Pria itu tersenyum menawan melihat caranya makan. Tanpa sadar, jarinya meraih kotak tissue dan diulurkan untuk menyeka bekas saus yang menempel hingga ke pipi Gaby.
Tubuh Gaby mundur ke belakang sedikit, ketika pipinya disentuh dengan kertas tissue. Dengan cepat dia meraih box tissu dan menyeka kotoran yang mungkin menempel di sana. "Terima kasih," ujarnya malu.
Di dalam hatinya Gaby terus merutuki diri sendiri yang tanpa disadari berakting konyol di depan pria itu. "Jangan-jangan nanti dia mengira aku sedang berusaha menarik perhatiannya," batinnya.
Dengan pemikiran itu, dia menenangkan diri dan memperbaiki sikap. Dia mulai duduk dengan anggun, khas wanita aristokrat Inggris. "Ahh, baru aku sadar pentingnya belajar table manner. Agar tdk memalukan di depan orang berkelas seperti dia." pikirnya.
Pria tampan itu terus makan dengan asik. Tapi matanya yang jeli, bisa melihat perubahan sikap Gaby yang semula santai, kini berubah kaku seperti manekin sedang makan. Anggun, teratur dan menjemukan. Dia menyipitkan matanya sedikit dan menyiratkan kekecewaan.
"Santai saja. Ini bukan resto Fine Dining!" sindirnya.
Gaby gelagapan mendapat tanggapan begitu. Dia jadi makin kikuk. "Kau bodoh, Gaby. Sikapmu terlalu berlebihan!" rutuknya dalam hati.
Setelahnya, tak banyak yang mereka bicarakan. Tuan Scott hanya bertanya dia dari mana. Tapi beberapa menit kemudian situasi berubah hangat, setelah Tuan Scott menanyakan tujuannya datang ke kota itu. Terutama karena mengetahui bahwa dia baru saja membuat riset literatur di perpustakaan kuno kota itu. Tenggelam di perpustakaan dengan perut kosong, jelas bukan tujuan seorang wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota.
"Ah, kau seorang novelist. Tak kusangka bertemu seorang penulis lain di kota ini. Sebuah kehormatan untukku mengenalmu, Miss Gaby, sambutnya dengan sikap formal dan meletakkan tangan di dada.
Tawa Gaby seringan udara. Dia sedikit tersanjung diperlakukan seperti seorang gadis bangsawan dalam cerita-cerita Inggris lama. Hal itu membuat pipinya sedikit bersemu kemerahan.
Sesaat berikutnya dia merasa malu sendiri. "Bagaimana aku bisa bersikap seperti seorang gadis remaja yang sedang jatuh cinta?" batinnya heran.
Dengan cepat dihelanya napas panjang dan mengosongkan pikiran dari hal yang bukan-bukan. Pria di depannya terlalu tampan dan berkharisma. Dia punya daya tarik alami yang bisa membuat wanita merasa tersanjung dan lupa diri tanpa dia harus berusaha keras.
"Apa anda punya banyak kekasih, Tuan Scott?"
Gaby terkejut dengan ucapannya sendiri. Dengan cepat tangannya menepuk mulut kemudian ditutupnya dengan jari-jari.
Wajahnya yang berganti-ganti warna antara putih pucat dan kemerahan seperti orang demam, membuat pria itu tak pelak tertawa dan menunjukkan deretannya giginya yang bersih dan teratur rapi.
Dan itupun masih juga membuat Gaby terpana. "Ya Tuhan ... dia makhluk dari mana?"
Tuan Scott diam, memperhatikan wanita di depannya yang melihat ke arahnya penuh perhatian, seperti melihat patung seni di museum. Dia bisa melihat, wanita itu mengamati rambutnya, matanya, hidung, bibir, bahkan lehernya. Dia menggelengkan kepala dan mendesah.
Dijentikkannya jari beberapa kali di depan Gaby untuk menghentikan keterpukauan wanita itu padanya.
"Hah, ada apa?" tanya Gaby gelagapan.
"Tidak ada apa-apa. Tapi makananmu mungkin perlu dihangatkan lagi, jika kau terus menatapku seperti tadi," ucap pria itu.
Gaby terkejut dan malu. Wajahnya kembali memerah. Dia menunduk menghadapi piringnya yang belum disentuh. Meskipun pria itu berkata dengan nada sebiasa mungkin, tapi tetap saja itu memalukan. "Apa yang terjadi denganku?" pikirnya kebingungan.
Sambil makan, Gaby menyimpulkan, bahwa dia tak boleh melihat langsung ke arah pria itu, atau dia akan kembali kehilangan akal sehat.
Makan siang itu usai dengan cepat dan tanpa insiden lagi. Tak seorang pun lagi yang mencoba untuk berbasa-basi ataupun bersikap ramah. Itu untuk menghindari hal-hal gila yang mungkin terjadi setelahnya.
Di depan restoran mereka berpisah. Tuan Scott akan kembali ke toko. Dan Gaby beralasan ingin kembali ke perpustakaan. Namun sebenarnya dia hanya duduk di depan perempatan di mana tadi dia jatuh bergulingan dipeluk Tuan Scott. Wajahnya menghangat mengingat itu.
Ada gelenyar aneh merayapi hatinya, memikirkan makan siang hari ini. Tanpa dapat ditahan, bibirnya tersenyum sendiri. Bahkan meskipun dia sudah berusaha menggigit bibir, garis senyum itu memaksa untuk tetap eksis.
"Apa yang kualami ini?" batinnya. Hati dan pikirannya tidak padu. Dia merasa gamang. Dilihatnya foto Martin di ponsel dengan rasa bersalah. "Apakah aku mengkhianatimu? Aku tak bisa menahan rasa bahagia saat mengingatnya," keluhnya dalam hati.
Kemudian wanita itu kaget sedikit, saat ponsel itu bergetar di tangannya. Panggilan dari pria yang sudah tiga tahun menemani hidupnya. "Ya, sayang," sahutnya begitu telepon tersambung.
"Apa kau sudah makan?" tanya Martin.
"Baru saja selesai. Aku harus sedikit berjalan agar makanan tadi mudah dicerna," sahutnya sambil tersenyum.
"Apa yang kau lakukan tadi?" tanya pria itu lagi.
"Ke perpustakaan untuk membuat riset. Aku sudah menetapkan tema novel berikutnya. Dan tadi sudah mendapatkan beberapa referensi tambahan," jelasnya sambil jalan.
"Bagus sekali. Semoga bukumu berikutnya sukses, sayangku," ujar Martin.
"Wish me luck!" timpal Gaby penuh senyum. Matanya menoleh ke kanan dan kiri. Dia sudah melihat taman kota yang beberapa hari lalu dilihatnya. Jadi sekarang tinggal melintasi taman, maka dia akan menemukan jalan pulang lebih cepat.
"Kau mau ke mana?" tanya Martin.
"Menyeberang jalan. Tadi siang aku menyeberang untuk makan, hampir saja ditabrak mobil!" cerita Gaby tanpa sadar.
"Apa!" seru Martin ngeri. "Lalu bagaimana?" tanyanya.
"Lihat saja, tak terjadi apa-apa kok. Seseorang menarikku ke tepi jalan lebih cepat dari mobil itu," sahutnya ringan.
"Berhati-hatilah saat menyeberang!" tegur Martin.
"Apa yang kau lamunkan tadi? Apa kau merindukanku?" ajuknya.
"Hahahaa ...." Wanita muda itu tertawa. Dia sedang berkonsentrasi menyeberang sekarang. Matanya mengawasi semua kendaraan yang berhenti, lalu lampu jalan yang masih menyala merah. Langkahnya cepat, setengah berlari untuk segera mencapai trotoar.
"Huft, akhirnya bisa menyeberang dengan selamat," gumamnya lega.
"Apa yang kau gumamkan?" tanya Martin.
"Aku bilang, aku merindukanmu," ujar Gaby tersenyum manis.
"Aku juga merindukanmu!" timpal Martin.
"Apa kau tahu jalan pulang dari situ?" tanyanya lagi.
"Ya. Dari sini, tinggal berjalan lurus saja. Maka akan menemukan rumah Emily. Aku sudah pernah berjalan-jalan di taman ini," kata Gaby menenangkan suaminya.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menemani perjalanan pulangmu, agar kau tak kesepian!" putus Martin.
Gaby tertawa mendengarnya. "Apa kau tak punya pekerjaan lain sekarang?" selidik Gaby.
"Tentu saja ada. Bukankah projek ini harus segera selesai, agar aku bisa menyusulmu liburan!" Martin mengingatkan.
"Nah ... kalau begitu, pergilah bekerja. Kita bisa melihat kota-kota lain yang cantik di Scotland!" tegas Gaby.
"Aku hanya sedang bosan di lab dan ingin mengobrol denganmu. Sudah berhari-hari kita hanya bicara singkat. Aku takkan bisa terbiasa bangun pagi tanpa melihatmu!" rayu pria itu.
"Kau pintar merayu sekarang, heh?" ledek Gaby tertawa kecil.
Keduanya asik ngobrol sepanjang jalan. Dan tak terasa, Gaby akhirnya sampai juga ke flat-nya.
"Aku sudah sampai. Terima kasih sudah menemaniku. Sebaiknya kau kembali bekerja sekarang!" ujarnya.
"Baiklah. Aku senang kau sudah di rumah lagi. Selamat istirahat, Sayangku," pamit Martin.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Mr. Scary
Suaminya baik banget. jgn dikhianati
2022-11-14
4
Mr. Scary
Bener. mulai tumbuh bibit cinta.
2022-11-14
4
Mr. Scary
Gaby yg lupa diri. nembak duluan
2022-11-14
4