Gaby menikmati makan siang di cafe sederhana, agak ke pinggir kota. Tempatnya menyenangkan dan dia memilih untuk duduk di bangku luar menikmati tiupan angin. Mendengarkan orang-orang bercengkrama, sambil mencatat berbagai hal yang menarik minatnya.
Tanpa disadari, dia telah lebih dari satu jam duduk di tempat itu. Kesadaran itu muncul ketika orang-orang mulai mendesahkan rasa kecewa karena cuaca tiba-tiba berubah mendung. Cafe itu mulai ditinggalkan pengunjungnya sedikit-demi sedikit.
Dari mendung, berubah cepat menjadi gelap. Sementara Gaby belum lagi hafal jalanan kota itu. Jakanan mulai sepi ketika rintik hujan pertama jatuh, yang langsung disusul dengan curahan air dari langit.
Dengan berlari-lari kecil dia menyusuri jalanan basah yang ditinggalkan para pejalan kaki.. Tapi entah bagaimana, tidak ada tempat untuknya bisa singgah dan berteduh. Dengan sedikit cemas, Gaby memelukkan kedua tangannya di dada sambil mendekap kamera dan tas, agar ponsel dan kameranya tidak sampai kebasahan.
Siang yang cerah berubah dengan cepat seperti saat petang. Beberapa bangunan tampak mulai menyalakan lampu mereka. Jalanan juga mulai diterangi cahaya kuning samar.
Tiba di sebuah persimpangan, wanita itu ragu mau meneruskan langkah ke arah mana. Dia benar-benar lupa jalan pulang. Dengan putus asa, Gaby berhenti di bawah pohon peneduh. "Bagaimana caranya kembali?" pikirnya risau.
"Ahh, brosur Emily!" ingatnya tiba-tiba. Matanya melihat ke sekitar, berharap ada orang lewat yang bisa ditanyainya tentang arah jalan ke rumah Emily.
Hingga lima menit berlalu, memang tak ada siapapun yang lewat di hujan deras itu. Tubuhnya sendiri sudah basah kuyup dan mulai menggigil. Dia bisa demam dan kena flu kapan saja .
Dengan tangan gemetar, Gaby mencari ponselnya di dalan tas yang sangat dilindunginya di dalam dekapannya. Dihubunginya nomor Emily.
"Ya, hallo. Dengan siapa ini?" terdengar sapaan Emily di ujung sana.
"Emily, ini aku, Gaby!" serunya cepat.
"Aku mendengar suara hujan yang deras di tempatmu. Apakah kau kehujanan? Kau ada di mana?" Suara Emily sangat khawatir.
"Sesungguhnya aku tak tau ini ada di mana. Aku hanya mengikuti langkah kakiku dan menikmati kota ini. Sampai hujan turun tanpa aba-aba!" adunya sedih.
"Sayang, tenangkan dirimu. Aku tak bisa membantumu, jika kau tak memberi tahuku di mana kau berada saat ini!" ujar Emily tegas. Dia dapat mengendalikan dirinya dari kepanikan. Mungkin sudah seringkali turis terjebak hujan dan tak tahu jalan pulang.
"Aku berada di perempatan jalan, di bawah pohon. Kehujanan dan kedinginan." Gaby menahan rasa takut dan sedih yang membuncah.
"Sebelumnya kau di mana? Di dekat situ, apakah ada toko? Apa nama toko atau jalan di situ?" Emily membimbing Gaby untuk menemukan lokasi dia berada.
"Aku tadi mengunjungi kastil, lalu katedral. Terus, melihat-lihat sekitar. Terakhir berhenti untuk makan di cafe. Sebelum hujan turun aku sudah pergi dari cafe. Sekarang aku tak tahu ada di mana ...." Suaranya mulai lirih.
"Aku tahu kau akan makin kebasahan. Tapi ini penting. Bisakah kau berjalan ke persimpangan jalan dan melihat nama jalan di situ? Aku akan segera menjemputmu!" Suara Emily yang tenang, berhasil menenangkan hati Gaby.
"Oke, akan kuihat!" ujarnya cepat.
Gaby memeluk ponsel dan melindunginya dari kebasahan.
"Persimpangan Stafford Street dan William Street!"
Gaby menjawab tak lama kemudian. meskipun basah kuyup, tapi kini dia lega, karena Emily sudah tahu lokasinya.
"Oke, jangan ke mana-mana. Carilah tempat berteduh yang tidak terlalu jauh dari sana," pesan Emily.
"Oke. Terima kasih, Emily. Kau malaikatku," ucapnya tulus.
"Tunggulah di sana. Malaikatmu akan segera datang, oke?" ujar Emily menenangkan Gaby.
"Oke," sahut Gaby.
Ponsel dimatikannya dan kembali disimpan di dalam tas, agar tak kebasahan. Diliriknya jam mungil yang melingkari pergelangan tangannya. Hampir pukul lima. "Sayang sekali, tak bisa mengikuti diskusi buku petang ini," sesalnya.
Setengah jam terlewati tanpa dia berpindah dari sana. Langit sudah gelap sama sekali. Tubuhnya menggingil dan gemetaran. Kepalanya juga sudah mulai pusing dan kakinya kram.
"Sedang apa kau berdiri di sini dan kebasahan?" tegur seseorang. Gaby tak bisa melihat terlalu jelas dalam keremangan lampu yang berada jauh dari tempatnya berdiri.
Tapi pria itu mengenakan mantel hitam panjang serta topi. Yang mengherankan, bahkan meski sudah memakai mantel dan topi, dia tetap menggunakan payung untuk melindungi dirinya dari hujan lebat musim gugur.
Pria itu memayungi Gaby dengan mimik iba. "Jika kau bersedia, mari mampir ke tempatku saja," tawarnya sopan.
"Temanku sedang dalam perjalanan menjemputku. Sudah setengah jam, seharusnya dia akan sampai sebentar lagi," tolak Gaby sopan.
"Siapa yang akan keluar rumah di hujan besar seperti ini? Apa temanmu juga wanita?" Dia akan mengalami kesulitan di jalan. Mari berteduh dulu. Nanti hubungi dia dan katakan kau di tempatku, agar dia menyusul ke sana!" sarannya.
"Apakah tempatmu jauh?" tanya Gaby mulai ragu.
"Tidak jauh, hanya di belokan itu saja. Nanti kau bisa kenakan pakaian mantan istriku agar hangat, dan bisa duduk di depan perapian. Kau akan segera flu jika terus seperti ini," bujuk pria itu.
Gaby tak sempat menggeleng, karena kepalanya yang berkunang-kunang sudah membuatnya pingsan!
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Bucin akut
bahaya banget jalan sendiri di kota asing
2022-11-23
2
Le min hoo
siapakah dia?
2022-11-21
3
Alderlinch
yaelah, pake pingsan di saat genting
2022-11-21
4