Sesosok tubuh tinggi atletis menggeliat terjaga dari tidurnya. Matanya menyipit menyesuaikan cahaya yang masuk di sela sela ventilasi kamar mengganggu penglihatannya.
" Astaghfirullahal adzim !! " Pekik Zian sontak terduduk di tempat tidurnya setelah sadar ternyata matahari sudah sempurna memberikan sinarnya untuk bumi.
" Kenapa bisa aku bangun siang. Aku tidak sholat subuh ?? " Gumam Zian termangu, kesadarannya belum sepenuhnya pulih.
Remaja tampan itu mengusap wajahnya dengan kasar. Mata elangnya memindai keseluruh ruangan dan menatap sekilas ke arah jam yang menempel di dinding kamar.
" Sudah jam delapan "
" Ini di rumah Umi ?? " Imbuhnya lagi dalam gumaman seraya berusaha memulihkan ingatannya. Selintas peristiwa semalam mengganggu benaknya, membuatnya mengernyitkan keningnya.
" Astaghfirullah..apa aku mabuk semalam ?? " Zian memijat pangkal hidungnya untuk mengurangi rasa pening yang masih sedikit tersisa.
Zian menundukan pandangannya memindai pakaian yang dipakainya.
" Aku pakai piyama tidur. Artinya semalam memang Om Ahdan mengganti pakaianku. Aku fikir itu aku mimpi mabuk semalam " Anak sulung Maliq dan Syifa mencoba menyatukan potongan puzzle ingatan tentang peristiwa semalam.
" Aaarghh... Aku ingat, Umi marah padaku dan menamparku " Sontak Zian beranjak dan berlari ke dalam kamar mandi. Remaja itu buru buru mandi lalu berganti pakaian yang ada di dalam lemari.
Dia memang tidak tinggal menetap di rumah orang tuanya. Tapi dia memiliki kamar pribadi di rumah mewah ini beserta dengan pakaiannya yang lengkap termasuk pakaian sekolahnya yang disiapkan oleh sang Umi tercinta.
" Biarlah aku absen ke sekolah hari ini. Aku harus segera menemui Umi, untuk meminta maaf. Semoga saja Umi belum berangkat ke kampus " Gumam Zian sambil buru buru keluar dari kamarnya. Dia hanya memakai kaos oblong dan celana pendek.
Zian mengedarkan pandangannya. Kamarnya yang terletak di lantai dua mengharuskannya untuk segera turun ke lantai satu untuk mencari keberadaan wanita yang melahirkannya.
Suasana dalam rumah sangat sepi. Jelas sepi karena jam segini penghuninya sudah beraktifitas pada kesibukan masing-masing. Abinya Zian pasti sudah berangkat ke kantor. Adik kembarnya sudah pergi ke sekolah. Entah dengan Uminya. Zian berharap, Uminya belum berangkat ke kampus.
Degup jantung pemuda tampan itu bertalu tak beraturan. Dia takut berhadapan dengan Uminya. Dia sadar perbuatannya semalam sudah membuat Uminya sangat murka.
" Ekhem...Bu Ati !! Apa Umi masih di rumah ?? " Sapa Zian mendekat ke arah Bu Ati yang sedang mencuci piring.
Asisten rumah tangga paruh baya itu sontak membalikan badannya menatap anak majikannya.
" Eeh..nak Zian sudah bangun ?? " Seloroh Bu Ati.
" Sarapan dulu, nak. Nanti saya siapkan "
" Mm...nantilah sarapannya, bu. Aku lagi cari Umi. Umi belum ke kampuskan ?? " Tukas Zian. Wajah tegangnya sangat terlihat dalam pandangan Bu Ati.
" Iya nak. Umi masih di rumah dan kayanya beliau tidak ke kampus hari ini. Umi sengaja menunggu nak Zian di ruang kerjanya " Ujar Bu Ati sopan. Tadi setelah sarapan, Syifa memang berpesan pada asisten rumah tangganya itu bahwa dia menunggu Zian di ruang kerjanya.
Syifa masih tetap menjadi seorang dosen. Dia masih aktif mengajar, walau materi yang diberikan oleh sang suami berkali kali lipat dari jumlah gajinya menjadi seorang dosen.
Syifa berprinsip, dia jadi dosen sebagai bentuk pengabdiannya pada negara untuk bisa menciptakan generasi generasi yang berilmu dan cerdas. Bukan atas dasar mengharapkan materi lagi di sini.
Zian begegas menuju ruang kerja Uminya walau degup jantungnya terasa semakin keras memukul dadanya.
" Hhfft...aku harus berani mengakui kesalahanku pada Umi " Gumam Zian berdiri terpaku di depan pintu ruang kerja Uminya. Pemuda itu sedang berusaha menetralkan detak jantungnya.
Dengan tangan yang bergetar, remaja ini berusaha mengetuk pintu tebal terbuat dari kayu agatis batu itu.
" Tok..tok...tok..!! Assalamualaikum, Mi " Seru Zian sambil mengetuk ragu ragu pintu ruang kerja Uminya.
" Masuk !! " Sahut suara lembut tapi bernada dingin dari dalam ruangan.
" Ceklek "
" Assalamualaikum, Mi !! " Zian menunduk sambil mengucapkan salam setelah berada di depan sang Umi.
Syifa sedang berdiri sambil bersedekap dada di depan jendela yang menghadap langsung dengan taman kecil di halaman rumahnya yang luas.
Wanita kesayangan Maliq itu membalikan badannya menatap putranya.
" Waalaikum salam. Duduk !! " Titah Syifa dengan tatapan datar menghujam ke arah anak sulungnya.
Zian beringsut menuju sofa dalam ruangan lalu duduk dengan tatapan tetap menunduk. Dia tidak memiliki keberanian walau hanya sekedar menatap sekilas ke arah Uminya.
Seorang Zian yang sedari kecil belajar ilmu bela diri dan sudah puluhan kali memenangkan medali emas dalam turnamen olah raga bela diri. Hari ini keberaniannya menghadapi lawan seakan menciut.
Pemuda ini merasa seperti seorang Ferdy Sambo yang sedang didakwah dengan hukuman mati. Tapi yang jelas dia tidak ingin mencari pembenaran. Dia akan berusaha untuk jujur dan tidak akan mencari kambing hitam atas kesalahannya. Dia akan bersikap sebagai seorang kesatria. Harapannya adalah, ingin mendapatkan maaf dari pemilik kunci surganya.
" Tap..tap..tap.. " Suara langkah Syifa yang teratur terdengar menggema di setiap sudut ruangan. Langkah yang sebenarnya ringan dan halus itu, serasa langkah malaikat maut yang berjalan mendekat ke arah Zian.
Syifa menghempaskan tubuhnya di sofa tunggal bersisian dengan tempat duduk putra sulungnya.
" Tahu, kenapa Umi memanggil kakak ke sini ?? " Ucap Syifa datar dengan tatapan tajam menghujam tubuh Zian.
" Deg..aahh...!! " Zian menjerit dalam hati.
Sungguh. Saat ini Zian lebih memilih bertarung menghadapi lawan untuk adu jurus dibanding harus menghadapi Uminya dengan aura dingin, membuat tubuh atletis Zian menggigil tapi tidak demam.
Remaja itu sedikit mendongak lalu mentap sekilas ke arah Uminya tapi tidak berani berlama lama.
" Ma maafkan Kakak, Mi " Zian memberanikan diri untuk buka suara walaupun tergagap.
" Untuk ?? " Sarkas Syifa dengan tatapan tajam seakan menembus batok kepala Zian.
" Ka kakak tidak sengaja mabuk semalam, Mi " Sahut Zian masih tetap menunduk.
Syifa tersenyum sinis dan menghela nafasnya dengan kasar.
" Sewaktu kakak kecil, Umi merelakan Kakak belajar di pesantren. Umi menahan perasaan Umi, demi untuk supaya kakak menjadi manusia yang lebih baik di mata Allah. Di setiap untaian doa dan harapan Umi, Umi berharap bahwa kakak adalah panutan untuk adek Hana dan Hani "
" Tapi hari ini, Umi tersadar bahwa Umi tidak sesuci dan sebaik itu, jika mengharapkan terlalu tinggi kebaikan dari Allah. Umi sadar, bahwa Umi hanyalah seorang pendosa. Umi adalah seorang ibu yang gagal mengajarkan tentang kebaikan kepada anaknya "
" Deg..."
Zian terkejut mendengar ucapan Uminya. Hatinya perih, ternyata dia telah melukai dan mengecewakan hati Uminya.
" Maafkan kakak, Mi. Ini bukan salah Umi. Tapi kakak yang tidak tahu diri " Zian beranjak dari tempatnya dan bersimpuh di kaki Syifa dengan air mata telah menganak sungai.
Syifa bergeming. Tatapan penuh kekecewaan sangat terlihat jelas dari netra bening wanita dewasa ini.
Zian mencium kedua kaki Uminya sambil terisak. " Maafkan kakak, mi !! Kakak bersumpah, kakak tidak sengaja mabuk. Kakak dijebak " Isak Zian sedikit takut melihat Uminya bungkam tak menanggapi.
" Bukan itu yang membuat Umi marah, nak. Tapi perlakuanmu pada Abimu yang membuat Umi sedih " Gumam Syifa dalam hati.
Tiba tiba Syifa berdiri dan berjalan meninggalkan Zian yang masih bersimpuh di lantai.
" Umi !! Maafkan, kakak. Mi !! " pekik Zian melihat Uminya meninggalkannya tanpa sepata kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
👩 [ nia ]
othor ny fans ny ferdi sambo🤣🤣
2022-12-23
2
✨Nana✨
bagus syifa,,,memang anak keras kepala spt zian hrs dikasih pelajaran🤭🤭dg wajah yg dingin dan datar itu sdh bkin zian takut setengah mati. Zian blm sadar klo uminya kecewa krn zian msh bersikap dingin sm abinya...syifa kecewa dan merasa gagal mendidik zian. Please deh zian cpt km introspeksi donk..jgn digedein tuh egomu..kecewa sih kecewa sm abimu tp jg ga berlangsung slm bertahun-thn jg kali...
2022-12-01
0