Praang ...
Gelas yang dipegang Tia jatuh berhamburan di lantai. Dia terkejut membaca story' WA kakak perempuannya.
"Apa! Mbak Wulan dikenalkan pada kedua orang tua Mas Ridho? Sedangkan aku tidak pernah sekalipun," pekik Tia. Dia mencoba membuka story suaminya. Dan story' WA suaminya sama dengan story Wulan.
Glek ...
Tia menelan kasar ludahnya, hatinya sakit. Luka yang tak berdarah itu semakin menganga lebar. Tia termenung, apakah dia akan sanggup menjalani pernikahan ini. Hidup dipoligami dengan kakaknya sendiri. Lama Tia berpikir lantas dia pun bangkit untuk membereskan semua barangnya. Tia memutuskan untuk meninggalkan rumah ini.
Surat-surat berharga yang Tia miliki, yang terdiri dari surat perhiasan dan dua surat tanah yang dia beli tanpa sepengetahuan suaminya dia masukkan dalam koper. Tia lebih senang menginvestasikan sedikit sisa uang belanja untuk dia tabung. Hal inilah yang membuat Tia jarang perawatan salon ataupun membeli tas berbranded.
Dengan hati yang mantap dia meninggalkan secarik kertas untuk suaminya.
'Mas, Tia kalah dan tidak sanggup menjalankan pernikahan ini. Surat gugatan cerai akan segera memyusul'
Isi surat Tia. Tia akan menjual tanahnya untuk mengurus surat cerai yang tidaklah murah. Setelah selesai, Tia memesan taksi langganannya.
"Selamat tinggal kenangan, Semoga kehidupanku lebih baik lagi." Tia menatap rumah yang dia tempati untuk terakhir kalinya.
"Non, kita mau kemana?" tanya supir taksi.
"Kita akan ke kota Pak. Carikan Saya kontrakan untuk tempat tinggal sementara," jawab Tia menatap lurus ke depan.
Tia merasa heran dengan hatinya sendiri, di saat dia keluar dari rumah Ridho tidak ada sedikitpun air mata yang menetes. Kelegaan hatilah yang saat ini Tia rasakan.
Supir taksi mengangguk paham, beruntungnya dia memiliki saudara di kota. Sang supir pun melajukan taksinya menuju kota.
Sementara itu pesta sudah usai, Ridho dan Wulan kembali ke rumah mereka.
"Si Tia mana sih! Rumah dalam kondisi gelap dibiarkan saja!" omel Meri.
"Iya Ma, kemana dia?" potong Cahyo.
"Paling lagi menangis di dalam Ma," timpal Wulan. Dia keluar dari mobil dibantu oleh Cahyo.
Meri dan Cahyo melangkah duluan menuju pintu rumah. Mereka teriak memanggil Tia.
"Tia, Tiaa ...." teriak Meri.
Berulang kali Meri memanggil Tia dan menggedor pintu, tidak ada sahutan. Ridho pun mengeluarkan kunci cadangan.
"Maaf Ma, biar Ridho buka dengan kunci ini," ujar Ridho sambil memasukkan kunci ke handle pintu.
"Dasar anak gak waras dia. Nangis aja kerjaannya!" omel Meri.
"Ma, jangan begitu. Kalau dia pergi kita juga yang repot. Siapa yang mengurus ni rumah, dan siapa yang akan memasak buat kita," sahut Cahyo.
"Benar juga! Wulan lagi hamil, dia tidak boleh kecapekan," timpal Meri. Mereka berdiri di depan pintu masuk menunggu Ridho buka pintu. Setelah berhasil mereka semua masuk ke dalam rumah. Hal pertama yang dicari Meri adalah Tia. Dengan langkah terburu dia mendobrak pintu kamar Tia.
Brak ...
Pintu yang tidak terkunci pun berhasil dibuka dengan sekali dobrakan.
"Tia! Dimana Kau!!!" teriak Meri. Emosinya sudah dipucuk kepala. Meri mencari Tia di semua penjuru kamar. Tapi kamar itu tidak ada tanda-tanda Tia habis dari sana. Semua tertata rapi.
"Ma, dimana Tia?" tanya Ridho menghampiri Meri.
"Dia tidak ada di sini, mungkin sedang keluar. Lebih baik kita beristirahat, biarkan saja dia!" ucap Meri berlalu keluar dari kamar Tia.
Ridho menatap kamar yang kosong itu. Ada sekelebat rasa kecewa ketika tidak mendapati Tia yang menyambutnya.
"Mas ... Ayo kita istirahat. Sudah tidak tahan nih," ucap Wulan memeluk Ridho dari belakang.
"Iya Sayang, sebentar Mas mau mengambil baju Mas dari lemari Tia." Ridho melepaskan pelukan Wulan untuk mengambil baju. Saat dia lewat di meja rias Tia. Ada sepucuk surat tergeletak di dekat foto pernikahannya dengan Tia. Ridho mengambil surat itu lalu membuka dan membacanya.
Ridho tercengang dengan kata-kata Tia dalam surat itu. Dia tak mengira jika Tia memilih untuk pergi.
"Ada apa Mas?" tanya Wulan dari belakang Ridho.
"Ini, Tia memilih pergi." Ridho memberikan surat itu pada Wulan.
"Oh, baguslah. Minim tidak ada yang sakit hati jika mas bersamaku," ucap Wulan dengan senyum menyeringai. Dalam hati dia tertawa senang. Apa yang dimiliki Tia kini menjadi miliknya. Sungguh tidak berperasaan.
"Sudahlah Mas. Kenapa kau terlihat sedih begitu?" tanya Wulan menyadarkan Ridho dari lamunan.
"Ah, Tidak. Mas hanya terkejut saja." Ridho kembali mengambil bajunya di lemari.
"Mas, boleh kan kalau aku pindah ke sini?" tanya Wulan. Belum ada sehari Tia pergi, kamar Tia sudah diambil Wulan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 298 Episodes
Comments
Natha
saran Thor...
coba cari literatur tentang pernikahan dan cerai..
walaupun dunia halu.. setidaknya jangan terlalu berlawanan
2024-07-21
2
Tut Ningsih
waduh kejam sekaĺi lerlakuan saudara tia .
2024-07-13
0
Akbar Razaq
Semahal mahalnya biaya ngurus surat cere gak harus jual tanah kali ya tp klo utk kehidupan Tia ke depannya ya masuk akal sih
2024-06-21
2