Gaby hanya bisa mengangguk mendengar jawaban itu. Mungkin Emily hanya ingin membuatnya penasaran saja. Mungkin tidak selezat itu juga di lidahnya, karena selera orang tentu berbeda-beda.
Jadi dia menunggu hingga roti harum itu dihidangkan di hadapannya. Roti yang masih mengepul hangat tanda benar-benar baru matang. Keharumannya menggugah selera. Hanya ada semangkuk toping minyak zaitun yang dicampur entah apa di dalamnya. Lalu secangkir teh cokelat pekat yang juga masih mengepul, menemani sarapan mereka.
"Ayo!"
Emily terlihat tidak sabar untuk melahap roti yang berbentuk ellips itu. Dia memotong roti dengan anggun, kemudian mengoleskan minyak zaitun yang ada di mangkuknya. Lalu roti itu lenyap ke dalam mulutnya. Dan Gaby bisa melihat wanita paruh baya itu terpejam sebentar untuk menikmati rasa di dalam mulutnya.
Gaby tak percaya, tapi dia penasaran. Jadi mengikuti cara Emily. Diirisnya roti seukuran yang dapat masuk ke mulutnya. Kemudian dengan pisau mengoleskan sedikit campuran zaitun ke atas potongan itu. Lalu segera memasukkannya ke mulut.
Dia tak punya ekspektasi apapun sebelumnya. Bahkan merasa, promosi Emily terlalu berlebihan. Tapi sekarang, matanya membulat tak percaya. Dia baru saja mengunyah dua kali, kala rasa itu meledak di mulutnya. Rasa yang tidak bisa dia terjemahkan dengan kata-kata.
Diambilnya lagi sepotong roti dan kembali mengoleskan minyak zaitun di atasnya, sebelum memasukkan ke mulut. Dia ingin tahu, yang mana yang membuat roti itu jadi terasa lezat di mulutnya?
Karena dia tak bisa menentukan, apakah rotinya yang lezat, ataukah olesannya, maka ditelannya sepotong roti saja tanpa olesan. Dia terkejut. Roti itu memang lezat. Tapi tidak akan sampai membuat mata seseorang terpejam saat mengunyahnya.
Dengan sedikit penasaran, dicoleknya minyak zaitun dengan jari dan mencicipinya di mulut. Itu memang lezat, tapi takkan bisa memberi ledakan rasa di dalam mulut seseorang.
"Kau sudah bisa menyimpulkan?" tanya Emily sambil tersenyum. Dia memperhatikan tingkah laku Gaby sejak tadi.
Gaby menggeleng. "Kurasa, roti dan minyak zaitun ini hanya akan lezat jika dimakan bersama," jujur Gaby.
"Sedikit benar," angguk Emily.
"Maksudnya?" tanya Gaby tak mengerti. Dia kembali menikmati sarapannya sambil sesekali menyeruput teh kental yang disajikan.
"Sudah banyak yang mencoba meniru roti serta campuran olesan zaitun ini, tapi tak ada yang bisa menandingi kelezatan otentik toko ini," jelasnya.
"Wah ... seterkenal itu ya?" komentar Gaby dengan mulut yang tak henti mengunyah. Emily memiringkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Keduanya segera menghabiskan sarapan. Nasih banyak yang harus dicari di pasar. Gaby juga belum membeli₩ teh dan krim untuk persediaannya.
Kedua wanita itu sudah dalam perjalanan pulang, saat Tuan Thompson menelepon Emily.
"Aku sedang dalam perjalanan kembali dari Fresh Market, Tuan Thompson," sahut Emily.
"Ya, sayangnya seperti itu, Tuan Thompson. Anda harus mencari sarapan di tempat lain pagi ini," jawab Emily dengan sabar.
"Ya, sampai jumpa, Tuan Thompson." Emily mematikan sambungan teleponnya dan kembali berkonsentrasi untuk menyetir.
"Apakah kau tidak punya keluarga, Emily?" tanya Gaby.
"Tentu saja ada. Suamiku sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Putraku memintaku untuk tinggal bersamanya di Darlington. Dan putriku mengikuti suaminya di Bourges, Perancis. Jika aku mengikuti mereka, siapa yang akan menjaga rumah tua itu?" tanyanya balik.
"Apa anda berasal dari kota ini?" tanya Gaby sambil lalu.
"Bukan. Almarhum suamiku yang orang Scotland. Aku sendiri berasal dari Yorkshire.
Tanpa ditanya lagi, Emily bercerita. "Keluarga suamiku berasal dari inverness, tapi takdir membawa mereka ke sini. Dan rumah tua itu adalah warisan mertuaku. Toko teh itu juga warisan mertuaku. Aku hanya melanjutkan tradisi yang sudah berjalan puluhan tahun."
Informasi itu cukup bagi Gaby. Dia tak ingin mengomentari lebih lanjut, karena tak ingin membahas hal yang tak penting. Untuk mengalihkan perhatian, Gaby kembali mengambil beberapa foto tempat yang menurutnya menarik untuk diabadikan.
Mereka kembali ke rumah Emily menjelang pukul sepuluh. Wanita itu segera sibuk dan tidak terlalu memperhatikan Gaby. Setelah membantu membawakan sedikit barang belanjaan Emily, Gaby pamit untuk membawa belanjaannya ke flat di lantai tiga.
Seharian itu dia menuliskan ide-ide yang bermunculan di kepala. Martin menghubunginya saat jam makan siang kantornya dan mereka berbincang cukup lama hingga makan siang Martin habis dan dia harus kembali bekerja.
Tanpa ada yang menemani, Gaby merasa sedikit bosan. Dan ide sepertinya berhenti mengalir. Disambarnya tas dan mengenakan sweater, lalu menuruni anak tangga. Dia tak melihat Emily, jadi langkahnya langsung diarahkan ke jalanan berbatu.
Kali ini Gaby mengambil arah yang berbeda, tidak lagi menuju cafe di ujung jalan. Dia berbelok ke kiri toko Emily. Ingin tahu apa yang mungkin menarik di sana. Langkah kakinya mantap. Hari yang cerah dan hangat, memberinya sedikit semangat baru untuk menjelajah.
Beberapa foto baru didapatnya dan tak terasa, kakinya mulai melangkah jauh. Rasa lelah lah yang menghentikan kegilaannya untuk mengeksplorasi kota itu.
Dengan sedikit celingukan, dicarinya cafe ataupun bangku taman untuk bisa beristirahat. Tapi dia sama sekali tak khawatir. Karena tadi dia sudah mengantisipasi tersasar, dengan tetap melangkah lurus, tanpa berbelok ke manapun. Dia yakin akan menemukan jalan pulang lagi nanti.
Dia duduk dan beristirahat di bangku taman sambil menikmati sandwich yang dibelinya di kios pinggir jalan.
Matanya menikmati pemandangan musim gugur yang indah sambil sesekali menikmati semilir angin.
Seorang pria memegang payung panjang seperti tongkat, mengenakan mantel panjang abu-abu tua, berjalan ke arahnya.
Tanpa bertanya pria itu duduk di bangku yang sama. "Apa yang membawa langkahmu hingga ke sini?" tanyanya.
Gaby menoleh dan sedikit kaget, karena dia mengenal orang itu. "Keindahan kota ini merayuku untuk keluar dan menikmatinya," jawab Gaby.
"Kau tak takut hilang lagi?" tanya pria itu.
"Tadinya aku hampir khawatir. Tapi setelah melihatmu, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi bukan, Dokter Thompson."
Senyum Gaby dibalas pria tua itu dengan anggukan ringan.
"Bagaimana jika aku tak melihatmu di sini?" ujinya.
"Aku yakin, tadi tidak berjalan berputar-putar. Jadi aku akan mengikuti jalan ini lurus saja, hingga ke flat!" ujarnya yakin.
"Kau sangat percaya diri."
Gaby menoleh ke arah dokter tua itu. Dia tak memang tak seramah Tuan Edward. Tapi rasanya tidak seperti ini juga. "Atau aku yang belum mengenal sisinya yang lain," pikir Gaby.
Tepat saat sandwich di tangannya habis, Dokter Thompson berdiri dan melangkah ke arah Gaby datang sebelumnya.
Wanita itu mengernyitkan dahi. Dia masih ingin menikmati sore yang sejuk di taman itu. Tetapi Dokter Thompson sudah melangkah pulang tanpa bertanya. Pikir Gaby, mungkin pria itu sudah lelah berkeliling seharian, karena toko Emily tutup tadi pagi.
Jadi, meski sedikit kecewa, dia berjalan mengikuti pria itu. Gaby tak ingin kehilangan arah pulang. Dia mengekorinya dari jarak sepuluh meter, jadi mereka tak perlu saling berbicara.
"Anda hendak ke mana, Dokter Thompson?" tanya Gaby saat melihat pria itu berbelok ke arah lain.
Pria tua itu berhenti dan menoleh ke belakang. "Kau mengikutiku?" tanyanya heran. Namun ada segurat senyum tipis tak terbaca mampir di wajahnya.
"Ku kira Anda akan menuju pulang, jadi aku mengikutimu!" sahut Gaby jujur.
"Aku memang mau pulang. Tapi tidak ke arah sana!" ujarnya.
Gaby terkejut. "Apakah rumah anda tidak berada di jalan yang sama dengan rumah Emily?" tanyanya.
"Siapa yang mengatakan seperti itu?" tanya pria tua itu tak acuh. Dia melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti.
Gaby diam sejenak, kemudian mengedikkan bahunya tak peduli. Dia tinggal berjalan lurus di blok itu, akan dapat sampai di rumah lagi.
Gaby melangkah ringan sambil melihat ke kanan dan kiri jalan. Rumah-rumah tua dari batu-batu besar abad pertengahan berjajar rapi dan terawat.
Setelah lima belas menit, akhirnya rumah Emily terlihat. Dia tersenyum senang. Langsung masuk ke toko, untuk memesan teh sore hari.
"Sore yang cerah Emily, Aku tadi baru saja bertemu---" ucapannya mengambang di udara.
Kalau saja itu biji mata palsu, mungkin dia akan menggelinding jatuh ke lantai.
"Ada apa denganmu? Kau seperti melihat hantu!" tegur Tuan Edward.
Gaby tergagap. Tuan Edward menjadi panik. "Bagaimana analisamu melihat keadaannya saat ini?" tanya Tuan Edward pada Dokter Thompson yang menemaninya bermain catur di sana.
Dokter tua itu mengawasi Gaby sambil menyipitkan mata. "Kau benar, dia pasti bertemu hantu yang menyerupai salah satu dari kita!" ujarnya santai dan kembali mengalihkan perhatiannya pada papan catur.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Mr. Scary
Nah loo
2022-11-14
6
nurul zakiyah
dr Thompson palsu brti yg tadi ya
2022-11-09
7
Rosnila Sari
smg bisa jd peringatan utk Gaby agar lebih berhati2😇
2022-11-07
7