Rezeki tidak terduga

"Besok aku udah mulai kerja," jawab Qonita.

Lisa langsung merengkuh tubuh sahabatnya dan mendekapnya dengan erat.

"Sekali lagi selamat, ya. Kamu harus tunjukan pada orang-orang yang sudah menjatuhkan harga dirimu ... kalau kamu tidak pantas untuk mereka rendahkan," bisik Lisa yang terdengar lirih.

Qonita merasa sangat terharu atas sikap sahabatnya yang begitu perhatian terhadap dirinya.

"Untuk sementara, aku masih boleh 'kan numpang di sini, Lis?" tanya Qonita dengan ragu.

Mendengar pertanyaan dari wanita berpakaian syar'i tersebut, Lisa pun menanggapinya dengan senyuman tipis yang penuh ketulusan.

"Kamu boleh tetap tinggal di sini, sampai kamu merasa bosan."

Qonita pun tertawa pelan saat mendapat jawaban yang keluar dari mulut Lisa.

Sahabatnya itu terbilang beruntung, karena bisa melanjutkan pendidikannya hingga ke bangku kuliah. Sedangkan Qonita sendiri setelah lulus dari kelas dua belas, memilih untuk langsung bekerja.

Memang bukan pekerjaan bagus yang dirinya dapatkan, karena ia hanya bekerja di salah satu pabrik sepatu yang ada di kotanya.

"Kamu sudah mau berangkat, Nit?" tanya Lisa yang melihat Qonita sudah nampak lebih rapi.

"Iya. Ini hari pertamaku kerja, jadi jangan sampai telat datang."

Qonita menjawab sembari menyematkan bros berbentuk bunga pada kerudung yang dikenakannya.

"Nit, aku boleh kasih saran, gak?" Lisa bertanya seraya berjalan mendekat.

Melihat sahabatnya sudah berada di dekatnya, Qonita yang tengah mematut dirinya di depan cermin besar pun langsung berbalik badan hingga berhadapan dengan Lisa.

"Menurutku, sebaiknya kamu pakai baju yang simpel aja. Supaya gak ribet pas lagi kerja ... yang penting tetap tertutup, sopan dan bisa menjaga aurat kamu."

Dengan ragu Lisa mengutarakan sarannya terhadap Qonita.

Sedangkan Qonita sendiri yang mendengar itu semua langsung mengernyitkan dahinya.

Wanita muda yang sudah terbiasa memakai gamis panjang hingga menutupi kaki dan juga disertai oleh hijabnya yang lebar, merasa aneh saat mendengar saran dari Lisa.

"Kenapa, Lis? Apa kelihatan norak pakai gamis seperti ini?" Qonita menatap penuh tanya pada sahabat karibnya tersebut.

Lisa merasa kebingungan untuk mengatakan sesuatu pada Qonita. Dia takut kalau sahabatnya itu akan merasa tersinggung, karena selama ini memang seperti itulah cara berpakaian Qonita.

"Nggak! Bukan begitu maksudku ... tapi apa gak lebih baik lagi, kalau kamu pakai pakaian yang lebih simpel." Lisa berkata dengan penuh keraguan.

Seketika raut wajah Qonita pun berubah. Senyuman di bibir wanita itu langsung sirna saat itu juga.

"Aku harus bagaimana, Lis? Selama ini pakaianku memang seperti ini ... bukankah sudah menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslimah, untuk menutup aurat tubuhnya?"

Lisa mengerti. Dengan cepat dirinya menghampiri Qonita, lalu mengajak wanita muda tersebut untuk duduk di atas sofa berwarna putih.

"Aku setuju dengan apa yang kamu katakan tadi. Selama ini kita sama-sama memakai hijab ... hanya saja, cara berpakaian kita yang berbeda."

Bukan hanya Qonita, Lisa pun memang memakai hijab, tapi ia lebih terlihat modis dengan caranya berpakaian tertutup yang kekinian.

"Aku punya banyak tunik, dan kalau kamu mau, kamu bisa memakainya."

Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh gadis pemilik body padat tersebut, Qonita pun merasa tertarik untuk mencobanya.

Melihat Lisa yang membuka lemari baju dan kemudian kembali menghampiri dirinya dengan membawa beberapa baju, Qonita hanya terdiam saja.

"Kamu boleh pakai yang mana saja yang kamu suka. Setelah pulang kerja, kamu bebas pakai gamis lagi. Ini hanya kamu pakai untuk kerja saja," tutur Lisa seraya memberikan beberapa potong baju lengan panjang yang hanya dapat menutupi hingga ke bagian lutut saja.

"Ini celananya," ujar Lisa lagi sembari menyodorkan beberapa potong celana panjang yang menyerupai sebuah rok lebar.

"Terima kasih, Lis. Aku pinjam dulu ... nanti kalau sudah dapat gaji, aku pasti akan beli baju-baju yang kayak gini."

Meski merasa sedikit aneh dan belum terbiasa. Namun demi menghargai sahabatnya itu, Qonita pun lekas mengganti gamisnya dengan pakaian milik Lisa.

Tidak terlalu risih saat memakai baju yang dipinjamkan oleh sahabatnya tersebut, karena seluruh auratnya masih tertutup oleh baju itu.

"Nah 'kan. Kamu jadi sedikit lebih kelihatan beda," seloroh Lisa seraya membantu Qonita untuk memasang bros pada hijab segi empat yang dipakainya.

****

"Qonita!"

Mendengar namanya dipanggil, Qonita pun tersentak kaget. Ia melihat Veronica, pemilik butik tempat dirinya bekerja, sedang berjalan menghampirinya.

"Iya, Bu." Qonita nampak canggung saat berhadapan dengan wanita bermata sipit tersebut.

"Ada customer yang ingin dibuatkan gaun pengantin. Kamu ikut dengan saya, agar tau seperti apa desain yang dia mau."

Qonita yang memang sudah mulai mahir dalam mendesain baju, mendapat kepercayaan dari pemilik butik.

Dengan perasaan yang tidak karuan, wanita muda yang memakai hijab berwarna cokelat muda itu pun membuntuti Veronica, wanita pemilik butik.

'Bismillah. Yaa Rabb, beri aku kemudahan dalam setiap urusanku,' bisik Qonita lirih, dengan terus berdoa agar segala yang dirinya kerjakan mendapat kemudahan.

Sekujur tubuh Qonita terasa gemetar, telapak tangannya pun kini terasa dingin. Dia gugup, karena di hari pertama dirinya bekerja, Qonita langsung mendapatkan kepercayaan untuk mendesain baju pengantin bagi seorang customer yang sudah berlangganan dengan butik milik Veronica.

"Saya suka!"

Qonita mengucap syukur. Apa yang dirinya harapkan, kini menjadi kenyataan. Setelah dua jam berusaha dengan menguras otak demi menghasilkan desain terbaik, akhirnya customer tersebut menjatuhkan pilihannya pada desain kedua yang Qonita buat.

"Terima kasih, Qonita. Saya mau kasih kamu bonus ... mana nomor rekening kamu?" Veronica meminta Qonita untuk memberikan nomor rekening.

Wanita yang baru berusia kepala tiga itu sangat senang, karena Qonita bisa dirinya andalkan.

"Mhh, saya ... Saya gak punya nomor rekening, Bu."

Qonita berkata dengan jujur, kalau dirinya memang tidak memiliki nomor rekening. Jangankan nomor rekening, bahkan dirinya pergi merantau ke kota pun hanya berbekal uang yang pas-pasan.

Veronica menghela napas panjang. Ia menatap datar pada wanita berhijab yang tengah berdiri di depannya itu.

"Nanti saya bantu buat bikin rekening," ujar Veronica yang kemudian beranjak pergi dari hadapan Qonita.

Beberapa saat kemudian pemilik butik itu pun kembali lagi dan memanggil Qonita untuk masuk ke ruang kerjanya.

"Ini buat kamu," ucap Veronica seraya memberikan sebuah amplop.

Dengan ragu Qonita pun menerimanya. "Ini apa, Bu?"

"Itu bonus buat kamu, karena kamu udah buat customer kita merasa puas dengan hasil desain kamu yang tadi."

Ada rasa bahagia dan juga haru yang terselubung dalam hati Qonita. Setelah mengucapkan terima kasihnya pada pemilik butik tersebut, Qonita pun lekas keluar dari ruangan itu.

Sore hari sepulangnya dari butik tempat dirinya bekerja, Qonita bergegas membersihkan diri. Kemudian ia duduk di atas sofa dengan memegang amplop yang siang tadi di berikan oleh Veronica padanya.

Perlahan Qonita membuka isi dalam amplop tersebut. Seketika kedua bola matanya terbelalak.

"MasyaAllah," ucapnya seraya menutup mulut dengan sebelah tangannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!