulanan yang berkurang banyak.
"Maaf, Wulan. Mas banyak ijin tidak masuk kantor karena sakit, jadi banyak orderan yang lolos dari perusahaan. Saat ini perusahaan sedang mengalami kebangkrutan. Mas sudah memecat beberapa karyawan untuk mengurangi pengeluaran," jawab Hans sambil memakai dasi di lehernya.
"Mas sih, Mas? Mas baru lima hari tidak masuk kantor, tapi mengapa banyak orderan yang lolos?" Wulan tidak percaya dengan perkataan Hans. Baru juga lima hari suaminya tidak masuk tapi mengapa banyak orderan yang lolos dari genggaman.
"Mas juga tidak tahu, melihat seringnya mas sakit banyak customer yang memilih order di perusahaan lain," jawab Hans lagi.
"Ck! Makanya mas itu jangan banyak ijinnya, kelamaan sakit jadi rugi kan!" Wulan mencebik kesal sambil berlalu dari Hans yang diam mematung sambil mengelus dada.
Hans mengingat kejadian kemarin pagi sebelum mengambil uang untuk Wulan di Bank. Hans terpaksa mengambil tunai di Bank karena Hans tidak memegang kartu ATM. Kartu ATM dipegang oleh Wulan, sebagai tabungan di masa tua.
"Tuan, ada penarikan besar-besaran dari ATM atas nama tuan, kami khawatirkan jika ini terus berlanjut maka perusahaan akan bangkrut," ucap Zaffan--sekretaris Hans.
"Baiklah, aku akan ke bank dan mengalihkan beberapa uang ke rekening baru. Jangan sampai istriku tahu jika aku memindahkan uang ke rekening baru," jawab Hans sambil menepuk pundak Zaffan sekretaris sekaligus sahabat karibnya.
Hans menuju ke bank untuk membuka rekening baru atas nama dirinya dan meminta pihak bank untuk memindahkan separuh lebih uang yang ada di rekening lama ke rekening baru. Setelah semua selesai Hans mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu untuk diberikan pada Wulan sebagai nafkah bulanan.
"Wulan ... ini uang bulanan untukmu," ucap Hans menyerahkan dua puluh lembar uang ratusan ribu pada Wulan.
Braakk!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 298 Episodes
Comments
Bzaa
Wulan matre banget nih
2024-07-21
0
Akbar Razaq
Hans ini pegawai apa bos si koq pake banyak ijinnya .
2024-06-21
0
martina melati
knp gk dbw k ugd terus lanjut opname d rs???
2024-04-04
2