"Kau mengajakku keluar di hawa dingin, tentu bukan sekedar ingin mencari cafe baru, kan? Katakan saja ada apa!" tanya Gaby akhirnya.
Farah yang sedang mengangkat sendok makaroni ke mulut, terdiam. Sendok itu diletakkan lagi di mangkuk. Wanita itu menatap Gaby dalam-dalam.
"Aku mau menanyakan naskah novel terbarumu. Jika kau tidak menerbitkan satu judul di akhir tahun ini, maka namamu akan ditenggelamkan oleh penulis-penulis baru!" Farah menekankan intonasi suaranya. Sikapnya sangat serius.
Sebagai editor dia tentu tak ingin Gaby berpindah ke penerbit lain yang mungkin lebih terkenal, setelah perusahaannya membina namanya. Sementara sebagai teman, dia ingin membantu memecahkan masalah Gaby jika itu membuatnya tidak produktif menulis.
Direktur mulai khawatir saat awal tahun lalu Gaby tak mengirimkan naskah baru. dan sekarang sudah bulan Oktober. Itu artinya Gaby melewatkan dua jadwal terbitnya. Jadi mereka mengirim Farah untuk menanyakan masalahnya.
Bagaimanapun, novel-novel yang ditulis Gaby tetap laku di pasaran. Hingga novel pertamanya dicetak ulang pertengahan tahun lalu, untuk menutupi absennya dia menyetor karya baru.
Bahu Gaby melorot turun dan wajahnya sedih. Sikapnya itu mengkhawatirkan Farah. Dia sangat tahu bahwa Gaby adalah pribadi yang jujur. Dia selalu mengekspresikan emosi apa adanya. Semua bisa dibaca dengan jelas di wajahnya, seakan tertulis disana apa yang dirasakannya.
"Katakan padaku, jika kau punya masalah. Apakah Martin menyakitimu?" selidik Farah dengan kening mengerut.
Martin temannya, Gaby juga temannya. Dialah yang memperkenalkan dua orang itu dulu, karena merasa keduanya akan cocok satu sama lain.
Gaby menggeleng menyanggah dugaan Farah. "Aku tidak tahu, Farah. Entah bagaimana, aku merasa otakku buntu. Aku tak bisa menulis, bahkan satu katapun!"
Farah terkejut melihat mata Gaby yang berkaca-kaca. Keningnya yang mengerut bingung seakan melontarkan permintaan tolong. Itu ekspresi yang sangat jujur yang pernah ditangkap Farah dari wajah wanita cantik itu.
"Kau mungkin sedang stress. Sebelum makin parah sebaiknya kau minta ijin pada Martin untuk berlibur. Jika perlu, pergilah berdua dengannya. Tempat dan suasana baru mungkin akan memberi energi baru untuk kalian berdua serta mengendorkan ketegangan yang membelenggumu!" saran Farah panjang lebar.
Mata Gaby membulat mendengar saran itu. "Kurasa kau ada benarnya. Sudah dua tahun kami tidak pergi berlibur. Nanti malam akan kutanyakan padanya. Semoga Martin setuju untuk meluangkan waktu akhir bulan ini!"
Melihat Gaby kembali bersemangat, Farah merasa lega. "Syukurlah, jika ideku bisa membantu," katanya tersenyum. "Itulah gunanya teman. Kau harusnya membicarakan ini denganku jauh-jauh hari, agar tidak berlarut-latut!" sesal Farah.
Gaby menatapnya lembut dengan perasaan bersalah dan berkata dengan suara lirih. "Maafkan aku ...."
Sambungnya lagi. "Sekarang lupakan soal itu! Mari lanjutkan makan sebelum hidangan lezat ini jadi terlalu dingin!"
Gaby menyuap lagi sepotong roti isi daging ke mulutnya. Ekspresinya yang kembali bahagia, melegakan Farah. Dia ikut makan juga.
*
*
Malam itu, di rumah.
"Kenapa kau tak mengatakan tentang masalahmu padaku?"
Martin menyesali Gaby yang masih begitu tertutup padanya. Mereka sudah tiga tahun menikah, tapi istrinya itu masih terasa berjarak darinya.
Sebagai suami, Martin telah dengan sabar membimbing dan meyakinkan Gaby bahwa dia bisa dipercaya untuk membahas apapun yang mungkin sedang menari di pikiran istrinya.
Bahkan Martin akan bersedia mendengarkan meskipun hanya itu sekedar gosip murahan yang umumnya dilakukan para wanita di luar sana.
Tapi itu tak pernah terjadi. Gaby yang dikenalnya sejak pertama bertemu hingga telah menjadi istrinya, tidak berubah sama sekali. Dia pribadi yang tertutup dalam beberapa hal dan terlihat asik dengan dunianya sendiri.
Jika Martin tidak memulai pembicaraan atau memancingnya dengan ide menarik, maka rumah mereka akan sunyi. Gaby lebih suka tenggelam di meja kerja, atau tertelungkup kelelahan di tempat tidur dengan laptop menyala. Kadang dia duduk diam cukup lama sambil memegang cangkir kopi di balkon. Jika Martin menyapa, selembut apapun suara yang dikeluarkan, Gaby akan selalu sedikit terkejut, sebelum mulai tersipu malu.
Dari pemahamannya istrinya adalah seorang introvert. Pribadi yang sering disalah pahami oleh orang lain. Tapi menurutnya Gaby hanya sulit mempercayai orang baru. Mendapati kenyataan Gaby bersedia menikah setelah masa pacaran singkat mereka, Martin merasa seperti mendapat jackpot. Artinya Gaby mulai menaruh kepercayaan padanya. Itu kemajuan besar, mengingat jumlah teman dekatnya yang bisa dihitung jari.
"Aku tidak merasa punya masalah, Martin. Kehidupan kita baik-baik saja. Aku hanya tidak punya ide baru untuk menulis. Jadi apa yang harus kuceritakan padamu?" Gaby menggenggam tangan suaminya.
"Farah yang menyimpulkan aku stress. Dia menyarankan kita pergi liburan berdua. Mungkin dengan melihat tempat baru, suasana baru, aku bisa mengembalikan kesegaran otakku dan mendapat inspirasi!" Gaby menunjukkan mimik lucu di wajahnya yang sukses meluluhkan hati Martin.
Martin memeluk Gaby hangat. "Jangan tunjukkan ekspresi begitu pada orang lain!" ujarnya cemburu.
"Kau sangat tahu bagaimana sikapku pada orang lain!" bantah Gaby sambil menyandarkan tubuhnya ke dada Martin.
"Hahaha ... aku ingat hari peluncuran buku Profesor Sommers. Rekanku mengira aku membawa robot, karena kau hanya berdiri diam tak berekspresi!" gelak Martin.
"Maafkan aku ya ...." Gaby meraih lengan suaminya dan menariknya ke dekat dadanya. "Itu sebabnya aku enggan mengikuti acara kantormu. Aku takut mempermalukanmu! Aku‐‐‐"
"Lupakan! Aku tak peduli komentar orang lain. Selama kau mencintaiku, itu sudah cukup." Martin mengecup puncak rambut Gaby dan mengeratkan pelukannya untuk memberi Gaby rasa nyaman, hangat dan aman.
"Terima kasih sayang ... kau sangat memahamiku," lirih Gaby.
"Hemm ...." Mereka larut dalam kemesraan sejenak.
"Kukira saran Farah masuk akal," ujar Martin setelah melepaskan bibir Gaby.
"Kau bersedia?" mata Gaby membulat. "Kapan kau bisa libur? Kita bisa pesan tiket dan memilih tempatnya jauh-jauh hari!"
Melihat istrinya begitu antusias, Martin kembali gemas dan meraihnya lagi ke dalam pelukannya.
"Sayangnya, hingga bulan depan aku tak bisa ambil cuti. Jika projek baru ini sukses mungkin aku baru bisa mengambil cuti," bisik Martin.
"Hah?" Gaby sedikit bingung. Dia membalikkan badan menghadap suaminya. "Jadi apa maksudnya tadi itu?" tanyanya minta kepastian.
Kekecewaan membayang di sana. Martin merasa bisa melihat bahwa sumber mata air di dua mata sepolos mata kucing itu bisa meluap seketika.
"Bisakah kau liburan sendiri? Pilih tempat yang sangat ingin kau kunjungi. Kau sangat butuh merecharge jiwamu," kata Martin sambil menangkupkan dua tangannya di rahang Gaby.
Istrinya protes. "Kau ingin aku pergi sendiri ke tempat asing?" tanyanya tak percaya.
"Kita bisa pilih tour trip yang aman dan terpercaya." Martin menenangkan ketakutannya.
"Kau sangat tahu aku sulit berinteraksi dengan orang lain!" protesnya lagi. Martin diam sebentar. Pria itu berpikir keras memecahkan masalah tersebut.
"Bagaimana jika kau pergi liburan tanpa travel? Semisal menyewa villa di tempat yang penuh inspirasi? Jadi kau tak terlalu perlu berinteraksi dengan orang lain. Paling kau butuh sedikit bicara pada sopir taksi, pelayan di cafe. Selebihnya kau boleh tak peduli! Yahh, seperti di sini saja." Martin memberikan idenya.
"Jika projekku selesai tepat waktu, aku akan menyusulmu ke sana. Setelah itu kita bisa melanjutkan ke tempat wisata. Bagaimana?" tanya pria itu.
"Jika begitu, itu sama seperti saat aku menyewa flat sebelum menikah," gumam Gaby.
"Kurang lebih begitu. Kau tak butuh guide jika seperti itu. Kau bisa pergi ke taman, ke cafe, ke musium, setelah itu pulang dan menuliskan apa yang kau temui hari itu. Bukankah menyenangkan memiliki waktu untuk dirimu sendiri sementara waktu?" tambah Martin lagi.
"Ide yang sangat menantang! Tapi kurasa itu pilihan bagus." Gaby tersenyum cerah.
"Kau suka?" tanya Martin dengan senyum lebar. Gaby mengangguk dan ikut tersenyum.
"Jadi, tempat mana yang sangat ingin kau kunjungi?" tanya suaminya cepat.
"Scotland!" jawab Gaby cepat. Begitu cepat, hingga membuatnya terkejut sendiri dan menutup mulut.
Tapi Martin justru tertawa. "Berarti itu adalah tempat impianmu. Namanya melompat begitu saja!" Pria itu tertawa gemas sambil memeluk istrinya.
"Kau sangat lucu!" ujarnya merayu.
"Tidak!" bantah Gaby.
"Iya ...."
Suaminya menutup mulutnya agar tak ada bantahan lagi.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
tehNci
Scotland.....i'm coming.... tungguin aku ya Gaby, kita brgkt barengan. aku mau nyari baju hangat dulu😜
2023-05-15
1
Queen Bee✨️🪐👑
maluu malu diaaa wkwkwk
2023-02-20
1
Alderlinch
Ahh suaminya gak ngerti rencana author nih.. pake istrinya dibolehin pergi sendiri
2022-11-09
7