Keesokan pagi.
"Hai Emily!" sapa Gaby sambil melangkah ringan.
"Apa kau mau pergi tour lagi?" tanya wanita paruh baya itu.
"Tidak. Aku mau mencari makan. Kemudian pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan riset. Aku perlu menambahkan sesuatu dalam ceritaku," jawabnya.
"Apa kau sudah tahu di mana perpustakaan kota ini?" tanya Emily.
"Ya. Aku mencarinya lewat internet dan map semalaman. Aku akan menemukannya!" ujarnya percaya diri.
"Kenapa kau tidak pergi ke toko buku Tuan Scott? Koleksinya juga bagus," saran Emily. Wanita itu ingin sekali menambahkan bahwa tempat itu lebih dekat ketimbang perpustakaan. Tapi dia tak mau dianggap cerewet dan membuat Gaby makin antipati pada Tuan Scott.
"Bukankah kita harus membeli buku jika di toko? Aku hanya perlu mencari sedikit di sana, sedikit di sini sebagai referensi. Jika membeli, rasanya terlalu boros juga," kekehnya.
"Baiklah. Hati-hatilah di jalan. Semoga harimu menyenangkan!" Emily melambaikan tangannya.
Gaby melangkah ke arah yang sama dengan taman tempat dia pernah bertemu seseorang yang mirip Dokter Thompson. Kali ini dia akan berhati-hati dan tidak peduli pada orang lain. Tampaknya itu hal bagus. Jangan beri celah orang mendekatinya.
"Hai Gaby, kau mau pergi ke mana sepagi ini?" sapa Tuan Edward yang berpapasan dengannya.
"Gaby terkejut..Dia curiga itu bukanlah Tuan Edward yang asli. Dengan langkah terburu, ditinggalkannya pria tua yang menatapnya bingung.
"Apakah ada sesuatu di wajahku yang membuatnya takut?" gumamnya heran.
"Hah ... merepotkan sekali," keluhnya. Sekarang dia sudah berada di perempatan tempat Dokter Thompson palsu itu berbelok ke arah lain.
"Sialan. Kenapa juga aku harus memikirkannya?" geramnya. Diperiksanya gps di ponsel dan terus mengikuti petunjuk map yang berbicara tak henti.
Setengah jam kemudian, dia menemukan perpustakaan itu. Gedung tua yang masih sangat berfungsi. Kakinya melangkah makin cepat agar segera sampai ke sana.
Hingga pukul sepuluh pagi, Gaby terbenam dalam tumpukan buku-buku perpustakaan yang diambilnya di rak. Namun perutnya yang lapar karena belum diisi sejak pagi, menghentikan keasikannya.
"Aku harus cari tempat makan lagi di tempat asing," gerutunya. Dengan terpaksa disudahinya keasikan membaca. Menyimpan tablet yang digunakan untuk mencatat, ke dalam tas. Lalu keluar buru-buru.
"Permisi, Nona. Apakah anda tahu di mana tempat makan terdekat di sini?" tanya Gaby pada seorang penjaga perpustakaan.
"Anda hanya perlu pergi keluar. Lalu ikuti jalan depan. Di perempatan pertama ada tangga menurun. Ikuti saja. Di ujung tangga itu ada restoran Asia, jika anda suka," jelasnya.
"Bagus sekali. Saya suka itu," sambut Gaby. "Terima kasih!"
Tempat makan itu tak sulit untuk ditemukan. Yang sulit adalah, tempat itu terlalu ramai dan dia tak kebagian bangku!
"Bagaimana ini?" pikirnya galau. Perutnya sangat lapar. Dan rasanya tak tahan lagi dengan aroma masakan yang tercium dari tempatnya berdiri.
Matanya mencari-cari bangku taman. Dan dia menemukannya, di seberang jalan sana. Akhirnya Gaby memesan makanan take away dari resto.Asia tersebut. Dengan tak sabar dan liur hampir tumpah, wanita itu menyeberangi jalan menuju ke seberang. Lampu lalu lintas yang merah sudah berkedip-kedip, tanda akan berganti hijau tak lama lagi.
Gaby masih bergegas dan setengah berlari, saat kendaraan pertama melintas tak sabar dengan kecepatan tinggi. Gaby memekik panik melihat mobil itu menjadi begitu besar di depannya. "Ya Tuhan ...," batinnya pasrah.
Tapi tiba-tiba seseorang melompat dan menariknya untuk menghindar. Mobil itu melintas secepat angin dan berlalu dari sana. Meninggalkan dua orang yang saling bergulingan dari jalan aspal ke tepi trotoar.
"Ahhh!" Gaby memegang kepalanya. Menghindarkannya dari benturan ke jalan.
Setelah guling-gulingan itu berhenti, Gaby melihat penolongnya dengan mimik tak percaya. "Bagaimana bisa kau lagi?" tanyanya heran.
Pria itu berdiri dan mengibaskan pakaiannya yang kotor karena debu. Dia tak terganggu sedikitpun dengan reaksi Gaby yang tak sesuai. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir. Mencoba membersihkan benerapa kotoran kecil yang tersangkut di rambut wanita itu.
"Apa kau menguntitku?" tuduh Gaby.
"Bukankah seharusnya aku menerima ucapan terima kasih? Lalu aku akan membalas dengan, "Tidak masalah"," Pria itu menelengkan sedikit kepalanya. Gayanya sangat berkelas.
Gaby terdiam. "Ya, seharusnya aku mengucapkan terima kasih. Jika tak ditariknya, aku mungkin sudah tewas sekarang," batinnya.
"Maafkan, saya terkejut. Bagaimana bisa tiba-tiba anda lagi yang menolong saya?" ujar Gaby. Nada suaranya menurun. Sekarang dia ikut mengibas-ngibas debu di baju dan celana panjangnya.
Matanya tertuju pada kotak makanan Asia yang tadi dibeli. Makanan itu sudah hancur terlindas roda mobil yang lalu-lalang.
Pria itu menangkap pandangan dan sinar matanya. "Kau belum makan?"
Gaby menggeleng dengan wajah kuyu. Dilihatnya restoran Asia itu justru sudah makin ramai, menjelang makan siang.
"Ikut aku. Akan kutunjukkan tempat makan enak di sebelah sana," ujarnya.
Gaby mengikutinya. Perutnya sudah keruyukan sekarang. Dengan malu, ditutupinya perut dengan tas besar. Tapi pria itu ternyata tak berkomentar apapun.
Gaby melihat sebuah restoran lain di depan sana. Dan, sangat ramai tentu saja. Ini sudah mendekati jam makan siang.
"Hallo Tuan Scott," sapa petugas di pintu masuk.
"Meja biasa!" ujar Tuan Scott pada pelayan. Pelayan itu segera membawanya ke arah mejanya.
Surprise! Gaby tak melihat satupun meja kosong di ruangan itu. Tapi meja biasa yang dipesan Tuan Scott, masih kosong! "Apakah itu meja khusus untuknya?" pikir Gaby.
Pelayan menyerahkan buku menu kepada Gaby, agar dia memilih makanannya.
Gaby memilih makanan berat, karena dia memang sangat lapar.
"Kau tidak memesan?" disodorkannya buku menu itu pada Tuan Scott.
"Dia tahu aku harus makan apa hari ini," sahut Tuan Scott.
Pelayan itu pergi setelah mencatat pesanan Gaby.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Gaby to the point. Pria itu amat sangat misterius di matanya. Tapi seisi kota tampak sangat mengenalnya. Apakah dia orang terkenal? Artis? Bangsawan? Bekas pejabat kota? Atau malah seorang penulis terkenal di kota ini? Gaby sangat penasaran.
"Hahahaa .... Aku hanya seorang pemilik toko buku," jawabnya dengan ekspresi riang. Dia merasa pertanyaan Gaby sangat lucu.
"Lalu bagaimana kau menjelaskan kehadiranmu yang tiba-tiba ada di persimpangan itu dan menolongku?" tanya Gaby.
"Apa kau tahu, di sebelah kiri resto Asia itu adalah barber shop langgananku? Aku baru selesai pangkas dan akan pergi makan ke sini, saat melihatmu hampir ditabrak mobil!" jelasnya.
"Kenapa kau tidak lari?" tanyanya heran.
"Aku terlalu gugup. Kakiku terasa dipaku erat ke bumi." Gaby menunduk.
"Lalu, apa penjelasanmu tentang bangku kosong diantara semua bangku penuh?" selidik Gaby.
"Karena aku sudah bilang saat lewat di sini tadi. Bahwa aku akan mampir makan setelah memangkas rambut." jawabnya santai. "Kalau tidak dipesan, jangan harap bisa makan di sini!" jelasnya tanpa diminta.
Penjelasan itu masuk akal. Tadi dia bisa lihat orang mengantri di depan pintu masuk. Gaby memperhatikan potongan rambut pria itu yang sekarang memang lebih pendek dari saat terakhir dilihatnya. "Sangat tampan," batinnya dengan wajah merona kemerahan.
Pelayan mengantarkan makanan yang mereka pesan. Dengan tak sabar Gaby menyendok semangkok sup krim ke dalam mulutnya. Perutnya terasa nyaman setelah satu mangkuk sup krim hangat dan lezat, habis ditelannya.
"Makanlah pelan-pelan," saran Tuan Scott. Pria itu menggeleng melihat wanita muda di depannya ini makan dengan tak sabar.
"Mmmh," angguk Gaby sambil menggigit paha ayam panggang di mulut.
Pria itu tersenyum menawan melihat caranya makan. Tanpa sadar, jarinya meraih kotak tissue dan diulurkan untuk menyeka bekas saus yang menempel hingga ke pipi Gaby.
********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Dewi
Beneran tuan scott lg. udh kayak hantu ya, ada di mana2
2022-11-18
2
Dewi
Tuan Scot lg kah?
2022-11-18
2
Mr. Scary
mau makan aja kudu ada scene mau mati dulu
2022-11-14
4