"Alhamdulillah," ucap Qonita penuh dengan rasa syukur atas rezeki yang dirinya dapatkan.
Tangannya mulai menghitung lembaran demi lembaran berwarna merah yang masih ada dalam amplop tersebut.
"Dua juta," gumamnya kemudian.
Tentu saja itu bukan nominal yang sedikit bagi Qonita, dan ia sangat bersyukur bisa mendapatkan jumlah tersebut.
Dengan uang yang sudah ada di tangannya, dia berpikir untuk pindah dari kediaman Lisa. Tidak enak rasanya jika harus menumpang di tempat sahabatnya itu dengan berlama-lama.
Malam itu juga Qonita langsung mengutarakan niatnya, ia mengatakan akan mencari tempat kost yang berjarak tidak terlalu jauh dari tempat dirinya bekerja.
"Apa kamu yakin, Nit? Kamu di sini baru satu minggu ... dan aku rasa, kamu juga belum terlalu paham dengan seluk beluk kota ini," ujar Lisa yang merasa keberatan untuk membiarkan Qonita tinggal sendiri ditempat kost.
Lisa khawatir akan terjadi sesuatu hal yang kemungkinan akan menimpa sahabatnya itu.
"Aku gak enak kalau harus terus-terusan merepotkan kamu di sini, Lis."
Nyatanya, apapun alasan yang dikatakan oleh Qonita, tidak digubris sama sekali oleh Lisa. Dia tetap bersikukuh agar sahabatnya tersebut tinggal dengannya, paling tidak untuk beberapa waktu lagi.
Perdebatan panjang antara dua wanita muda itu terjadi cukup alot, hingga akhirnya Qonita jugalah yang harus mengalah dan tetap tinggal bersama dengan Lisa sampai beberapa waktu ke depan.
Setiap paginya seperti biasa, Qonita dan Lisa sama-sama pergi ke tempat kerja masing-masing. Dua sahabat karib itu hanya mempunyai waktu untuk berbincang pada malam hari saja, selebihnya mereka berdua disibukkan dengan pekerjaan sendiri-sendiri.
"Nit, ada customer yang minta dibuatkan desain baju buat pesta. Coba kamu bikin beberapa desainnya, biar saya kirim ke beliau." Veronica kembali memberikan pekerjaan pada Qonita.
Wanita berbalut hijab yang tengah membantu karyawan lainnya untuk menemani pelanggan butik yang datang hari itu, langsung menganggukkan kepalanya.
Pekerjaan utama Qonita di butik itu memanglah untuk membuat desain baju, tapi pada saat waktunya senggang Qonita pun bisa membantu karyawan butik lainnya meski sekedar untuk ikut merapikan baju-baju koleksi butik milik Veronica.
****
Dua bulan merantau ke kota, akhirnya Qonita memutuskan cuti beberapa hari dari tempat kerjanya. Dia berniat pulang untuk menjenguk kedua orangtuanya, yakni Bu Fatmah dan Pak Lukman.
"Assalamu'alaikum," ucap gadis yang memakai gamis berwarna biru muda senada dengan hijabnya yang lebar.
Bu Fatmah yang mendengar suara dari depan pintu rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri daun pintu tersebut.
"Nita?!" Wanita yang sama kurusnya dengan Qonita itu pun merasa terkejut dengan kedatangan putrinya.
"Ibu, Nita rindu sama Ibu," ucap Qonita setelah mencium punggung tangan Bu Fatmah, ia pun langsung berhambur memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkan dirinya itu.
Tangis ibu dan anak itu pecah. Rasa rindu yang membuncah, tidak dapat disembunyikan lagi.
Setelah puas melepas rindu yang terpendam selama dua bulan, Bu Fatmah mengajak Qonita untuk duduk di atas sofa usang yang ada dalam ruang tamu sempit rumah mereka.
Kembali lagi ke rumah, tempat dirinya dibesarkan selama ini. Ingatan akan luka yang pernah dirinya rasakan beberapa bulan yang lalu, kini kembali merasuk dalam pikirannya.
Keesokan harinya Qonita pagi-pagi sekali keluar dari rumah. Ia ingin menghirup udara segar di pekarangan rumahnya, yang tentunya tidak ia dapatkan selama berada di kota.
"Kamu kapan pulang dari kota, Nit?" tanya salah seorang tetangganya.
"Kemarin sore, Bu." Qonita menjawab dengan dibarengi senyuman yang tersungging di bibirnya.
"Pasti bawa duit banyak, ya?"
Mendengar pertanyaan seperti itu dari tetangganya, kontan saja langsung membuat Qonita mengernyitkan dahinya.
Dia hanya terdiam, merasa enggan untuk menjawab.
Setelah ibu tersebut berlalu dari hadapannya, Qonita pun buru-buru masuk ke dalam rumah.
"Ada apa, Nit?"
Bu Fatmah melihat putrinya seperti sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Tanpa menunggu waktu lama wanita yang berusia dua puluh dua tahun itu pun menceritakan apa yang baru saja dirinya alami.
"Sabar, Nak. Mereka mengira kalau kamu pergi ke kota untuk menjual diri," tutur Bu Fatmah dengan suara yang terdengar berat.
Kedua mata wanita berusia kepala empat itu pun mulai berembun. Sepertinya ada banyak hal yang tengah dirasakan oleh Bu Fatmah, dan itu semua berkaitan dengan Qonita.
"Apa maksud Ibu?" tanya Qonita yang mulai merasa tidak enak hati.
"Mereka bilang, kalau kamu pergi untuk menjual diri."
Deghh
Detak jantung Qonita berpacu dengan lebih cepat. Deru napasnya nampak tidak beraturan, seiring dengan emosinya yang mulai mencuat.
"Siapa yang sudah menyebarkan fitnah tentangku, Bu?"
Sejenak Bu Fatmah terdiam. Ia memejamkan kedua matanya, tidak lain agar air matanya tidak sampai menetes di depan putri semata wayangnya itu.
"Bu ... cepat katakan, siapa yang sudah menyebarkan fitnah itu?" desak Qonita, yang sudah tidak sabar ingin tahu dari mulut siapa fitnah tersebut berasal.
"Bu Tuti. Mantan Ibu mertuamu," sahut Bu Fatmah kemudian.
Qonita yang merasa geram bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Bukan! Dia masuk ke kamar bukan untuk menangis, melainkan untuk mengambil tas miliknya dan kemudian kembali ke luar kamar.
"Kamu mau ke mana, Nit?" Bu Fatmah terlihat panik saat Qonita pergi ke luar rumah dengan membawa tas kecil miliknya.
"Nita pamit sebentar, Bu."
Tanpa mempedulikan panggilan Bu Fatmah, Qonita terus melangkahkan kakinya dengan cepat.
Tujuannya saat ini hanya satu, yakni rumah David, mantan suaminya.
Dengan berjalan kaki wanita berkulit hitam manis tersebut terus berjalan. Tidak peduli meski dirinya harus merasakan capek, yang penting dia harus bertemu dengan Bu Tuti saat itu juga.
"Assalamu'alaikum," ucap Qonita saat sudah berada di teras rumah keluarga David, mantan suaminya.
Setelah berulangkali mengucap salam namun tidak ada jawaban dari dalam rumah, akhirnya Qonita mendengar suara langkah kaki dan kemudian gagang pintu pun tertekan ke arah bawah.
"Waalaikum-" Bu Tuti tidak melanjutkan jawaban salamnya.
Mantan ibu mertua Qonita tersebut nampak terpaku saat melihat kedatangannya.
"Nita, ada apa kamu ke sini? Mau cari David?" tanya Bu Tuti dengan tanpa basa-basi lagi.
"Aku ke sini mau cari Ibu!" Qonita menjawab dengan dibarengi oleh tatapan matanya yang datar.
"Mau apa? Mau bilang kalau kamu sudah bekerja di kota?"
Darah dalam tubuh Qonita seakan mendidih. Dia semaki emosi saat melihat ekspresi menyebalkan dari wajah mantan ibu mertuanya itu.
Andai saja Qonita sudah tidak bisa menahan amarahnya, sudah pasti mulut Bu Tuti akan dirinya sumpel dengan sandal yang Qonita pakai saat itu.
"Fitnah apa yang sudah Ibu sebarkan pada mereka?!" tanya Qonita dengan napas yang terlihat memburu.
Follow IG author : Hayatinoer8615
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments