Tiga hari setelah itu, Martin mengantar istri tercintanya ke bandara. "Jangan lupa mengubungiku begitu kau sampai, oke?" Martin mengingatkan.
Gaby lebih banyak diam. Beberapa kali dia hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala.
""Apa kau gugup?" tanya Martin penuh perhatian.
Gaby mengangguk dan menatap suaminya dengan mata menyipit.
"Jika kau sangat takut, kita batalkan saja!" Martin memberikan pilihan.
"Tidak! Kita sudah membeli tiket dan membayar sewa flat itu untuk sebulan!" Gaby cemberut. Dia tak begitu suka membuang-buang uang percuma.
"Aku berangkat!" Wanita muda itu meneguhkan hatinya.
"Kau yakin?" Martin masih mencoba meyakinkannya sekali lagi.
"Ya! Aku yakin!" Kali ini suaranya jelas, tegas dan tanpa ragu. Anggukannya memperkuat ucapan yang baru saja dilontarkan.
"Baiklah ... bersenang-senanglah di sana. Aku akan merindukanmu, di sini," Martin mengecup kening istrinya sekali lagi, sebelum melepaskan pegangannya.
"I love you!" ujar Gaby sambil melambaikan tangan dan melangkah pergi.
"I love you more!" balas Martin. Senyumnya sedikit sumbang. Ini kali pertama mereka berjauhan untuk waktu lama, setelah menikah selama tiga tahun. Dia sedikit tak terbiasa.
Setelah melewati proses panjang dari cek in hingga menunggu, akhirnya pesawat bersiap untuk lepas landas menuju Slotlandia. Pesawat itu langsung menuju Edinburg, kota tua yang jadi impian Gaby untuk dikunjungi.
Tak banyak yang dilakukannya sepanjang perjalanan, selain makan dan tidur. Dengan bosan, dicobanya menambahkan beberapa catatan dalam jadwal liburannya. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya tenggelam dalan mimpi mengunjungi desa-desa tradisional di pinggir kota. Gaby bahkan membuat catatan tempat mana yang akan dikunjunginya, jika Martin menyusul nanti.
Keesokan pagi, pesawat itu sudah mendarat di Edinburg. Udara dingin langsung menyergap, begitu dia keluar dari pintu, sembari menyeret koper. Udara sejuk menerpa pipinya yang seputih pualam. Meninggalkan jejak semu kemerahan di sana.
"Gabriela!" terdengar seseorang menyerukan namanya di antara kerumunan orang di pintu keluar.
Kepala Gaby celingukan mencari. Pemilik flat yang disewanya memang berjanji akan menjemput di bandara.
"Gabriela!" Terdengar lagi suara yang yang memanggilnya.
Gaby melihat wanita paruh baya yang melambaikan tangan padanya. Diseretnya koper untuk menghampiri wanita itu. Wajahnya cantik dan lembut serta terawat baik, di usianya yang menurut Gaby, belum sampai lima puluh tahun.
"Emily?" tanya Gaby meyakinkan.
"Yah, Emily Blair," sahutnya.
"Senang bertemu denganmu. Apa kau menunggu lama di cuaca begini?" tanya Gaby khawatir.
"Tidak! Aku sampai lima menit yang lalu. Ayo, masukkan kopermu dan pergi dari sini, sebelum turun hujan!" ujarnya.
Gaby menyeret kopernya ke bagasi belakang yang dibuka Emily. Dengan segera mobil mungil itu meluncur pergi, meninggalkan bandara yang selalu hiruk pikuk.
"Apakah flat itu jauh dari bandara?" tanya Gaby ingin tahu.
"Lumayan. Bukankah kau memilih flatku karena letaknya sedikit di luar kota?" Emily balik bertanya.
"Yah, benar. Aku ingin ketenangan dan menikmati waktu liburanku dengan santai!" jawab Gaby.
"Antara flatku, dan bandara, ada kota Edinburg, ujarnya tersenyum.
Gaby mengangguk mengerti. Dia melemparkan pandangan ke luar kaca mobil. Pemandangan indah musim gugur memukau matanya.
Satu jam kemudian, mereka tiba. Gaby keluar dari mobil dengan cepat. Sejak memasuki kota Edinburg, matanya tak henti-henti dibuat terpana.
"Kota yang indah sekali!" ujarnya penuh keharuan. Impian lamanya untuk menjejakkan kaki di sini, sudah terwujud.
"Kulihat, kau sangat menyukainya!" Emily tersenyum senang.
Gaby mengangguk. "Sudah lama aku ingin bisa ke sini. Menjelajahi seluruh Scotland, jika mungkin," cerocosnya tanpa sadar.
"Itu pasti menyenangkan. Kau butuh setidaknya tiga bulan, untuk menjejaki seluruh Scotland!" timpal Emily.
"Itu flat yang kau sewa! Seluruh lantai tiga, untukmu!" Emily tersenyum senang.
"Akhirnya aku punya teman," tambahnya.
"Hai Emily, kau sudah kembali?" sapa seorang wanita berkaca mata.
"Yah. Jalanan sangat lancar hari ini," timpal Emily.
"Kau yang menyewa lantai tiga?" tanya wanita itu saat melihat Gaby menarik kopernya menyusuri jalan masuk.
"Ya!" sahut Gaby singkat. Dia tak terlalu suka pada wanita itu, karena terlalu cerewet.
"Bagus. Akhirnya ada tambahan orang untuk mengobrol sambil menikmati teh sore," ujarnya.
Gaby hanya tersenyum dan terus mengikuti Emily. Dia punya tangga sendiri di samping sebuah toko kecil yang diberi nama White Tea House.
"Apa toko itu milikmu?" tanya Gaby.
"Ya, sahut Emily singkat. Wanita itu berhenti sejenak. "Aku tinggal di sini!" tunjuknya ke arah sebuah pintu bercat hijau botol.
"Oh, bagus untukmu. Tak perlu jauh pergi ke tok," gurau Gaby.
"Kau benar. Jika kita bisa tinggal dan bekerja di satu tempat, bukankah itu lebih efisien dan hemat?" tambah Emily.
"Benar sekali!" Gaby mengangguk. Dia sudah kelelahan, lapar dan kedinginan.
"Ini kamarmu!" Emily membuka kunci pintu ruangan lantai tiga.
Gaby segera masuk, untuk menghindari udara dingin menusuk. Di dalam sana udara tidak terlalu hangat, sebab berada tepat di bawah atap.
Emily dengan cepat menyalakan mesin pemanas ruangan. "Ini mesin pemanas. Ini saklar lampu. Ada fan juga. Dan ini pantry mungil untukmu memasak sesuatu, jika ingin."
Emily menjelaskan semua tombol yang ada di ruangan itu. Gaby mengamati flatnya yang sederhana namun cukup luas dan lengkap.
"Ke sini lah. Kau mungkin akan menikmati duduk di sini, sambil melihat pemandangan kota!"
Emily memanggil Gaby ke dekat jendela kaca besar dengan bench yang dilapisi busa empuk.
Gaby mencoba duduk di tepi jendela. Dan itu memang menakjubkan. Dari situ dia bisa melihat puncak-puncak bangunan yang unik, khas era pertengahan.
Mulutnya yang terbuka meyakinkan Emily bahwa tamunya puas dengan kamarnya. "Tunggu saat petang dan lampu-lampu kota menyala. It's amazing!" Emily sedikit berpromosi.
"Aku jadi tak sabar menunggu petang," aku Gaby.
"Baik, aku akan mentransfer sisa uang sewanya!" ujar Gaby, agar Emily bisa segera pergi, dan dia bisa langsung istirahat.
Tangannya membuka ponsel dan mengutak-atik, mencari wifi, agar proses pembayaran cepat selesai.
Suara dentingan ponsel Emily jadi tanda bahwa pembayaran sewa flat itu telah dilunasi.
"Baiklah. Kau bisa istirahat sejenak. Jika lapar, kau turunlah ke bawah. Atau berjalan sedikit ke kanan hingga ujung. Nanti kau akan menemukan cafe di seberang jalan itu!" saran Emily.
"Baik. Terima kasih sarannya. Aku ingin istirahat sebentar," sahut Gaby.
"Selamat menikmati liburanmu, Gabriella!" ujar Emily.
"Panggil aku Gaby saja." Wanita muda itu tersenyum mamis penuh rasa terima kasih.
"Ok, Gaby."
Emily meluar dari ruangan itu dan turun. Tak berselang lama, terdengar rintik hujan turun ke bumi.
"Hah .... Bukan pergi ke Inggris, kalau tidak bertemu hujan." Gaby menggelengkan kepalanya.
Martin sudah mengingatkannya untuk membawa sepatu boot yang anti air, payung, obat flu, serta jaket tebal dan hangat.
"Scotland, aku datang dari jauh. Maka kau harus memberiku banyak ide bagus!" gumamnya lirih.
*******
Visual. Jacaranda adl pohon peneduh, berbunga ungu.
Kota Edinburg.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Dewi
wah, kotanya cantik❤❤
2022-11-08
6
Mr. Scary
Memang kota yang cantik
2022-11-01
7
nurul zakiyah
wow😍
2022-10-29
7