Selesai makan, Gaby memanggil pelayan untuk membayar makanannya.
"Di mana saya bisa membeli kartu telepon?" tanyanya.
Gadis itu bisa mengetahui dari aksen Gaby bahwa dia bukan berasal dari Inggris. Mungkin turis dari negara lain.
"Lumayan jauh. Dan jam segini ...," Gadis itu melihat jam tangannya. "harusnya masih buka. Dia tutup antara jam 9.30 hingga jam 10.00 malam!" terang gadis itu.
"Di sebelah mana?" tanya Gaby. Dia berdiri dan mengambil mantelnya dengan cepat.
"Keluar, lalu belok kanan. Terus jalan seratus meter lebih sedikit. Ada toko ponsel Johnstone di situ. Tepat di sebelah toko buku Scott Sutherland," terang gadis pelayan itu.
"Terima kasih!" Gaby mengangguk dan segera berlalu. Dia harus cepat, agar tak sia-sia berjalan sejauh itu di malam hari.
Udara malam yang dingin, makin dingin sehabis hujan. Terutama di bagian utara bumi. Gaby mengancingkan mantel panjang yang menyilang dadanya. Memasang syall menutupi kepala dan lehernya untuk menahan embusan angin yang mengandung butiran air.
"Tolong, jangan hujan lagi," harapnya dalam hati.
Dia lupa membawa payung ataupun mengenakan topi. Sekarang dia tahu alasan orang Inggris suka memakai topi atau membawa payung. Hujan sangat mencintai negri ini. Dia akan menyapa kapan saja dia mau.
Lima belas menit berjalan, Gaby akhirnya melihat toko yang masih bersinar terang, tanda masih buka. Sambil melirik jam, langkahnya dipercepat. Lima menit lagi setengah sembilan.
Dia melewati toko bunga. Seorang pria dan wanita mengangkat ember-ember bunga ke dalam ruangan. Mungkin toko itu akan segera tutup.
Kemudian melewati toko buku yang berada tepat di ujung jalan. Toko itu tampak sangat menarik. Dari jendela kaca terlihat beberapa orang yang masih duduk di dalamnya. "Berarti toko ponsel di sebelah sana!" pikir Gaby.
Dilewatinya toko buku itu dan berbelok. Masih ada toko yang mengeluarkan cahaya terang. "Harusnya itu toko ponsel!" batinnya.
Setelah berjalan beberapa meter, melewati samping toko buku, Gaby bisa melihat toko ponsel itu. Hatinya lega, karena toko masih buka.
"Hallo," sapanya. Saya ingin membeli kartu telepon," ujarnya cepat.
Seorang pria usia empat puluhan melayaninya dengan cepat. Gaby menambahkan kartu baru di ponselnya. Mengisi kuota yang diperkirakannya cukup untuk satu bulan ke depan.
Setelah lima belas menit, akhirnya proses itu selesai. Kartunya sudah aktif dan ponselnya kini bisa berdering lagi. Hatinya lega. Segera dilakukannya pembayaran untuk segera pulang.
"Terima kasih!" ujar Gaby.
"My pleasure," sahut pria itu ramah. Gaby berbalik ke arah dia datang. Dia belum mengenal kota ini. Jadi lebih baik tidak keluar larut malam dulu.
"Masih ada hari esok untuk menjelajahi kota cantik ini." Dia menghibur diri sendiri.
Tapi toko buku itu sangat menarik hatinya. Dia berdiri cukup lama di trotoar. Berperang dalam hati, akan singgah atau tidak. Seorang pria yang mengenakan mantel wool panjang warna camel dan bertopi khas Inggris, melewati sambil meliriknya yang jelas sedang mengagumi toko buku itu.
"Di dalam jauh lebih hangat dan menarik!" ujar pria itu.
Gaby menoleh padanya. Tersenyum dan mengangguk. Kemudian melihat jam tangan kecil yang melingkar di jarinya. Sudah hampir jam sebelas. Lalu dia berlalu dari sana. Berjalan pelan di bawah rintik gerimis dan cahaya kuning temaram.
"Jika saja Martin ikut ke sini. Harusnya ini bisa jadi momen romantis," sesalnya. Dimasukkannya tangan ke dalam saku, untuk mencari kehangatan.
Sepatu bootnya mengetuk berirama di trotoar. Langkahnya seperti sedang diiringi musik syahdu. Kesiur angin melambaikan ujung mantel dan syall yang dikenakannya. Sesekali dia berpapasan jalan dengan pasangan lain yang bergandengan mesra. Hal itu membuatnya iri dan mulai merindukan Martin. Tak lama, dia melihat cafe yang berada tepat di pertigaan jalan menuju blok tempat tinggalnya.
Setelah mengawasi jalanan, dia pun menyeberang. Sekarang bagian lain menuju pulang. Blok tempat tinggal yang tadi pagi membuatnya terpukau. Dia harus menyusuri jalan sejauh kurang lebih seratus meter lagi, untuk sampai di kediaman Emily Blair. Jalan itu sunyi. Tak seorangpun terlihat lalu lalang.
Karena tak mengejar sesuatu, sejak kembali dari toko ponsel tadi, dia berjalan dengan santai. Hampir satu jam berjalan dia baru sampai di depan rumah Emily. Tea house itu sudah tutup. Lampu dalam sudah mati dan pintu tertutup rapat. Gaby menapaki anak tangga dengan hati-hati.
"Akhirnya sampai di rumah juga," gumamnya lega. Dilepasnya syall, mantel dan menggantungnya di kasptok belakang pintu.
Karena seharian tadi sudah tidur, matanya belum mengantuk lagi, meskipun sudah lewat jam.sebelas malam. Akhirnya Gaby membongkar koper dan menyusun isinya di lemari. Tak butuh waktu lama untuk merapikannya, karena dia tak membawa banyak baju. Tas jinjing yang dibawanya ke kabin giliran dibongkar juga. Disitu dia menempatkan laptop, tablet, serta kamera, yang akan dipakainya untuk mengabadikan tempat-tempat indah di tempat ini.
Dia juga mengeluarkan dua buku dan meletakkannya di samping laptop. Satu, novel yang belum rampung dibacanya. Satu lagi buku tentang Scotlandia yang dibelinya di toko buku bandara pagi tadi. Dia butuh sedikit riset untuk lebih mengenal tanah ini, dan akan membacanya nanti.
Kemudian mengeluarkan beberapa pouch yang masing-masing berisi perlengkapan mandi, perawatan kulit dan tak lupa pouch obat-obatan pribadinya. Semua diletakkan di tempatnya.
Gaby mencoba menyalakan air hangat di bathtub. "Menyala! Syukurlah," gumamnya. Lalu menuang sabun cair dan mengisi bak. Dia ingin mandi air hangat untuk merilekskan pikiran dan tubuhnya.
Gaby melangkah ke lemari dan mengeluarkan handuk serta piyama tidur. Kemudian kembali ke kamar mandi, dan ... memulai ritual mandinya.
Setelah membersihkan wajah dan menyikat gigi, Gaby pergi berendam air hangat. Ini waktunya untuk memanjakan diri dengan tidal memikirkan apapun, selain rencana untuk besok. Dia akan mengunjungi tempat indah yang mana dulu.
*
*
Pukul tujuh pagi Gaby terbangun karena suara deringan telepon. Dengan mata setengah terpejam diangkatnya telepon. Dia yakin itu panggilan dari Martin. Karena hanya suaminya yang sudah diberitahukannya nomor baru itu.
"Ya, sayang," sambut Gaby begitu menerima panggilan.
"Tampaknya aku mengganggumu pagi-pagi," ujar suara di seberang.
Gaby membuka matanya dan melihat jam pada ponsel. "Enggak kok. Ini sudah jam tujuh pagi. Aku yang bangun kesiangan," jawabnya.
"Oh, apa kau sudah menikmati malam di Edinburgh?" tanya Martin.
"Belum. Aku membongkar koper dan mandi dulu malam tadi. Akhirnya baru bisa tidur sekitar jam satu dini hari," jelasnya.
"Jadi apa rencanamu hari ini?" tanya Martin.
"Mencari sarapan, lalu berkeliling kota. Kota ini sangat cantik ketika kulihat sekilas saat membeli nomor teelepon baru tadi malam." Gaby sangat antusias. "Seharusnya kau ikut ke sini" tambahnya lagi.
"Semoga pekerjaan ino segera selesai, jadi aku bisa menemanimu melihat tempat romantis!" Martin tertawa.
"Oke, bersenang-senanglah. Akku harus bekerja!" pamit Martin.
"Aku merindukanmu ...." lirih Gaby.
"Aku juga merindukanmu, sayang ... Mmuachh!" balas Martin. Lalu panggilan telepon itu terputus.
Gaby menatap ponselnya dan menghela napas panjang. Kemudian dialihkannya pandangan ke arah jendela yang mengirimkan sinar hangat matahari, masuk ke kamar.
Dia bangkit dan berjalan penuh semangat ke kamar mandi. Setelah mencuci muka dan sikat gigi, Gaby berganti pakaian. Meraih tas tangan kecil dan melenggang keluar kamar.
Begitu membuka pintu, angin kencang yang sejuk menerpa. "Ups, aku lupa kalau ini Edinburgh," gumamnya. Tapi dia ragu untuk mengenakan mantel. Siraman cahaya matahari yang sangat cantik ini ingin dinikmatinya.
Akhirnya dia masuk rumah lagi dan mencari vest rajut putih yang tidak terlalu tebal, untuk dipadankan dengan kemeja lengan pendek warna biru. Dipadu celana jeans biru tua dan sepatu boot hitam setinggi betis.
"Oke, sudah siap!" Gaby mematut dirinya di depan cermin besar meja rias.
************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Mr. Scary
Secantik apa sih kotanya
2022-11-01
7
Mr. Scary
Nah, betul. jgn keluar malam"
2022-11-01
7
Tety Novianty
cantik
2022-10-29
7