"Kamu pikir ... Aku akan sudi punya istri yang sudah pernah tidur dengan lelaki lain?"
Kalimat menyakitkan tersebut kembali terlontar dari mulut David. Dia seolah tidak peduli dengan apa yang dirasakan oleh Qonita, saat setiap perkataannya itu ia tuduhkan pada wanita yang baru saja menikah dengannya.
"Aku berani bersumpah di depanmu, Mas ... Kamu orang yang pertama kali tidur dan menyentuhku!" Air mata Qonita kembali tumpah.
Wanita yang mengenakan baju gamis dan hijab berwarna biru muda senada itu pun terduduk lemas di atas lantai kamar. Wajahnya tertunduk, dengan kedua tangan yang diletakkan di atas lantai untuk menopang tubuhnya yang terguncang karena tangisan pilunya.
"Asal kamu tau saja. Aku terpaksa bersedia menikah sama kamu, itu gak lebih karena untuk menghargaimu!"
Jika ada rasa sakit yang melebihi rasa sakitnya hati Qonita saat ini, mungkin itu adalah hal yang tepat untuk menggambarkan seperti apa perasaan wanita yang baru menikah tersebut.
"Lihat dirimu ... kurus, gak ada yang bisa bikin aku tertarik!"
"Cukup, Mas!" Qonita mendongak demi melihat wajah suaminya yang arrogant itu.
"Kalau Mas David tidak tertarik padaku, lantas kenapa Mas David mau menikah denganku?" Dengan sisa tenaga yang ada, Qonita bangun dari duduknya.
Ia berjalan perlahan menghampiri David yang masih berdiri tidak jauh darinya. Ditatapnya dengan lekat kedua mata lelaki itu, seolah Qonita ingin mencari cinta yang mungkin saja masih ada dalam balasan sorot mata David.
"Dengar, Qonita. Aku menikah denganmu, itu semua karena permintaan dari keluargamu ... bukan atas kemauanku sendiri!" Lontaran demi lontaran kata yang di dengar oleh telinga Qonita, semuanya terasa menyakitkan.
"Tapi ... sebelumnya Mas David pun sering mengatakan, kalau Mas David begitu menginginkanku untuk menjadi pendamping hidup Mas David-"
"Kamu tau itu karena apa? Itu tidak lebih karena aku hanya penasaran dengan dirimu. Tidak lebih!"
Merasa semakin tidak dihargai oleh suaminya, Qonita pun beranjak meninggalkan David di kamar pengantin mereka berdua.
"Pak, Bu ... ayo kita pulang!" ajak Qonita pada kedua orangtuanya.
Melihat pada sekeliling, masih ada banyak tamu di kediaman keluarga besar David. Tepat saat Qonita mengalihkan sorot matanya ke arah sofa yang terletak di sudut ruang tamu, ia melihat kakak iparnya yang tengah menatap dirinya dengan sorot mata tajam.
Saat itu juga Qonita langsung tertunduk. Hatinya kian tercabik, manakala menyadari sikap dingin semua keluarga besar suaminya.
Sejurus kemudian ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya, hingga Qonita pun lekas menoleh ke arah orang tersebut.
"Ini ambil! Buat ongkos pulang, sisanya bisa buat jajan," ketus terdengar suara kakak ipar perempuannya itu.
Dengan raut wajahnya yang datar dan tidak ada sedikitpun senyuman dari bibirnya, kakak perempuan David itu pun memberikan tiga lembar uang ratusan ribu ke tangan Qonita.
Sedangkan Qonita sendiri hanya bisa pasrah menerimanya. Dinding hatinya terasa seakan dicubit oleh beberapa tangan, hingga meninggalkan rasa sakit dan perih secara bersamaan.
"Terima kasih, Kak," ucap Qonita dengan suara bergetar menahan tangisnya yang hampir kembali pecah.
"Sabar, Nak. Allah tidak akan membebani hambanya dengan sebuah ujian, melebihi batas mampu hamba tersebut ... berdoa, minta diberikan kesabaran yang lebih oleh Allah." Pak Lukman berbisik, berusaha untuk menguatkan putri yang disayanginya itu.
Qonita menganggukkan kepalanya, lalu menghapus air mata dengan punggung tangannya sendiri.
Ia membenarkan apa yang sudah dikatakan oleh bapaknya tadi. Qonita tidak perlu berlebihan dalam meratapi apa yang sudah menimpa dirinya, dan ia hanya perlu mengadukan semua yang dirasakan olehnya pada maha penciptanya.
\*\*\*\*
Satu bulan setelah hari pernikahan menyakitkan itu, hingga saat ini Qonita masih mengurung diri di rumahnya.
Dia tidak sanggup mendengar cibiran dari mulut orang-orang yang termakan fitnah. Mereka ikut menuduh kalau Qonita sudah sering tidur dengan laki-laki, tanpa mereka tahu seperti apa kebenarannya.
Sepulang dari kediaman David sebulan lalu, Qonita mendapati bercak merah pada pakaian dalamnya. Ia meyakini, kalau bercak tersebut adalah darah dari selaput daranya yang robek.
Ingin sekali rasanya Qonita memberitahu David, namun ibunya melarang Qonita untuk menghubungi kembali lelaki itu.
"Sudah, biarkan saja mereka dengan fitnahannya. Sekarang kamu pikirkan saja kebahagiaan kamu sendiri, Nak."
Mendengar ibunya sudah berkata seperti itu, Qonita pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia menuruti apa yang sudah dikatakan oleh ibunya tersebut, dan membiarkan David dengan tuduhan atas dirinya.
"Mau sampai kapan kamu mengurung diri di rumah terus, Nak? Jalani hidupmu seperti dulu ... jangan terus-terusan meratapi nasibmu," ujar Pak Lukman dengan tiba-tiba, hingga membuyarkan lamunan Qonita.
"Tapi, Pak-"
"Sudah, sudah. Allah gak suka pada hambanya yang terus menerus larut dalam kesedihan," cetus Pak Lukman lagi seraya mengusap pucuk kepala putrinya yang berbalut hijab.
Tidak ingin melihat orangtuanya ikut merasakan kesedihan lebih dalam, Qonita pun berusaha untuk menguatkan dirinya dan melupakan semua yang pernah terjadi.
Ia berniat untuk mengubur semua kenangan masa lalunya dengan David, yang ternyata tidak pernah mencintai dirinya dengan sungguh-sungguh.
Hari demi hari yang dilalui oleh Qonita, membuat wanita berpakaian syar'i itu mulai bisa menerima semua kenyataan. Bahkan ia pun mulai tutup telinga dengan cibiran orang-orang disekitarnya, meski terkadang luka dalam hatinya kembali menganga.
"Besok siang kita akan ke rumah keluarga David ... dan Bapak harap, kamu bisa lebih tegar lagi."
Mendengar perkataan Pak Lukman baru saja, membuat Qonita mengernyitkan dahinya.
"Mau apa kita ke sana, Pak? Bagaimana kalau kedatangan kita nanti ditolak sama mereka?" Qonita melayangkan pertanyaan pada ayahnya.
Wanita muda berkulit hitam manis itu merasa khawatir, kalau kedatangannya nanti akan ditolak secara mentah-mentah oleh David dan juga keluarganya.
"Kita ke sana untuk meminta David segera mengurus surat cerai kalian. Bagaimanapun juga, statusmu itu harus jelas."
Qonita kembali terdiam. Rasa perih dalam hatinya kembali terasa perlahan, namun dengan cepat ia menepisnya.
Meskipun dirinya harus ikut ke kediaman David, tapi Qonita tidak perlu banyak berkata saat berada di sana. Cukup Pak Lukman saja yang akan menyampaikan apa yang menjadi maksud kedatangan mereka saat itu.
"Kenapa gak diurus sendiri aja? 'kan David juga udah menjatuhkan talak pada putri Bapak," cetus kakak perempuan David yang terlihat judes.
"Sebagai pihak laki-laki dan juga yang menjatuhkan talak, harusnya David yang mengurus semuanya ... bukan putri saya!" tegas Pak Lukman yang berusaha untuk tetap bersabar dalam menghadapi manusia-manusia yang ada di depannya.
"Sudah punya aib, sekarang malah bikin susah." Terdengar kembali cetusan kakak David yang kemudian beranjak pergi dari ruang tamu.
Qonita menarik napas panjang. Ingin rasanya dia cepat-cepat pulang dan meninggalkan rumah yang terasa seperti neraka baginya itu.
"Aku mau bicara sebentar sama kamu," ucap David yang kemudian mengajak Qonita untuk masuk ke dalam kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments