Gaby melangkah ringan menuruni tangga batu. Matahari bersinar cerah dan angin berhembus dengan lembut kali ini. "Semangat!" gumamnya lirih.
"Hai, Gaby ... kau terlihat sangat ceria pagi ini!" sapa Emily. Dia sedang menyapu dedaunan yang berguguran di halaman depan toko.
"Pagi, Emily. Hari yang indah membuatku bersemangat!" jawabnya hangat.
"Apa tokomu sudah buka?" tanyanya.
""Kau ingin sarapan?" Emily bertanya balik. Tapi sapu yang sedang dipegangnya, diletakkan di dekat tong sampah yang sudah terisi setengahnya.
"Ya. Kukira lebih baik mengisi perut dulu sebelum berkeliling kota dan menikmati pemandangan indah di kotamu ini," jelas Gaby.
"Kau bisa memilih menu dan sarapan ringan di dalam. Ayo!" ajak Emily. Dia jalan mendahului dan membuka pintu toko. Gaby mengikutinya. Aroma roti dan keju panggang menerpa hidungnya.
"Sepertinya Rotimu sangat lezat!" komentar Gaby.
Emily hanya tersenyum mendengarnya. Dia datang dan menyodorkan kertas menu sederhana pada pelanggan barunya.
"Kau perlu mencoba teh atau kopi di sini, sebelum memberi komentar." Senyum Emily.
Gaby memeriksa menu yang ada. Tak banyak varian kopi di situ. Hanya ada Capuccino, lalu beberapa jenis teh yang sebenarnya lebih cocok dengan makanaan ringan. Jadi Gaby memilih Capuccino dan Sandwich salad and ham, untuk sarapannya.
"Akan kubuatkan!" Emily membawa kertas menunya dan melangkah ke balik counter. Dia segera menyiapkan kopi di coffee machine. Kemudian menyiapkan roti sandwich pesanan Gaby.
Saat menunggu seorang pria yang lebih tua dari Emily, membuka pintu dan masuk.
"Pagi Emily .... Kukira, apa yang menghentikanmu dari menyapu halaman. Ternyata ada pelanggan baru yang terlihat lapar, di sini!" Pria itu menyapa riang begitu masuk.
"Dia yang menyewa flatku di lantai tiga! Namanya Gaby, Edward," Emily memperkenalkan Gaby yang sedang asik dengan ponselnya.
"Hai, Gaby. Apakah kau sudah berkeliling kota kami?" tanya Edward.
Gaby menggeleng. "Apa kau ada saran, tempat yang harus aku kunjungi pertama kali?" tanya Gaby berbasa-basi.
"Aku tak tahu mesti merekomendasikan yang mana lebih dulu. Itu terdengar seperti sedang memberi peringkat tempat terbaik. Padahal semua tempat di sini sangat bagu, hingga aku tak bisa mengatakan yang mana yang paling baik untuk kau kunjungi pertama kali." Edward nyerocos tak henti.
Emily tertawa kecil mendengar jawaban Edward. "Emily, kalau boleh kusarankan, lebih baik kau berjalan dulu ke kota. Kau bisa melihat spot-spot cantik. Dan takdir akan membimbing langkah kakimu ke tempat bagus pertama versimu!" saran Emily.
"Kurasa, saranmu yang benar. Apa kau punya brosur atau sesuatu seperti itu?" tanya Gaby.
"Itu, ada di rak dekat pintu!" ujar Emily, menunjuk melalui ekor matanya.
Gaby mengikuti arah lirikan mata Emily. Dia menemukan rak dari fiber transparan yang berisi berberapa kertas brosur wisata kota. Diraihnya satu brosur yang terdekat dengan tempat duduknya, dan mellihat-lihat isinya. Tempat-tempat indah dan iconik. Kastil tua, katedral, old house, hingga perpustakaan tua bahkan foto-foto jalanan yang terbuat dari bati coble stone.
"Apa aku boleh mengambilnya?" tanya Gaby ingin tahu.
Emily mengangguk. "Itu berguna jika kau tersesat. Di bagian belakang ada alamat toko ini dan nomor teleponku. Kau bisa tunjukkan alamat di stempel itu pada seseorang, jika tak tahu jalan pulang!"
Gaby segera melihat bagian belakang brosur wisata tersebut. Memang ada kotak yang disediakan untuk menerakan stempel bagi pemilik tempat yang menyebarkannya.
"Perfect!" puji Gaby.
"Sebaiknya kau sarapan dulu sebelum jalan." Emily menghidangkan makanan dan kopi pesanannya.
"Terima kasih, Emily."
Gaby melirik tuan Edward. "Mari sarapan, Tuan Edward," sapa Gaby sopan sebelum mulai menikmati sarapan hangat dan lezatnya.
Setengah jam kemudian.
"Sebaiknya aku pergi sekarang, sebelum cuaca berubah tiba-tiba," pamit Gaby. Emily mengangguk.
"Sampai jumpa lagi, Tuan Edward," Gaby berpamitan pada pria tua yang sedang asik menonton acara berita pagi di televisi.
"Berhati-hatilah. Kalau jatuh, kau harus bangun sendiri!" kelakar Tuan Edward.
Gaby tertawa kecil mendapatkan kehangatan di toko kecil itu. Dia melambaikan tangan pada Tuan Edward sambil membuka pintu. Langkahnya ringan menapaki halaman yang juga ditutupi coble stone dan hanya menyisakan sedikit untuk tempat tumbuhnya pohon yang entah apa di tengah sana. Pohon itu meneduhi mobil mungil Emily yang diparkir di sebelahnya.
Seorang pria tua berbelok masuk ke halaman toko Emily. "Good morning, Dear," sapanya ramah.
Gaby mengangguk. "Good morning, Sir," sahut Gaby sambil berlalu.
Di belakangnya, orang tua itu berhenti dan mengamatinya menyusuri jalan. "Have a nice day!" serunya.
Gaby menoleh lagi dan melambaikan tangan menyahuti.
Seorang wanita muda menyusuri jalan setapak blok pemukiman yang sepertinya sudah dibangun sangat lama. Sesekali kameranya mengambil gambar-gambar yang menurutnya sangat menarik. Setelah sampai di ujung jalan, di pertigaan cafe yang didatanginya malam tadi, dia berhenti dan memeriksa foto-foto yang terekam kameranya. Lalu mengambil satu petikan pamungkas dari ujung jalan itu ke arah dalam. "Sempurna," gumamnya puas.
Gaby berbelok ke arah kiri, mengikuti jalur jalan yang ditempuhnya tadi malam. Itu jalan menuju kota. Dia ingat bahwa toko buku yang dilihatnya tadi malam, seharusnya akan terlihat cantik di pagi hari. Dengan langkah pasti, dia menuju ke sana. Sperti anjuran Emily, biarkan takdir membimbing langkah kakinya.
Sepanjang jalan dipenuhi berbagai toko kecil. Dari mulai toko suvenir, toko barang antik, toko aksesoris, toko sabun, toko kraft dan lain sebagainya. Kota yang sunyi tadi malam kini menggeliat penuh semangat menyambut sapaan mesra sang mentari.
Akhirnya matanya tertumbuk pada toko bunga yang sangat indah dan ceria. Tapi bukan toko bung itu yang menarik langkahnya untuk menyeberang jalan. Namun rasa penasaran pada toko buku yang unik itulah yang menariknya ke sana.
Gaby mendongakkan kepala melihat toko buku di sudut jalan itu. "Toko yang menarik!" batinnya.
Tanpa sadar, kakinya melangkah menapaki anak tangga di depan pintu masuk.
"Selamat datang di toko buku Scott Sutherland," sapa seorang pria muda, yang diduga Gaby adalah pelayan toko.
"Saya ingin melihat-lihat duku, boleh?" tanya Gaby ragu.
"Silakan, Miss. Jika butuh bantuan, katakan saja. Saya akan ada di sini," ujarnya ramah.
Gaby mengangguk dan tersenyum. Matanya tertarik pada rak buku tinggi yang penuh dengan buku-buku tebal yang diperkirakan Gaby sebagai bagian dari buku cetakan lama. Itu terlihat tak biasa di sebuah toko buku kecil.
Kakinya melangkah ke rak tersebut. membaca tulisan-tulisan cantik yang tertera di punggung buku. Kemudian tahun terbitan yang tercetak di situ. Rata-rata tercetak tahun seribu delapan ratusan. Bahkan ada yang memiliki sampul berbeda entah dari bahan apa, tercetak tahun seribu tujuh ratusan.
"Ya Tuhan, ini harta karun, bagi yang menemukan dan bisa membaca tulisannya!" gumamnya.
"Itu memang harta karunku. Hanya bisa dibaca oleh yang berminat, tetapi tidak untuk dijual." Sebuah suara menyahuti gumaman halusnya tadi.
Gaby terkejut dan menoleh ke belakang. Seorang pria tampan berkharisma berdiri dan tersenyum ramah padanya.
"Apa dia pemilik toko ini? Dia lebih cocok menjadi seorang tuan muda kaya raya pemilik beberapa perusahaan atau perkebunan anggur di pedesaan. Sangat berkarakter!" Pikiran Gaby langsung melayang pada tokoh-tokoh di novel masa kini.
Pria di depannya tersenyum. Gaby terkejut. "Apa dia bisa membaca pikiranku?" batinnya kuatir.
*********
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Alderlinch
Ganteng bangett.. bisa klepek2 aku thor
2022-11-21
5
Alderlinch
Tua banget bukunya
2022-11-21
4
Alderlinch
Orang2 yg ramah
2022-11-21
4